Pengertian Mikropaleontologi

Image: flickr.com

Pengertian Mikro Paleontologi menurut Sartono (1980),
Mikropaleontologi adalah studi yang khususnya mempelajari sisa-sisa organisme yang terawetkan di alam dengan menggunakan alat mikroskop. Organisme yang terawetkan tersebut dinamakan fosil mikro karena berukuran sangat kecil.

Menurut Wikipedia
Mikropaleontologi adalah cabang paleontologi yang mempelajari mikrofosil. Mikrofosil adalah fosil yang umumnya berukuran tidak lebih besar dari empat milimeter, dan umumnya lebih kecil dari satu milimeter, sehingga untuk mempelajarinya dibutuhkan suatu mikroskop cahaya ataupun elekton.

Fosil yang terdapat di alam mempunyai ukuran yang berbeda-beda, sehingga penelitian terhadapnya dilakukan dengan cara yang berlainan pula. Ada penelitian terhadap fosil yang dilakukan secara megaskopi, artinya penelitian dilakukan dengan mata telanjang atau dengan pertolongan lensa pembesar (loupe). Disamping itu, ada penelitian yang dilakukan secara mikroskopi, artinya penelitian dilakukan dengan menggunakan mikroskop.

Sebagai contoh fosil mikro adalah fosil-fosil dari golongan organisme foraminifera. Golongan ini umumnya mempunyai ukuran yang kecil, sehingga untuk mengadakan penelitian terhadapnya harus menggunakan mikroskop.

Namun demikian, ada kalanya untuk mempelajari sifat-sifat mikro dari  fosil besar digunakan pula mikroskop, misalnya fosil Mollusca, Bryozoa, Coral dan lain sebagainya. Fosil besar ini disebut juga fosil mikro.

Disamping pengertian fosil mikro, ada juga pengertian mikrolitologi. Mikrolitologi merupakan suatu studi mikroskop yang membahas tentang batuan sedimen.

Untuk studi ini, digunakan alat mikroskop binokuler. Studi ini mempelajari warna, tekstur, pemilahan, struktur, ukuran kristal, fragmen serta sementasi dari sedimen.

Disamping mikrolitologi ada juga mikrostratigrafi, dimana ilmu ini merupakan penggabungan antara mikrolitologi dan mikropaleontologi. Mikrostratigrafi khususnya digunakan dalam korelasi.

Pada umumnya fosil mikro mempunyai ukuran lebih kecil dari 5 mm, tetapi ada beberapa diantaranya yang mempunyai ukuran sampai 19 mm seperti misalnya pada genus Fusulina.

Fosil mikro meliputi cangkang-cangkang yang dimiliki oleh berbagai organisme, embrio dari fosil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh dari fosil makro yang untuk penelitiannya digunakan alat pembantu berupa mikroskop. Untuk penelitian fosil mikro kadang-kadang juga digunakan sayatan tipis dari fosil-fosil tersebut.

SEJARAH MIKROPALEONTOLOGI
Sebelum zaman Masehi, fosil mikro terutama foraminifera sedikit sekali diketahui. Meskipn demikian filosof-filosof Mesir yang mengembara banyak menulis keanehan-keanehan alam, termasuk fosil-fosil yang dijumpai.

Herodotus dan Strabo yang hidup pada abad ke-5 dan ke-7 sebelum Masehi, mengembara di daerah piramida di Mesir dan menemukan benda-benda aneh berserakan dan mereka mencba menulis tentang benda-benda aneh tersebut.

Mereka berpendapat bahwa benda-benda terebut merupakan sisa-sisa makanan para pekerja piramida yang telah menjadi keras.

Tetapi benda-benda tersebut sebetulnya fosil-fosil Nummelites. Fosil-fosil ini semula terdapat dalam batugamping berumur Eosen yang digunakan sebagai bahan bangunan piramida di negara tersebut.

Setelah periode ini tidak ada yang menulis tentang fosil mikro dan baru pada tahun 1546 Agricola menggambarkan benda-benda aneh tersebut sebagai “stone lentis”. Genser pada tahun 1565 menulis tentang sistematika paleontologi.

Pada tahun 1660 Van Leeuwenhoek menemukan mikroskop. Dengan penemuan alat ini maka penyelidikan terhadap fosil mikro mulai berkembang pesat karena alat tersebut sangat berguna untuk melihat fosil mikro.

Beccarius pada tahun 1739 untuk pertama kalinya menulis tentang foraminifera yang dapat dilhatnya dengan mikroskop.

Pada tahun 1758 seorang Swedia bernama Linnaeus memperkenalkan tata nama baru dalam bukunya yang berjudul “Systema Natune”. Sebelumnya orang menggunakan banyak nama untuk organisme yang sama.

Tata nama baru itu penting karena cara penamaanya lebih sederhana dan sampai sekarang cara tersebut digunakan untuk penamaan binatang maupun tumbuhan pada umumnya.

D’orbignity dalam penyelidikannya mengenai organisma mikro menemukan berbagai jenis ostracoda, foramineifera dan flagellata.

Penyelidikan tentang sejarah perkembangan foraminefera dilakukan oleh Carpenter (1862) dan Lister (1894). Selain itu, mereka juga menemukan bentuk-bentuk mikrosfir dan megalosfir dari cangkang-cangkang formaminifera.

Pada umumnya untuk penelitian terhadap fosil radiolaria dan ostracoda diperlukan suatu mikroskop dengan kekuatan pembesaran 100 kali.

Fosil pollen memerlukan kekuatan pembesaran 1000 kali untuk dapat dilihat strukturnya  dengan baik, sedangkan fosil-fosil golongan flagellata dan cocolith memerlukan pembesaran 7.500 sampai 10.000 kali.

Pada tahun 1927 Cusman menulis untuk pertama kali mengenai fosil-fosil foraminifera dan menitikberatkan penelitiannya pada studi determinasi foraminifera, serta menyusun suatu cara sebagai kunci untuk mengenal fosil-fosil foraminiferanya.

Selain itu Jones (1956) juga telah banyak membahas fosil mikro, diantaranya formaninefera, gastropoda, ostracoda, spora dan pollen serta kegunaan dari fosil-fosil tersebut. Disamping itu juga dibahas sedikit mengenai ekologinya.

Pada masa sekarang ini telah banyak ahli mikropaleontologi yang bekerja di laboratorium maupun lapangan .

Dengan perkembangan yang pesat dari perusahaan minyak bumi, dimana banyak digunakan fosil mikro sebagai dasar korelasi berbagai lapisan batuan, maka penelitian fosil mikro mengalami kemajugan yang cepat serta mengakibatkan tumbuhnya bidang khusus dalam ilmu tersebut.

TEKNIK PENYAJIAN FOSIL MIKRO
Fosil-fosil mikro hanya dijumpai dalam batuan sedimen, misalnya batu gamping, napal, lempung, batupasir berbutir halus, lanau serta rijang.

Fosil mikro dalam batuan tersebut diatas umumnya terdapat bersama dengan bahan-bahan lain yang telah direkatkan oelh semen batuan tersebut.

Oleh karena itu fosil mikro dipisahkan terlebih dahulu dari perekat ataupun bahan-bahan lainnya guna mengadakan penelitian terhadapnya, karena seringkali diperlukan fosil-fosil mikro yang benar-benar lepas dari ikatan semennya.

Untuk keperluan ini batuan sedimen yang belum begitu kompak perlu  diuraikan menjadi butir-butir yang lepas, sedang untuk batuan sedimen yang sudah terlalu kompak dimana penguraian butir tidak  memungkinkan, diterapkan cara-cara khusus misalnya dengan membuat sayatan tipis dari batuan tersebut kemudian batu  diteliti dibawah mikroskop.

Teknik penyajian fosil mikro pada dasarnya melalui tiga tahap proses, yaitu proses penguraian batuan, proses pengayakan, dan proses pemisahan fosil.

1. Proses Penguraian Batuan
Proses penguraian batuan sedimen dapat dikerjaka dengan dua cara, yaitu prose penguraian secara fisik dan secara kimia.

a. Penguraian Secara Fisik
Cara ini digunakan terutama untukbatuan sedimen yang belum begitu kompak dan dikerjakan melalui beberapa tahap.

  1. Batuan sedimen ditumbuk dengan palu keret sampai menjadi pecahan-pecahan ayng bergaris tengah antara 3-6 mm.
  2. Pecahan-pecahan batuan direndam dalam air pada suatu tempat.
  3. Diremas dalam air.
  4. Diaduk dengan mesin aduk atau alat pengaduk lain yang bersih.
  5. Dipanaskan selama 5 dampai 10 menit.
  6. Didinginkan.

Umumnya batuan sedimen yang belum begitu kompak apabila melalui proses-proses tersebut diatas akan terurai.

2. Proses Penguraian Secara Kimia
Bahan-bahan larutan kimia yang umumnya digunakan dalam penguraian batuan sedimen antara lain asam asetat, asam nitrat, hidrogen piroksida, dan banyak macam lainya atau dapat juga berupa campuran larutan kimia.

Penggunaan macam larutan kimia sangat tergantung dari macam butir pembentuk batuan dan jenis semen yang merekatkan butiran yang bersangkutan. Oleh sebabitu sebelum penguraian batuan tersebut dilakukan maka contoh batuannya diteliti terlebih dahulu tentang jenis butiran, massa dasar, sedimennya. Hal ini dikerjakan dengan seksama agar dalam penguraian tersebut fosil-fosil mikro yang ada tidak sampai rusak, atau tidak ikut larut bersama zat pelarut yang digunakannya.

Beberapa cara penguraian secara kimia terhadap macam batuan sedimen akan diuraikan dibawah ini, sehingga bagi praktikan tinggal mengikuti petunjuk yang ada saja.

Batulempung dan Lanau
Penguraian batuan ini dilakukan dengan menggunakan larutan hidrogen piroksida (H202). Batuan sedimen yang kering ditumbu menjadi bagian kecil-kecil hingga bergaris tengah 3-6 mm. Hidrogen piroksida yang sudah diencerkan  dituangkan pada batuan yang telah dimasukkan dalam gelas piala. Larutan tersebut akan emmasuki pori-pori batuan dan berasosiasi menjadi H2O dan O2 serta dengan cepat mendesak butir-butir batuan sedimen.

Dalam waktu kurang lebih 15 menit butir-butir batuan akan terurai. Tetapi jika dalam waktu 10 menit reaksi berjalan lambat, campuran dipanaskan dan dapat pula ditambah beberapa tetes KOH sampai butir-butir batuan menjadi lepas. Bila butir-butir sudah terurai semuanya, maka kemudian baru di cuci dengan akuades sehingga bersih dari semennya.

Batupasir
Penguraian batupasir tergantung dari semen yang mengikat butir-butir batuan. Mula-mula batuan tersebut ditumbuk sampai menjadi pecahan-pecahan yang bergaris tengah 5-10 mm, tergantung dari kekeraran batuan.

Bila batupasir mempunyai masa dasar lempung dengan kadar rendah, maka butiran dapat dilepas secara fisik dengan memakai palu kayu atau palu karet. Kemudian batuan tersebut dipanaskan dengan 1,01 N natriumpirofosfat atau 0,01 N amoniak, tetapi kalau kadar lempung tinggi maka batuan itu dapat diurai dengan memakai larutan hidrogen piroksida.

Jika batupasir mempunyai semen berupa silika, maka penguraian batuan sangat sulit. Pelarutan semen dalam batuan mengakibatkan fosil-fosil yang terkandung didalamnya ikut rusak, malahan juga dapat mengalami pelarutan. Dalam hal demikian maka penelitian memakai sayatan tipis lebih diutamakan.

Kadang-kadang batupasir dengan semen oksida besi juga dijumpai. Batuan sedimen yang berwarna merah ini hanya dapat diurai dengan mengocok selama kurang lebih 30 menit atau dididihkan selama 10 menit dalam larutan asam oksalat dalam 2,5 liter air.

FORAMINIFERA
Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu paleontologi yang mempelajari sisa – sisa organisme yang telah terawetkan di alam berupa fosil yang berukuran mikro. Mikropaleontologi juga didefinisikan sebagai studi sistematik yang membahas mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi dan mengenai kepentingannya terhadapstratigrafi. Umumnya fosil mikro berukuran lebih kecil dari 5 mm, namun ada diantaranya yang berukuran sampai 19 mm seperti halnya genus Fusilina.

Kegunaan Fosil Foraminifera
Fosil foraminifera sering dipakai untuk memecahkan masalah geologi terutama bagi perusahan – perusahan minyak walaupun akhir – akhir ini peranannya sedikit tergeser oleh teknologi yang lebih maju yaitu dengan ditemukannya fosil nannoplankton yang ukurannya fantastik kecil ( 3 – 40 mikron ). Karena itu dalam pengamatan diperlukan mikroskop dengan perbesaran minimum 5000 kali bahkan sampai 20000 kali.

 Kegunaan fosil foraminifera adalah :

  1. Untuk penentuan umur batuan yang mengandung fosil foraminifera tersebut.
  2. Membantu dalam studi lingkungan pengendapan atau fasies.
  3. Korelasi stratigrafi dari suatu daerah dengan daerah lain, baik korelasi permukaan atau korelasi bawah permukaan.
  4.  Membantu menentukan batas – batas suatu transgresi dan regresi, misalnya dengan menggunakan foraminifera benthos Rotalia beccarii ( fosil penciri daerah transgresi ), Gyroidina soldanii ( fosil penciri bathial atas) dan lain – lain.
  5.  Bahan penyusun Biostratigrafi. Berdasarkan kegunaannya, maka dikenal beberapa istilah yaitu
  6. Fosil Indeks / Fosil penunjuk / Fosil Pandu : fosil yang digunakan sebagai penunjuk umur relatif. Pada umumnya fosil jenis ini mempunyai penyebaran vertikal pendek dan penyebaran lateral luas serta mudah dikenal.
  7. Fosil Bathimetri / Fosil kedalaman : dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan. Pada umunya adalah benthos yang hidup didasar. Contoh : Elphidium sp, penciri lingkungan transisi ( Tipsword, 1966 ).
  8. Fosil Horison / Fosil lapisan / Fosil diaognostik / Fosil kedalaman : fosil yang mencirikan atau khas terdapat di dalam lapisan yang bersangkutan. Contoh : Globorotalia tumida ( penciri N 18 ).
  9.  Fosil lingkungan : dapat dipergunakan sebagai penunjuk lingkungan sedimentasi. Contoh : Radiolaria sebagai penciri laut dalam.
  10. Fosil iklim : dapat dipergunakan sebagai penunjuk iklim pada saat itu.
  11. Contoh : Globigerina pachiderma sebagai penciri iklim dingin.

Makna dan Tata Cara Penamaan Fosil
Seorang sarjana Swedia, Carl Von Line (1707-1778)yang kemudian mengganti namanya menjadi Carl Von Linnaeus menyatakan bahwa nama yang telah dipergunakan pada suatu individu tidak dipergunakan untuk nama individu lain (hukum LAW PRIORITY).

Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata, sedangkan tingkat spesies terdiri dari dua kata, tingkatan subspesies terdiri dari tiga kata. Nama – nama kehidupan selalu diikuti oleh nam orang yang menemukannya.

 Beberapa contoh penamaan fosil :

  1.  Globorotalia menardii exilis Blow, 1969
  2.  Penamaan fosil hingga subspesies dikemukakan oleh Blow, tahun 1969.
  3.  Globorotalia humerosa n.sp TAKAYANAGI & SAITO, 1962, n.sp artinya spesies baru.
  4.  Globorotalia ruber elongatus (D’ORBIGNY), 1862
  5.  Penemuan pertama kali dari fosil tersebut adalah D’ORBIGNY dan pada tahun 1862 fosil tersebut diubah oleh ahli yang lain yang menemukannya. Hal ini sebagai penghormatan bagi penemu fosil pertama kali nama fosil tersebut tetap dicantumkan dalam kurung.
  6. Pleumotora carinata GRAY, Var woodwrdi MARTIN
  7. Yang artinya GRAY memberikan nama spesies sedangkan MARTIN memberikan nama varietas.
  8. Globorotalia acostaensis pseudopima n.sbsp BLOW, 196  n.sbsp artinya subspesies baru.
  9. Dentalium (s.str) ruteni MARTIN Artinya fosil yang ditemukan tersebut sinonim dengan Dentalium ruteni MARTIN yang diumumkan sebelumnya.
  10. Globigerina angulisuturalis Artinya tidak yakin apakah Globigerna angulisuturalis
  11. Globorotalia cf. Tumid Artinya tidak yakin apakah bentuk ini globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini. (cf = confer)
  12. Sphaerodinella aff dehiscen Artinya bentuk ini berdekatan (berfamili) dengan Sphaerodinella dehiscens (aff = affiliation)
  13.  Ammobaculites spp Mempunyai arti bermacam – macam spesies
  14.  Recurvoides sp Artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan)


Teknik Penyajian Fosil :
1. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel batuan di lapangan hendaknya diperhatikan tujuan yang akan kita capai. Mendapatkan sampel yang baik diperhatikan interval jarak tertentu terutama untuk menyusun biostratigrafi.

Kriteria - kriteria pengambilan sampel batuan :

  •  Memiiih sampel batuan yang insitu dan bukan berasal dari talus, karena. dikhawatirkan fosilnya sudah tidak insitu
  • Batuan yang berukuran butir halus lebih memungkinkan mengandung fosil, karena batuan yang berbutir kasar tidak dapat mengawetkan fosil atau kemungkinan fosilnya rusak. Contoh batuan yang diambil sebaiknya dari batuan lempung (clay), serpih (shale), napal ,(marl), tufa napalan (marly tuff), batugnmping bioklastik, batugamping dengan campuran batupasir sangat halus.
  • Batuan yang lunak akan memudahkan dalam proses pemisahan fosil.
  • Jika endapan turbidit, diambil pada bntuan yang berbutir halus, yang diperkirakan merupakan endapan suspensi yang juga mencerminkan kondisi normalnya

2. Penguraian / Pencucian
 Proses pencucian batuan dilakukan dengan cara yang umum sebagai berikut :
 • Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet atau palu kayu hingga ukuran diameternya, 3-6mm.
 • Melarutkan dalam larutan H202 (hidrogen peroksida) 50% dan diaduk atau dipanaskan.
 • Kemudian mendiamkan sampai butiran batuan tersebut terlepas semua (24 jam), jika fosil masih nampak kotor dapat dilakukan perendaman dengan air sabun, (lalu dibilas dengan air bersih.
 • Selanjutnya dikeringkan dengan terik matahari dan siap untuk diayak.

3. Pemisahan Fosil
 Langkah awal menganalisa, perlu diadakan pemisahan fosil dari kotoran butiran yang bersamarnya. Cara pengambilan fosil - fosil tersebut dengan jarum dari cawan tempat contoh batuan untuk memudahkan dalam pengambilan fosilnya perlu disediakan air (jarum dicelupkan terlebih dahulu sebelum pengambilan fosil).
 Peralatan yang dibutuhkan dalam pemisahan fosil antara lain :
 - Cawan untuk tempat contoh batuan
 - Jarum untuk mengambil fosil ' Kuas bulu halus
 - Cawan tempat air
 - Lem untuk merekatkan fosil
 - Fosil yang telah dipisahkan diletakkan pada plate (tempat fosil).

Sumber:
Sartono, S. 1981. Petunjuk Praktek Paleontologi 2. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Menengah dan Kejuruan

iklan tengah