PKN VIII BAB 3 Memaknai Peraturan Perundang-undangan
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Hal ini mengandung arti bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus didasarkan pada hukum yang berlaku.
Hukum dijadikan panglima, segala sesuatu harus atas dasar hukum.
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mewujudkan sistem hukum nasional, pasal 22 A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa ”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”
Untuk menjabarkan ketentuan pasal 22 A tersebut, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun, materi undangundang tidak hanya mengatur tentang undang-undang saja, tetapi memuat juga peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memiliki pengertian peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
Hukum memiliki berbagai bentuk hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum tertulis dalam kehidupan saat ini memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kepastian hukum.
Meskipun demikian, hukum tidak tertulis tetap diakui keberadaannya sebagai salah satu hukum yang mengikat masyarakat.
Secara formal, kalian sudah mengenal berbagai bentuk peraturan perundang-undangan di sekitar kalian, misalnya tata tertib sekolah, peraturan di lingkungan rumah tangga, Peraturan Daerah, Peraturan Pemerintah, Undang-Undang.
Tata urutan peraturan perundang-undangan mengandung makna bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki hierarki atau tingkatan.
Peraturan yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan yang lain.
Tata urutan ini perlu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau asas umum yang berlaku dalam hukum, yaitu sebagai berikut.
- Dasar peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan.
- Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis.
- Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi.
- Peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.
- Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
- Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
- Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki materi yang berbeda.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sesuai pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi)
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota)
Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan dalam pasal 5 dan penjelasannya, yaitu sebagai berikut.
a. Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pembuat harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan.
Selanjutnya, ditegaskan dalam Ppasal 6 bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas sebagai berikut.
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman masyarakat.
b. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
Peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan dalam tata urutan perundangundangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 di atas, secara lebih jelas sebagai berikut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundangan-undangan.
Sebagai hukum dasar, UUD mengikat setiap warga negara dan berisi norma dan ketentuan yang harus ditaati.
Sebagai hukum dasar, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan, dan merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Secara historis, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD sesuai amanat pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali perubahan.
Perubahan ini dilakukan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Tata cara perubahan UUD ditegaskan dalam pasal 37 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara singkat sebagai berikut.
- Usul perubahan pasal-pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan disampaikan secara tertulis yang memuat bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
- Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR.
- Putusan untuk mengubah disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari anggota MPR.
- Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Perlu juga kalian pahami bahwa dalam perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu sebagai berikut.
- Tidak mengubah Pembukaaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
- Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal bersifat normatif (hukum) akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
- Melakukan perubahan dengan cara adendum, artinya menambah pasal perubahan tanpa menghilangkan pasal sebelumnya. Tujuan perubahan bersifat adendum untuk kepentingan bukti sejarah.
Ketika MPRS dan MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara salah satu produk hukum MPR adalah Ketetapan MPR.
Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar majelis.
Mengikat ke dalam berarti mengikat kepada seluruh anggota majelis. Mengikat ke luar berarti setiap warga negara, lembaga masyarakat dan lembaga negara terikat oleh Ketetapan MPR.
Adapun yang dimaksud dengan ”Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Pasal 2 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 menegaskan bahwa beberapa ketetapan MPRS dan MPR yang masih berlaku dengan ketentuan adalah sebagai berikut.
a. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarluaskan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
b. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.
c. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Pasal 4 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 mengatur ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yaitu sebagai berikut.
- Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
- Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
- Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Nkri.
- Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketetapan ini saat ini sudah tidak berlaku karena sudah ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang hal ini.
- Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
- Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
- Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. h. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. i. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
- Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
- Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang adalah peraturan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang memiliki kedudukan yang sederajat.
DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun, kekuasaan ini harus dengan persetujuan presiden. Suatu rancangan undang-undang dapat diusulkan oleh DPR atau presiden.
Dewan Perwakilan Daerah juga dapat mengusulkan rancangan undang-undang tertentu kepada DPR. Proses pembuatan undang-undang apabila rancangan diusulkan oleh DPR sebagai berikut.
- DPR mengajukan rancangan undang-undang secara tertulis kepada presiden.
- Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR.
- Apabila disetujui bersama oleh DPR dan presiden, selanjutnya rancangan undangundang disahkan oleh presiden menjadi undang-undang.
Proses pembuatan undang-undang apabila rancangan diusulkan oleh DPD sebagai berikut.
- DPD mengajukan usul rancangan undang-undang kepada DPR secara tertulis.
- DPR membahas rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPD melalui alat kelengkapan DPR.
- DPR mengajukan rancangan undang-undang secara tertulis kepada presiden. Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR.
- Apabila disetujui bersama oleh DPR dan presiden, selanjutnya rancangan undang-undang disahkan oleh presiden menjadi undang-undang.
Di samping undang-undang, ada peraturan perundang-undangan yang setara kedudukannya dengan undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh presiden karena keadaan genting dan memaksa.
Dengan kata lain, diterbitkannya Perppu jika keadaan dipandang darurat dan perlu payung hukum untuk melaksanakan suatu kebijakan pemerintah.
- Perppu diatur dalam UUD 1945 pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) yang memuat ketentuan sebagai berikut.
- Presiden berhak mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
- Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan berikutnya.
- Apabila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu harus dicabut.
- Apabila Perppu mendapat persetujuan DPR, Perppu ditetapkan menjadi undangundang.
Contoh Perppu yang dijadikan undang-undang, antara lain Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Perppu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 5 ayat (2).
Peraturan pemerintah ditetapkan oleh presiden sebagai pelaksana kepala pemerintahan.
Contoh dari peraturan pemerintah adalah PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan untuk Melaksanakan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tahapan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai berikut.
- Tahap perencanaan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) disiapkan oleh kementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
- Tahap penyusunan rancangan PP, dengan membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian.
- Tahap penetapan dan pengundangan PP ditetapkan oleh presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara
Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Proses penyusunan Peraturan Presiden ditegaskan dalam pasal 55 UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu sebagai berikut.
- Pembentukan panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian oleh pengusul.
- Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
- Pengesahan dan penetapan oleh presiden.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama gubernur.
Peraturan Daerah dibuat dengan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda juga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perda yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Proses penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut.
a. Rancangan Perda Provinsi dapat diusulkan oleh DPRD Provinsi atau Gubernur.
b. Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Provinsi, proses penyusunan adalah sebagai berikut.
- DPRD Provinsi mengajukan rancangan perda kepada gubernur secara tertulis.
- DPRD Provinsi bersama gubernur membahas Rancangan perda Provinsi.
- Apabila memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Perda disahkan oleh gubernur menjadi Perda Provinsi.
c. Apabila rancangan diusulkan oleh Gubernur, proses penyusunan adalah sebagai berikut.
- Gubernur mengajukan Rancangan Perda kepada DPRD Provinsi secara tertulis
- DPRD Provinsi bersama gubernur membahas Rancangan Perda Provinsi
- Apabila memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Perda disahkan oleh gubernur menjadi Perda Provinsi
Kabupaten/Kota adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama bupati/walikota.
Perda dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan sehingga peraturan daerah dapat berbeda-beda antara satu daerah dan daerah yang lainnya.
Proses penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut.
a. Rancangan Perda Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota atau bupati/walikota.
b. Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota, proses penyusunan adalah sebagai berikut.
- DPRD Kabupaten/Kota mengajukan rancangan perda kepada bupati/walikota secara tertulis
- DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/ walikota membahas Rancangan Perda Kabupaten/Kota.
- Apabila memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Perda disahkan oleh bupati/ walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.
Apabila rancangan diusulkan oleh bupati/walikota, proses penyusunan adalah sebagai berikut.
- Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Perda kepada DPRD Kabupaten/Kota secara tertulis.
- DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota membahas Rancangan Perda Kabupaten/Kota.
- Apabila memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Perda disahkan oleh bupati/walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.
Kepatuhan berarti sikap taat atau siap sedia melaksanakan aturan. Bersikap patuh akan membentuk perilaku disiplin.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh apabila seseorang terbiasa hidup taat pada aturan, di antaranya adalah kepatuhan lebih menguntungkan daripada melanggar aturan.
Contohnya, orang melanggar lalu lintas akan dikenakan denda sekian rupiah.
Orang yang berpola hidup sehat akan terhindar dari penyakit. Orang yang tidak mengonsumsi narkoba akan memiliki tubuh yang kuat dan berpikiran sehat.
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan nasional berkaitan dengan terbentuknya kesadaran hukum setiap warga negara. Kesadaran hukum warga negara dapat diukur dari beberapa indikator berikut:
a. Pengetahuan Hukum Pengetahuan hukum meliputi pengetahuan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang hukum, seperti penganiayaan, penipuan, penggelapan. Selain itu, juga pengetahuan tentang perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan perjanjian.
b. Pemahaman Kaidah-Kaidah Hukum Pemahaman terhadap kaidah hukum ditandai dengan menghayati isi hukum yang berlaku seperti memahami tujuan hukum yang mewujudkan ketertiban dan keamanan bersama.
c. Sikap terhadap Norma-Norma Hukum Perilaku ini ditunjukkan dalam bentuk penilaian terhadap norma-norma hukum berupa nilai baik dan buruk terhadap kaidah-kaidah (aturan-aturan) hukum. Misalnya, pencurian termasuk dalam perbuatan tercela karena merugikan orang lain.
d. Perilaku Hukum Perilaku hukum ditunjukkan dengan perbuatan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai warga negara yang baik, salah satu kewajibannya adalah mematuhi aturan perundang-undangan. Perilaku menaati peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban setiap warga negara, tidak terkecuali para pelajar.
Perilaku menaati undang-undang yang wajib dilaksanakan oleh semua orang di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Memiliki akta kelahiran.
b. Mematuhi aturan berlalu lintas.
c. Menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar.
d. Tidak melakukan tindakan yang melawan hukum
1. Membiasakan Perilaku Tertib Berlalu-lintas Tertib dalam lalu lintas bukan hanya kewajiban masyarakat perkotaan.
Di pedesaan atau di jalan raya yang tidak banyak kendaraan bermotor pun, tertib lalu lintas harus dijalankan.
Peraturan Lalu Lintas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009. Pengendara kendaraan bermotor tentunya harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Siswa SMP tidak dapat memiliki SIM karena untuk memiliki SIM, minimal berusia 17 tahun.
Laporan lalu lintas setiap tahun selalu mencatat kecelakaan lalu lintas di Indonesia sangat tinggi. Anak-anak usia sekolah di Indonesia banyak yang mengalami kecelakaan dan meninggal akibat melanggar aturan mengendarai kendaraan bermotor.
Data kecelakaan lalu lintas tersebut seharusnya menyadarkan kita semua bahwa pelajar SMP dilarang mengendarai kendaraan bermotor karena merupakan pelanggaran dan mengundang terjadinya kecelakaan.
2 komentar