Sejarah Indonesia X BAB 3 Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya
Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama perihal waktu dan tempat
asalnya.
Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri Belanda—mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab.
Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M).
Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur. Pendapat J. Pijnapel kemudian didukung oleh C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh.
Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.
Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia (Iran sekarang).
Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir.
Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns.
Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.
Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yang kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan.
Pasai dan Malaka, adalah tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam.
Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka.
Demikian pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya.
Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar tradisi surau di Ulakan.
Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa-Tallo.
Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di Nusantara. Pada pertengahan abad ke-15, ibu kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang datang dari utara.
Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putri Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit.
Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua. Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur.
Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama.
Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam.
Di bagian lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung.
Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.
Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri Belanda—mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab.
Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M).
Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur. Pendapat J. Pijnapel kemudian didukung oleh C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh.
Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.
Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia (Iran sekarang).
Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir.
Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns.
Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.
Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yang kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan.
Pasai dan Malaka, adalah tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam.
Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka.
Demikian pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya.
Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar tradisi surau di Ulakan.
Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa-Tallo.
Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di Nusantara. Pada pertengahan abad ke-15, ibu kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang datang dari utara.
Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putri Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit.
Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua. Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur.
Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama.
Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam.
Di bagian lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung.
Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.
Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas.
Para nelayan pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil
tangkapannya.
Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan. Coba kamu renungkan alam semesta, lautan dan daratan semua diciptakanNya untuk kepentingan hidup kita.
Marilah kita syukuri semua itu dengan menjaga lingkungan laut dan daratan sebaik-baiknya. Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antarsuku bangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia.
Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar
suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya dapat membantu pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan.
Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan.
Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di Samudra Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur.
Mereka dapat kembali pada musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur laut.
Bacaan berikut akan memaparkan tentang aktivitas perdagangan antarpulau pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia.
Memahami aktivitas pelayaran dan perdagangan antarpulau yang membawa serta pesan-pesan agama ini dapat menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Jalurjalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina.
Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7.
Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitaskomunitas Muslim di pesisir utara Jawa bagian timur.
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional.
Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam.
Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi.
Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung.
Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H.
Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut.
Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang.
Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda.
Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala.
Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditas ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku.
Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditas cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditias pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar.
Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.
Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik.
Kerja sama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku. Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali.
Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri.
Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan.
Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah.
Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan.
Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat.
Selama periode (1500-1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon.
Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditas pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18.
Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya. Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat.
Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah.
Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampungkampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter.
Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani.
Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil.
Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan. Coba kamu renungkan alam semesta, lautan dan daratan semua diciptakanNya untuk kepentingan hidup kita.
Marilah kita syukuri semua itu dengan menjaga lingkungan laut dan daratan sebaik-baiknya. Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antarsuku bangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia.
Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar
suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya dapat membantu pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan.
Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan.
Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di Samudra Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur.
Mereka dapat kembali pada musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur laut.
Bacaan berikut akan memaparkan tentang aktivitas perdagangan antarpulau pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia.
Memahami aktivitas pelayaran dan perdagangan antarpulau yang membawa serta pesan-pesan agama ini dapat menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Jalurjalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina.
Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7.
Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitaskomunitas Muslim di pesisir utara Jawa bagian timur.
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional.
Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam.
Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi.
Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung.
Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H.
Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut.
Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang.
Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda.
Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala.
Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditas ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku.
Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditas cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditias pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar.
Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.
Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik.
Kerja sama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku. Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali.
Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri.
Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan.
Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah.
Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan.
Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat.
Selama periode (1500-1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon.
Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditas pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18.
Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya. Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat.
Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah.
Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampungkampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter.
Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani.
Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil.
Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
1. Kerajaan Islam di Sumatra
Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia.
Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka.
Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus.
Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.
a. Samudra Pasai Samudra
Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 hingga 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M).
Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.
Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524)
Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara Cina.
Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar Raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina.
Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin. Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16.
Kesultanan itu mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan.
Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan.
Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu.
Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor.
Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.
Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.
Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai.
Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.
Dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani.
Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orangorang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia.
Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17.
Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan hurufhuruf bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan.
Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521.
Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai.
Kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Kedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik,ekonomiperdagangan, kebudayaan dan keagamaan.
b. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi batal karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538- 1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir.
Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus.
Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat.
Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda.
Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.
Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia.
Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka.
Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus.
Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.
a. Samudra Pasai Samudra
Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 hingga 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M).
Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.
Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524)
Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara Cina.
Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar Raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina.
Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin. Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16.
Kesultanan itu mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan.
Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan.
Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu.
Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor.
Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.
Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.
Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai.
Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.
Dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani.
Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orangorang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia.
Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17.
Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan hurufhuruf bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan.
Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521.
Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai.
Kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Kedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik,ekonomiperdagangan, kebudayaan dan keagamaan.
b. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi batal karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538- 1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir.
Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus.
Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat.
Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda.
Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.
Pada bagian ini kamu akan memahami hubungan antara istana
sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan.
Perkembangan lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh dukungan penguasa.
Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi sendiri.
Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan.
Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama.
Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara.
Namun, ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai.
Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya.
Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam.
Hal itu terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Proses pendidikan sebagian berlangsung di kerajaan.
Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.
Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab.
Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang.
Dari Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan.
Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia.
Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam.
Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat.
Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah.
Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat.
Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat
Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa.
Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar.
Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama.
Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804).
Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karya-karya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan alQur’an.
Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara yang sangat luas.
Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca).
Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa.
Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa).
Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai. Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei.
Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis.
Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat.
Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumahrumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab.
Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru.
Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu.
Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini.
Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di pemukiman penduduk yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum.
Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam.
Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya.
Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan.
Tidak jarang di antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.
Perkembangan lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh dukungan penguasa.
Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi sendiri.
Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan.
Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama.
Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara.
Namun, ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai.
Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya.
Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam.
Hal itu terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Proses pendidikan sebagian berlangsung di kerajaan.
Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.
Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab.
Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang.
Dari Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan.
Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia.
Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam.
Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat.
Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah.
Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat.
Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat
Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa.
Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar.
Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama.
Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804).
Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karya-karya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan alQur’an.
Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara yang sangat luas.
Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca).
Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa.
Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa).
Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai. Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei.
Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis.
Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat.
Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumahrumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab.
Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru.
Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu.
Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini.
Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di pemukiman penduduk yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum.
Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam.
Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya.
Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan.
Tidak jarang di antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.
Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah
menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan
dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia.
Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada.
Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya.
Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.
1. Seni Bangunan
Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.
a. Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid.
Fungsi utama dari masjid, adalah tempat beribadah bagi orang Islam.
Masjid atau mesjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud.
Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad yang dapat diartikan dengan kuil atau gereja.
Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primer ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî yang menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.”
Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan pengertian perkataan masjid atau mesjid itu bersifat universal.
Dengan sifat universal itu, orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat manapun asalkan bersih.
Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim yang melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas bangunan gedung dan sebagainya.
Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.
Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang luas yaitu sebagai pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam.
Demikian pula masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lainnya ada bermacam-macam sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa setempat.
Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut meuseugit, dalam bahasa Makassar dan Bugis disebut masigi. Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
2) Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjidmasjid kuno di Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dilakukan dengan memukul beduk atau kentongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
3) Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam sultansultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam rajaraja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultansultan Palembang, makam sultan-sultan di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak Indrapura (Riau), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultan-sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi.
Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin arRaniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran.
Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian pundenpunden berundak Megalitik.
Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur.
Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya.
Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi.
Makam-makam yang lokasinya di atas bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah.
Makam walisongo dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui.
Cungkupcungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati.
Demikian juga cungkup makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, dan Ratu Kalinyamat (Jepara).
Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Misalnya, jenazah dimasukkan ke dalam peti.
Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan.
Saji-sajian dan selamatan adalah unsur pengaruh kebudayaan pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam. Hal ini jelas menunjukkan perpaduan.
Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya diperkuat dengan bangunan dan batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing. Nisannya diganti dengan nisan batu.
Di atas jirat sering didirikan semacam rumah yang di atas disebut cungkup.
Dalam kaitan dengan makam Islam ada juga istilah masjid makam. Apa yang dimaksud masjid makam itu?
2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan.
Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang berkembang.
Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus berkembang.
Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi).
Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makhluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelasjelas berwujud binatang atau manusia. Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran.
Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang.
Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau wayang
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir.
Berkaitan dengan itu berkembang seni kaligrafi di zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya.
Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang berkembang di zaman pra-Islam.
Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
1) Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat RajaRaja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
2) Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
3) Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
4) Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang
4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
1) Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayatayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
2) Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi
3) Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
5. Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi kalender Islam.
Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita mengenal tahun Hijriyah.
Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara.
Bukti perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka.
Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).
Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan kebudayaan Islam.
Misalnya upacara kelahiran perkawinan dan kematian. Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri.
Selamatan diadakan pada waktu tertentu.
Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan (Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal.
Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada.
Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya.
Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.
1. Seni Bangunan
Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.
a. Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid.
Fungsi utama dari masjid, adalah tempat beribadah bagi orang Islam.
Masjid atau mesjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud.
Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad yang dapat diartikan dengan kuil atau gereja.
Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primer ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî yang menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.”
Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan pengertian perkataan masjid atau mesjid itu bersifat universal.
Dengan sifat universal itu, orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat manapun asalkan bersih.
Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim yang melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas bangunan gedung dan sebagainya.
Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.
Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang luas yaitu sebagai pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam.
Demikian pula masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lainnya ada bermacam-macam sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa setempat.
Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut meuseugit, dalam bahasa Makassar dan Bugis disebut masigi. Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
2) Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjidmasjid kuno di Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dilakukan dengan memukul beduk atau kentongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
3) Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam sultansultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam rajaraja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultansultan Palembang, makam sultan-sultan di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak Indrapura (Riau), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultan-sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi.
Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin arRaniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran.
Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian pundenpunden berundak Megalitik.
Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur.
Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya.
Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi.
Makam-makam yang lokasinya di atas bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah.
Makam walisongo dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui.
Cungkupcungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati.
Demikian juga cungkup makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, dan Ratu Kalinyamat (Jepara).
Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Misalnya, jenazah dimasukkan ke dalam peti.
Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan.
Saji-sajian dan selamatan adalah unsur pengaruh kebudayaan pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam. Hal ini jelas menunjukkan perpaduan.
Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya diperkuat dengan bangunan dan batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing. Nisannya diganti dengan nisan batu.
Di atas jirat sering didirikan semacam rumah yang di atas disebut cungkup.
Dalam kaitan dengan makam Islam ada juga istilah masjid makam. Apa yang dimaksud masjid makam itu?
2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan.
Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang berkembang.
Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus berkembang.
Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi).
Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makhluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelasjelas berwujud binatang atau manusia. Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran.
Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang.
Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau wayang
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir.
Berkaitan dengan itu berkembang seni kaligrafi di zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya.
Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang berkembang di zaman pra-Islam.
Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
1) Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat RajaRaja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
2) Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
3) Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
4) Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang
4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
1) Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayatayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
2) Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi
3) Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
5. Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi kalender Islam.
Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita mengenal tahun Hijriyah.
Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara.
Bukti perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka.
Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).
Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan kebudayaan Islam.
Misalnya upacara kelahiran perkawinan dan kematian. Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri.
Selamatan diadakan pada waktu tertentu.
Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan (Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal.
1. Peranan Para Ulama dalam Proses Integrasi
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.
Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat.
Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai.
Tempat-tempat perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan.
Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses integrasinya
2. Peran Perdagangan Antarpulau
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat.
Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi. Pada mulanya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada di pulau tersebut.
Dalam perkembangannya, mereka ingin mendapatkan barang-barang yang terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan dagang antar pulau.
Angkutan yang paling murah dan mudah adalah angkutan laut (kapal/perahu), maka berkembanglah pelayaran dan perdagangan.
Terjadinya pelayaran dan perdagangan antarpulau di Kepulauan Indonesia yang diikuti pengaruh di bidang budaya turut berperan serta mempercepat perkembangan proses integrasi.
Misalnya, para pedagang dari Jawa berdagang ke Palembang, atau para pedagang dari Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini menyebabkan terjadinya proses integrasi antara Sumatra dan Jawa.
Para pedagang di Banjarmasin berdagang ke Makassar, atau sebaliknya.
Hal ini menyebabkan terjadi proses integrasi antara masyarakat Banjarmasin (Kalimantan) dengan masyarakat Makassar (Sulawesi).
Para pedagang Makassar dan Bugis memiliki peranan penting dalam proses integrasi.
Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan Indonesia bahkan jauh sampai ke luar Kepulauan Indonesia.
Pulau-pulau penting di Indonesia, pada umumnya memiliki pusatpusat perdagangan.
Sebagai contoh di Sumatra terdapat Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa memiliki beberapa pusat perdagangan misalnya Banten Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Blambangan. Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka.
Malaka berkembang sebagai bandar terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akibatnya perdagangan Nusantara berpindah ke Aceh.
Dalam waktu singkat Aceh berkembang sebagai bandar dan menjadi sebuah kerajaan yang besar. Para pedagang dari pulau-pulau lain di Indonesia juga datang dan berdagang di Aceh.
Sementara itu, sejak awal abad ke-16 di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa bandar sebagai pusat perdagangan.
Di kepulauan Indonesia bagian tengah maupun timur juga berkembang kerajaan dan pusat-pusat perdagangan.
Dengan demikian, terjadi hubungan dagang antardaerah dan antarpulau. Kegiatan perdagangan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang terhubung melalui para pedagang.
Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan.
3. Peran Bahasa
Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa.
Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing.
Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku bangsa.
Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak akan terjadi karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain
Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi negara Melayu (Jambi).
Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun 686 M.
Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan Nusantara.
Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara.
Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai Kalimantan, penduduk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku agama dan tafsir alQur’an juga mempergunakan bahasa Melayu.
Ketika menguasai Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Portugis, namun kurang berhasil.
Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu.
Jadi, secara tidak sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut mengembangkan bahasa Melayu.
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.
Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat.
Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai.
Tempat-tempat perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan.
Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses integrasinya
2. Peran Perdagangan Antarpulau
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat.
Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi. Pada mulanya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada di pulau tersebut.
Dalam perkembangannya, mereka ingin mendapatkan barang-barang yang terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan dagang antar pulau.
Angkutan yang paling murah dan mudah adalah angkutan laut (kapal/perahu), maka berkembanglah pelayaran dan perdagangan.
Terjadinya pelayaran dan perdagangan antarpulau di Kepulauan Indonesia yang diikuti pengaruh di bidang budaya turut berperan serta mempercepat perkembangan proses integrasi.
Misalnya, para pedagang dari Jawa berdagang ke Palembang, atau para pedagang dari Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini menyebabkan terjadinya proses integrasi antara Sumatra dan Jawa.
Para pedagang di Banjarmasin berdagang ke Makassar, atau sebaliknya.
Hal ini menyebabkan terjadi proses integrasi antara masyarakat Banjarmasin (Kalimantan) dengan masyarakat Makassar (Sulawesi).
Para pedagang Makassar dan Bugis memiliki peranan penting dalam proses integrasi.
Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan Indonesia bahkan jauh sampai ke luar Kepulauan Indonesia.
Pulau-pulau penting di Indonesia, pada umumnya memiliki pusatpusat perdagangan.
Sebagai contoh di Sumatra terdapat Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa memiliki beberapa pusat perdagangan misalnya Banten Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Blambangan. Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka.
Malaka berkembang sebagai bandar terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akibatnya perdagangan Nusantara berpindah ke Aceh.
Dalam waktu singkat Aceh berkembang sebagai bandar dan menjadi sebuah kerajaan yang besar. Para pedagang dari pulau-pulau lain di Indonesia juga datang dan berdagang di Aceh.
Sementara itu, sejak awal abad ke-16 di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa bandar sebagai pusat perdagangan.
Di kepulauan Indonesia bagian tengah maupun timur juga berkembang kerajaan dan pusat-pusat perdagangan.
Dengan demikian, terjadi hubungan dagang antardaerah dan antarpulau. Kegiatan perdagangan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang terhubung melalui para pedagang.
Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan.
3. Peran Bahasa
Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa.
Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing.
Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku bangsa.
Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak akan terjadi karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain
Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi negara Melayu (Jambi).
Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun 686 M.
Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan Nusantara.
Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara.
Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai Kalimantan, penduduk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku agama dan tafsir alQur’an juga mempergunakan bahasa Melayu.
Ketika menguasai Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Portugis, namun kurang berhasil.
Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu.
Jadi, secara tidak sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut mengembangkan bahasa Melayu.
Posting Komentar