Siapa Saja Migrasi Keluarga-Keluarga Dari Persia?

Dalam buku The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of The Malay Peninsula Before A.D. 1500, karya P. Wheatley, Islam masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-7. 

Dan yang paling awal menyebarkan ajaran Islam ke tanah Jawa adalah para pedagang Arab, melalui jalur perdagangan dengan Nusantara, jauh sebelum Islam. 

Pada abad ke-7 di masa kekuasaan Ratu Simha di kerajaan Kalingga yang terkenal keras dalam penegakan hukum, datangnya para pedagang Arab diberitakan cukup banyak oleh sumber-sumber dari Dinasti Tang di Cina. 

 Dalam Islam Comes to Malaysia, S.Q. Fatimi menuliskan bahwa pada abad ke-10 Masehi telah terjadi migrasi keluarga yang berasal dari bangsa Persia. 

Dan di antara migrasi keluarga-keluarga tersebut yang terbesar adalah sebagai berikut: 

Keluarga Lor 

Yaitu keluarga yang datang ke Nusantara pada zaman Raja Nashirudin bin Badr yang memegang pemerintahan di wilayah Lor, Persia pada tahun 300 H/912 M. Keluarga Lor ini tinggal di Jawa dan mendirikan sebuah perkampungan dengan nama Loran atau Leran, yang artinya adalah tempat tinggal orang Lor. 

Keluarga Jawani 

Keluarga Jawani adalah keluarga yang datang pada zaman Jawani al-Kurdi yang memerintah Iran pada kurun waktu tahun 301 H/913 M. Keluarga ini menetap di Pasai, Sumatera Utara. Keluarga inilah yang menyusun khat Jawi, yang artinya tulisan Jawi yang diambilkan dai nama Jawani, Sultan Iran waktu itu. 

Keluarga Syiah 

Yaitu keluarga yang datang ke Nusantara pada masa pemerintahan Ruknuddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami pada kurun waktu 357 H/969 M. Keluarga ini tinggal di bagian tengah Sumatera Timur, dan mendirikan perkampungan dengan nama Siak, yang kemudian berkembang menjadi Negeri Siak. 

Keluarga Rumai 

Adalah keluarga yang datang dari Puak Sabankarah yang menetap di utara dan timur Sumatera. Penulis-penulis Arab, kemudian memberikan sebutan untuk pulau Sumatera dengan nama Rumi, al-Rumi, Lambri atau Lamuri. 

Namun sejak catatan dari Dinasti Tang tentang pedagang Arab hingga migrasi keluarga-keluarga Persia tersebut, dalam kurun waktu berabad-abad kemudian, tidak ditemukan bukti tentang pernah dianutnya Islam secara luas di kalangan penduduk Nusantara. 

Pertanda yang muncul, justru terjadinya semacam penolakan dari penduduk setempat tentang upaya-upaya penyebaran Islam yang mereka lakukan. 

Dapat dikatakan, bahwa secara umum proses masuknya Islam ke Nusantara yang ditandai dengan kedatangan para saudagar Arab dan Persia pada abad ke-7 Masehi, terbukti tidaklah mulus, namun ada kendala hingga memasuki abad ke-15. 

Terdapat jeda dan rentang waktu sekitar delapan abad sejak pertama kali Islam datang ke Nusantara yaitu masa di mana Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi. 

Dan baru kemudian pada abad ke-15, yaitu masa dakwah Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam dapat diterima dan diserap ke dalam asimilasi dan akulturasi budaya Nusantara. 

Meskipun fakta dan data sejarah pada masa ini lebih banyak diperoleh dari sumber historiografi dan cerita lisan, namun satu hal yang pasti bahwa pada masa itu Islam sudah terdeteksi melalui jaringan kekeluargaan tokoh-tokoh masyarakat yang beragama Islam, yang menggantikan kedudukan dan jabatan tokoh penting non muslim yang cukup berpengaruh pada masa akhir kerajaan Majapahit. 

Terdapat bukti sejarah dari arkeologi petilasan Islam di Nusantara yaitu keberadaan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, yang berada di Dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. 

Dalam prasasti makam tersebut menunjukkan tahun 475 H/1082 M. Secara arkeologis, makam Fatimah binti Maimun yang terletak di Desa Leran, 12 kilometer di sebelah barat kota Gresik dianggap sebagai satu-satunya bukti sejarah tertua di Nusantara, yang sepertinya berhubungan dengan peristiwa migrasi Suku Lor asal Persia yang datang ke tanah Jawa pada abad ke-10 M. 

Selain makam utama Fatimah binti Maimun, di sekitarnya berserakan pula makam-makam lain yang tidak ada prasasti dan menunjukkan angka tahun, tetapi berdasarkan kajian arkeologis makam-makam tersebut memiliki pola ragam hias dari abad ke-16. 

Jenis nisan serupa dengan yang ditemukan di Champa, berisi tulisan tentang doa-doa kepada Allah Swt. Dalam bukunya Islam Comes to Malaysia, S.Q. Fatimi menuliskan bahwa jenis khat kufi pada nisan di makam-makam di sekitar makam Fatimah binti Maimun tersebut, kemungkinan dibuat oleh seorang penganut Syiah. 

Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa pada masa tersebut, muslim yang datang ke Nusantara kebanyakan berasal dari Persia yang kemudian bermukim di Timur Jauh, salah satunya adalah Suku Lor yang bermigrasi pada abad ke-10 Masehi. 

 Ditemukannya makam Fatimah binti Maimun dan makam-makam lain di sekitarnya tersebut, menurut penelitian S.Q. Fatimi sangat mungkin berkaitan dengan dakwah Islam yang dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim pada seperempat akhir abad ke-14 dan seperempat awal abad ke-15. Menurut cerita masyarakat di wilayah tersebut, pertama kali Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke Desa Sembalo, di sebelah utara Desa Leran. Maulana Malik Ibrahim mendirikan masjid untuk beribadah dan kegiatan dakwah di Desa Pesucian. Dan setelah membentuk komunitas muslim, beliau berpindah ke Desa Sawo di wilayah Gresik. Dalam The History of Java, Thomas S. Raffles mencatat cerita dari penduduk setempat, bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama yang termasyhur yang berasal dari Arab, keturunan dari Zainal Abidin dan merupakan sepupu Raja Chermen. 

Maulana Malik Ibrahim menetap bersama para Mohamedans (orang-orang Islam) di Desa Leran di Jenggala. Besar kemungkinan makam-makam tersebut di atas berhubungan dengan komunitas muslim yang dibentuk oleh Maulana Malik Ibrahim di Leran pada seperempat akhir abad ke-14. 

Mereka juga memuliakan makam Fatimah binti Maimun yang dianggap sebagai makam muslimah yang lebih tua, sehingga mereka yang hidup pada abad ke-16 merasa bangga apabila mereka dimakamkan di area makam tua yang dikeramatkan tersebut.

iklan tengah