Awal dan Akhir Alam Semesta Menurut Astronomi dan Al Qur'an
"Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang menciptakan".
Maka,
riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan
pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat.
Atas dasar itu,setiap tahapan riset yang menyingkap satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukuri dengan ungkapan
"Rabbana
maa Khalaqta haadza, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia" (QS. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.
Memikirkan perihal pembentukan, susunan dan evolusi alam semesta dalam tinjauan astronomi merupakan cara mengenal kekuasaan Allah yang pada gilirannya akan memperkuat aqidah.
Secara
lengkap di dalam surat Ali Imran 190-191 Allah menunjukan setidaknya empat ciri
yang harus dipunyai seorang muslim untuk mencapai tingkat ulil albab:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi (segala fenomena di alam), dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi para cendekia (ulil albab); (yaitu):
1. mereka
yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk, maupun berbaring (dalam
segala aktivitasnya);\
2. dan
selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (tidak henti menelaah
fenomena alam);
3. (bila
dijumpai suatu kekaguman mereka berkata); "Tuhan kami, tidaklah Engkau
ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau".
4. (dan
dengan kesadaran bahwa pengembaraan intelektualnya mungkin sesat, mereka
senantiasa memohon kepada Allah) "Dan jauhkanlah kami dari siksa neraka".
Dengan
mengacu ayat-ayat tersebut kami mencoba mengajak menjelajah sekilas lintas
keluasaan langit sambil menembus kedalaman Al Qur'an. Namun hal penting yang
tersirat dari ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kemungkinan salah dan sesat
dalam pengembaraan ilmiah bisa saja terjadi.
Ini
juga mengingatkan bahwa kebenaran ilmu relatif.
Hingga
dalam memahami kebenaran mutlak dalam Al Qur'an dengan perangkat sains harus
kita sadari pula relativitas penafsiran kita. Apalagi dengan mengingat bahwa laju
kadaluarsaan sains saat ini semakin cepat.
Penciptaan Alam Semesta menurut Astronomi dan Al
Qur'an
Teori
yang kini banyak pendukungnya mengatakan bahwa alam semesta bermula dari
ledakan besar (Big Bang) sekitar 10-20 milyar tahun yang lalu.
Semua
materi dan energi yang kini ada di alam terkumpul dalam satu titik tak
berdimensi yang berkerapatan tak terhingga.
Tetapi
ini jangan dibayangkan seolah-olah titik itu berada disuatu tempat di
alam yang kita kenal sekarang ini.
Yang
benar, materi, energi dan ruang yang ditempatinya seluruhnya bervolume amat
kecil, hanya satu titik tak berdimensi.
Tidak
ada satu titik pun di alam semesta yang dapat dianggap sebagai pusat ledakan.
Dengan kata lain ledakan besar alam semesta tidak seperti ledakan bom yang meledak
dari satu titik ke segenap penjuru.
Hal
ini karena pada hakekatnya seluruh alam turut serta dalam ledakan itu. Lebih
tepatnya, seluruh alam semesta mengembang tiba-tiba secara serentak. Ketika
itulah mulainya terbentuk ruang dan waktu.
Radiasi
yang terpancar pada saat awal pembentukan itu masih berupa cahaya.
Namun
karena alam semesta terus mengembang, panjang gelombang radiasi itu pun masih
panjang, sesuai dengan efek Doppler, menjadi gelombang radio.
Kini,
radiasi awal itu yang dikenal sebagai radiasi latar belakang kosmik dapat
dideteksi dengan teleskop radio.
Peristiwa
serupa diisyaratkan pula dalam Al Qur'an bahwa seluruh materi dan energi di
langit dan bumi berasal dari satu kesatuan pada awal penciptaanya.
"Tidaklah
tahu orang-orang kafir itu bahwa sesungguhnya langit dan bumi berasal dari
satu kesatuan kemudian Kami pisahkan" (QS. 21:20).
Langit
yang dimaksud disini adalah seluruh benda-benda luar angkasa. Semuanya berasal
dari satu materi dasar yang berupa hidrogen.
Dari
reaksi nuklir (fusi) didalam bintang, terbentuklah unsur-unsur berat sperti
karbon, sampai besi.
Kandungan
unsur-unsur berat dalam komposisi materi bintang merupakan salah satu
"akte" lahir bintang.
Bintang-bintang
yang mengandung banyak unsur berat, berarti bintang itu "generasi
muda" yang memanfaatkan materi sisa ledakan bintang-bintang tua.
Materi
pembentuk bumi pun diyakini berasal dari debu dan gas antar bintang yang
berasal dari ledakan bintang di masa lalu.
Jadi,
seisi alam ini memang berasal dari satu kesatuan.
Walaupun
tidak terlalu banyak pendukungnya, beberapa pakar kosmologi dan fisikawan
teoritis "menggugat" bahwa alam ada awalnya.
Beberapa
teori yang menyatakan bahwa tidak ada batas waktu, tidak ada singularitas Big
Bang. Ini misalnya dikemukakan oleh Maddox (1989) dan Levy Leblond (1989) serta
dalam buku populer Hawking (1989). Mereka berpendapat bahwa tidak ada batas
waktu yang dapat disebut sebagai awal penciptaan alam semesta. Hawking dalam
buku "A Brief History of Time" menyebutnya
"No-boundary conditions".
Model
matematis itu menyatakan bahwa alam semesta berhingga ukurannya tetapi tanpa
batas dalam ruang dan waktu.
Dengan
menggunakan keadaan tak terbatas (No-boundary conditions) ini,
Hawking menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan minimum yang
memenuhi Prinsip ketidakpastian.
Kemudian
alam semesta mulai mengembang dengan pesat.
Dengan
prinsip ketidakpastian ini, dinyatakan bahwa alam semesta tidak mungkin
sepenuhnya seragam, karena di sana sini pasti didapati ketidak pastian posisi
dan kecepatan partikel-partikel dalam alam semesta yang sedang mengembang ini
kerapatan (density) suatu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya.
Gravitasi
menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi makin lambat mengembang dan mulai
memampat (berkontraksi).
Pemampatan
inilah yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi bintang-bintang dan semua benda-benda
langit.
Berdasarkan
model tersebut Hawking menyatakan "sejauh anggapan bahwa alam semesta
bermula, kita menganggap ada Sang Pencipta.
Tetapi
jika alam semesta sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak terbatas tak bertepi,
tanpa awal dan akhir, lalu dimanakah peran Sang Pencipta".
Tentunya
bagi ilmuwan Muslim yang penalarannya berdasarkan iman tak mungkin
mempertanyakan peran Allah Rabbul'alamin.
Kita
meyakini bahwa Dia adalah pencipta semesta ini. Tetapi cara Allah menciptakan
alam semesta ini tak mungkin sama dengan apa yang manusia gambarkan sebagai
pencipta.
"Tak
ada suatu pun yang menyamai-Nya" (QS. Al Ikhlas:4)
Kalau
kita cermati penalaran Hawking, dikatakannya bahwa alam mulai hanya dengan
"keacakan minimum".
Sebenarnya
ada syarat 'keacakan' itu dan berbagai hukum dalam sains (termasuk 'prinsip
ketidakpastian' yang menjadi asal 'keacakan') cukup menjadi bukti bahwa semua
itu ada penciptanya, Allah Rabbul'alamin.
Allah
"bekerja" dengan caranya, yang mungkin tak bisa ditelusur dengan
sains.
Pengembangan
alam semesta menurut Astronomi dan Al Qur'an
"
Allah menjellaskan bahwa benda-benda langit tidaklah statis, tetapi terus
mengembang sejak pembentukannya"
"Dan
langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami. Sungguh Kami kuasa meluaskannya"
(QS. Az-Zariat:47)
Memang
demikianlah yang kini teramati. Spektrum galaksi-galaksi yang jauh sebagian
besar menunjukan bergetar ke arah merah yang dikenal sebagai red shift (pergeseran
merah, panjang gelombangnya bertambah sesuai dengan efek Doppler).
Ini
merupakan petunjuk bahwa galaksi-galaksi itu saling menjauh. Dengan kata lain,
alam semesta ini sedang mengembang.
Sebenarnya
yang terjadi adalah pengembangan 'ruang'. Galaksi-galaksi itu (dalam ukuran
alam semesta hanya dianggap seperti partikel-partikel) dapat dikatakan
menempati kedudukan yang tetap dalam ruang, dan ruang itu sendiri yang sedang
berekspansi.
Kita
dapat mengenal adanya ruang di luar alam ini. Oleh karenanya kita tidak bisa
menanyakan ada apa di luar semesta ini.
Secara
sederhana, keadaan awal alam semesta dan pengembangannya itu dapat
diilustrasikan dengan pembuatan roti.
Materi
pembentuk roti itu semula terkumpul dalam gumpalan kecil, kemudian mulai
mengembang.
Dengan
kata lain 'ruang' roti sedang mengembang. Butir-butir partikel di dalam roti
itu (analog dengan galaksi di alam semesta) saling menjauh sejalan dengan
pengembangan roti itu (analog dengan alam).
Dalam
ilustrasi tersebut, kita berada di salah satu partikel di dalam roti itu.
Di
luar roti, kita tidak mengenal adanya ruang lain, karena pengetahuan kita, yang
berada di dalam roti itu, terbatas hanya pada ruang roti itu sendiri.
Demikian
pulalah, kita tidak mengenal alam fisik lain di luar dimensi
"ruang-waktu" yang kita kenal. Sedangkan informasi alam gaib sangat
terbatas.
Dengan
hanya mengandalkan pengamatan, kita tidak mungkin menggambarkan bagaimana ujud
alam semesta ini.
Maka
diperlukanlah suatu model matematis yang dapat menjelaskan "bentuk"
alam semesta ini termasuk solusinya.
Secara
sederhana akan dibahas "geometri" alam semesta tersebut.
Dengan
menggunakan solusi kosmologis persamaan Einstein dan prinsip kosmologis yang
menganggap bahwa alam semesta homogen dimanapun dan isotropik di setiap titik
di alam, di dapatkan dua model alam semesta:
1. Terbuka atau tak terhingga;
2. tertutup atau berhingga terbatas.
Prinsip
kosmologis tersebut didasarkan hasil pengamatan bahwa alam semesta tampak
homogen dan isotropik (galaksi-galaksi nampak tersebar seragam ke segala arah).
Untuk
menentukan model mana yang benar, diperlukan informasi tentang massa total alam
semesta ini.
Seandainya
seluruh materi di alam ini tidak cukup banyak untuk mengerem pengembangan, maka
alam semesta akan terus mengembang dan berarti alam semesta ini
"terbuka" atau tak berhingga.
Tetapi
jika massanya cukup besar, maka pengembangan alam semesta akan direm, akhirnya
berhenti dan mulai mengerut lagi. Kalau ini yang terbukti berarti alam semesta
"tertutup" berhingga tak terbatas.
Sifat
alam semesta "berhingga tak terbatas" itu dapat diilustrasikan dalam
dua dimensi pada permukaan bola bumi (sesungguhnya alam berdimensi empat, tiga
dimensi ruang dan satu dimensi waktu).
Bola
itu berhingga ukurannya tapi tak terbatas, tak bertepi.
Garis-garis
lintang analog dengan "ruang" alam semesta ini dengan garis-garis
bujur analog dengan "waktu".
Perjalanan
"ruang-waktu" alam ini bermula dari kutub utara menuju kutub selatan.
Kita menelusuri garis bujur.
Dengan
bertambah jauh kita menelusurinya (atau bertambah "waktu" nya) kita
akan jumpai lingkaran-lingkaran lintang yang bertambah besar (atau
"ruang" alam semesta mengembang).
Setelah
mencapai maksimum di katulistiwa, kemudian lingkaran lintang pun mulai mengecil
lagi. Seperti itu pula alam semesta mulai mengerut.
Bila
kita berjalan sepanjang garis lintang, kita akan kembali ke titik semula. Sama
halnya dengan sifat yang tak terbatas itu.
Cahaya
yang kita pancarkan ke arah manapun, pada prinsipnya akan kembali lagi dari
arah belakang kita.
Model
ini benar, pada prinsipnya, kita akan bisa melihat galaksi bimasakti (galaksi
kita) berada diantara galaksi-galaksi yang jauh (galaksi luar).
Sampai
saat ini belum dapat diputuskan model mana yang benar karena belum adanya bukti
observasi yang betul-betul menyakinkan.
Pengamatan
Deuterium yang dilakukan satelit Copernicus pada tahun 1973 menghasilkan jumlah
Deuterium 0,00002 kali jumlah Hidrogen. Sebenarnya ini merupakan alasan terkuat
yang mendukung model alam "tak berhingga".
Tetapi
banyak yang meragukan kecermatan pengukurannya. Maka sampai saat ini kedua
kemungkinan model itu masih terbuka. Kita masih menantikan observasi yang lebih
cermat dalam teori yang lebih baik untuk menafsirkannya.
Sampai
saat ini model alam semesta ini merupakan salah satu masalah belum terpecahkan
dalam astronomi, karena sulitnya mendapatkan bukti observasional.
Bagaimana
konsep Al Quran dalam model alam semesta? Tampaknya sangat mirip dengan model
alam semesta "tertutup".
Alam
semesta akan berhenti mengembang dan mulai mengerut. Hal ini akan dibahas dalam
bagian mendatang dalam bahasn kehancuran alam semesta.
Sumber:
Marzuki,
Muharam dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Astronomi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agaman Islam.
Posting Komentar