Cara Pengukuran Rona



Foto udara berisi rekaman rinci kenampakan permukaan bumi  pada saat pemotretan.

Seorang penafsir foto dengan sistematik mengkaji foto tersebut, dan sering juga material pendukung seperti peta dan laporan pengamatan medan.  

Berdasarkan studi ini dilakukan interpretasi atas difat fisik yang tampak pada foto.

Keberhasilan didalam interpretasi foto sangat bervariasi tergantung dari latihan dan pengalaman penafsir, sifat obyek yang di interpretasi, dan kualitas foto yang digunakan.

Pada umunya penafsir foto yang paling mampu memiliki daya pengamatan yang tajam dipadu dengan imaginasi.  

Studi sistematik pada foto udara biasanya meliputi  beberapa sifat khas dasar kenampakan yang tergambar pada foto. karakteristik tersebut yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur, dan situs.

Pada tulisan ini hanya akan dibahas mengenai karakteristik foto udara yang berupa Rona.

Sumber:

Lillesand dan Kieffer. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation



PENGERTIAN
Rona adalah tingkatan gelap terangnya obyek yang tampak pada suatu citra, baik  itu citra foto udara maupun sictra satelit. 

Pemahaman mengenai rona diperlukan terutama dalam kegiatan interpretasi citra foto udara.

Penjelasan lengkap mengenai apa itu rona dijelasakan oleh Sutanto (1994:122) sebagai berikut:

Pengertian Rona
Rona (tone/color tone/grey tone) ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. 

Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0,4 - 0,7) μm. 

Sebaliknya bila obyek menyerap sinar biru maka ia akan memantulkan warna hijau dan merah. 

Sebagai akibatnya maka obyek akan tampak dengan warna kuning (b). Perhatikan gambar dibawah ini.

a = tampak biru karena memantulkan sinar biru
b = tampak kuning karena memantulkan sinar kuning

Berbeda dengan rona yang hanya menyajikan tingkat kegelapan didalam ujud hitam putih, warna menunjukan tingkat kegelapan yang lebih beraneka. 

Ada tingkat kegelapan didalam warna biru, hijau, merah, kuning, jingga dan warna lainya.

Meskipun tidak menjelaskan cara pengukurannya, Eates et al (1983 dalam Sutanto, 1994:123) mengutarakan bahwa mata manusia dapat membedakan 200 rona dan 20.000 warna. 

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pembedaan obyek pada foto berwarna lebih mudah bila dibanding dengan pembedaan obyek pada foto hitam putih.

Pernyataan yang senada dapat diutarakan pula, yakni pembedaan obyek pada citra yang menggunakan spektrum sempit lebih mudah daripada pembedaan obyek pada citra yang dibuat dengan spektrum lebar, meskipun citranya sama-sama tidak berwarna. 

Asas inilah yang mendorong orang untuk menciptakan citra multispektral.

Rona dan warna merupakan unsur dasar. 

Hal ini mencerminkan betapa pentingnya rona dan warna dalam mengenali obyek. 

Tiap obyek tampak pertama pada citra berdasrkan rona dan warnanya. 

Setelah rona dan warna yang sama dikelompokkan dan diberi garis batas untuk memisahkannya dari rona atau warna yang berlainan, barulah tampak bentuk, tekstur, pola, ukuran dan bayangannya. 

Itulah sebabnya maka rona dan warna disebut unsur dasar. 


Sumber:
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RONA
Rona pada citra dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu karakteristik obyeknya sendiri, bahan yang digunakan, pemrosesan emulsi, cuaca, dan letak obyek.

Penjelasan lengkap mengenai kelima faktor diatas, dapat kamu baca dibawah ini:


Faktor yang Mempengaruhi Rona

1. Karakteristik Obyek
Karakteristik obyek yang mempengaruhi rona ialah:

a. Permukaan kasar cenderung menimbulkan rona gelap pada foto karena sinar yang datang mengalami hamburan hingga mengurangi sinar yang dipantulkan.

b. Warna obyek yang gelap cenderung menimbulkan rona gelap.

c. obyek yang basah atau lembab cenderung menimbulkan rona gelap.

d. Pantulan obyek, misalnya air tampak gelap dan batuan kapur tampak cerah.

Untuk menyidik karakteristik spektral obyek pada citra perlu diketahui karakteristik pantulan atau pancaran obyek.

Tabel dibawah ini menyajikan karakteristik pantulan tanah, air dan vegetasi yang dinyatakan dengan nilai albedonya.


Sumber: Lillesand and Kiefer, 1979

2. Bahan yang digunakan
Jenis film yang digunakan juga menentukan rona suatu foto karena tiap jenis film mempunyai kepekaan tersendiri. 

Killford (1973) mengutarakan bahwa perak halid yang biasa digunakan sebagai emulsi film mula-mula hanya peka terhadap spektrum ultraviolet dan saluran biru. 

Ia hanya merekam sinar gelombang pendek yang justru hamburannya besar. Sebagai akibatnya maka banyak obyek yang tampak jelas di medan, pada foto tampak lemah sekali (tidak jelas).

Perkembangan pertama perak halid berupa film ortokromatik yang kepekaanya bertambah hingga saluran hijau. 


Rona foto yang dihasilkan berbeda dengan foto yang dibuat dengan perak halid biasa.

Perkembangan selanjutnya adalah film pankromatik yang peka terhadap hampir seluruh spektrum tampak dan film inframerah yang peka terhadap panjang gelombang 0,9 μm. 


Perkembangan terakhir berupa foto multispektral yang menggunakan saluran sempit, yaitu saluran biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Rona pada tiap foto tersebut tentu saja berbeda-beda. 

Kepekaan film tersebut dijasikan pada gambar dibawah ini.

Kepekaan Berbagai Emulsi (Paine, 1981; Killford, 1973; Sutanto, 1994)

c. Pemrosesan Emulsi 
Emulsi dapat diproses dengan hasil redup (mat), setengah redup (semi mat), dan gilap (glossy). 

Cetakan gilap menguntungkan karena ronanya lebih cerah, akan tetapi sukar ditulisi atau digambar. 

Cetakan redup bersifat sebaliknya. 

Cetakan setengah redup mempunyai sifat antara, yaitu ronanya cukup cerah dan masih agak mudah ditulisi atau digambari.

d. Cuaca
Rona foto udara sangat bergantung atas jumlah sinar yang dapat mencapai sensor. 

Rona bergantung atas jumlah sinar yang mengenai obyek dan daya pantul obyeknya. 

Sebelum sinar mencapai obyek maupun setelah dipantulkan oleh obyek yaitu dalam perjalanan mencapai sensor, ia dipengaruhi oleh hamburan 'Mie' dan hingga 9 km dipengaruhi oleh hamburan 'Rayleigh'. 

Disamping itu masih ada hamburan non selektif. 

Penghamburannya berupa butir-butir gas yang ada di atmosfer, asap, awan, dan butir-butir air. 

Pada cuaca berwarna bahkan tidak mungkin dilakukan pemotretan. Oleh karena itu rona foto udara sangat dipengaruhi oleh kejernihan atmosfer.

e. Letak Obyek Pada Waktu Pemotretan
Letak dapat diartikan letak lintang dan bujur, ketinggian tempat atau letak obyek terhadap lainnya.

Bagi letak lintang dan bujur, letak lintang lah yang berpengaruh terhadap rona pada foto. 

Bagi tempat yang terletak di llintang tinggi, misalnya 40° derajat Lintang Utara, penyinaran penyinaran pada tengah hari berjumlah 11.000 'foot-candles' pada bulan Juni dan berjumlah 5000 'foot-candles' pada bulan Desember (Estes, 1974 dalam Sutanto, 1994:132).

Dengan demikian maka sinar yang mencapai obyek pada bulan Juni sekitar 23% sinar mengenai obyek yang sama pada bulan Desember. 

Sebagai akibatnya, rona obyek tersebut juga berbeda. 

Letak tempat dan waktu (musim) sangat mempengaruhi rona foto.

Ketinggian tempat juga mempengaruhi rona pada foto bagi obyek yang sama. 


Hal ini terutama disebabkan oleh seringnya adanya kabut tipis pada pagi hari di tempat yang tinggi. 

Bila pemotretan dilakukan di pagi hari pada saat kabut tipis belum hilang, misalnya jam 08.00, rona obyek di tempat yang rendah lebih cerah karena pada umumnya tidak banyak kabutnya.


Foto Udara Infra Merah Hitam Putih Sebelah Timur Kota Cilacap, 1972, 1:20.000
Rona air laut tampak hitam. Rona sawah berair juga tampak hitam. Rona sawah kering tampak putih.
Sawah dengan rona kelabu menunjukan tanaman padi yang sedang subur, umur sekitar 2 bulan. Tanaman padi
yang umurnya dibawah 10 hari tampak hitam karena yang tampak justru latar belakang yang berupa air.
Secara lebih sempit lagi, letak dapat diartikan sebagai letak terhadap obyek lain disekitarnya. 

Bila obyek lain ini lebih tinggi dan menghalangi obyek itu, maka obyek itu akan tidak tampak pada foto. 

Kalau masih ada sinar yang mencapai obyek itu meskipun tidak penuh, obyek akan tampak dengan rona yang lebih gelap bila dibanding dengan obyek lain yang terletak di tempat terbuka.


Sumber:
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



PENGUKURAN RONA
Rona dapat diukur dengan dua cara, yaitu dengan cara relatif dengan menggunakan mata biasa, dan dengan cara kuantitatif dengan menggunakan alat. 

Dengan menggunakan mata biasa pada umumnya rona dibedakan atas lima tingkat, yaitu putih, kelabu-puith, kelabu, kelabu-hitam, dan hitam. 

Dengan menggunakan alat maka rona dapat dibedakan dengan pasti dan dengan tingkat pembedaan yang lebih banyak.

Lillesand dan Kiefer (1979 dalam Sutanto, 1994:124) mengutarakan bahwa foto udara dapat dipandang sebagai rekaman fisual terhadap sinar yang mengenai detektor kecil yang berjumlah besar. 


Detektor bagi foto udara ialah butir-butir perak halid (AgBr, AgCl, AgFl, AgJ) pada emulsi film. 

Tiap butir perak halid merekam sinar yag dipantulkan oeh obyek di bumi. 

Setelah film diproses, hasil rekamannya membuahkan gambaran tertentu.

Gambaran ini terbentuk karena ada beda pantulan oleh obyek yang berbeda. Seandainya pantulanya sama, maka tidak akan terbentuk gambar karena seluruh lembaran film akan menyajikan gambaran yang sama ronanya. 


Jadi, rekaman sinar pada tiap butir perak halid bergantung pada pantulan obyek yang sinarnya diterima oleh tiap butir tersebut. 

Disamping itu ronanya juga bergantung pada panjang gelombang sinar yang digunakan.

Bila butir perak halid terkena sinar, ikatan antara perak dan halid menjadi lemah dan terbentuk gambaran laten pada film itu. 


Setelah film dicuci maka daerah yang terkena sinar akan tampak putih bila lapisan dasarnya kertas putih, atau tampak bening bila lapisan dasarnya berupa film transparan atau kaca.

Bagian yang gelap bersifat opak atau tak tembus cahaya, sedang bagian yang jernih bersifat tembus cahaya. 


Oleh karena itu, maka ronanya dapat diukur dengan opasitas (O) atau transmisi (T)-nya, yaitu sifat tembus cahayanya.

Sebagi contoh, dimisalkan film pada gambar dibawah inidisinari dengan lampu yang berkekuatan 100 unit. 



Opasitas Transmisi dan Densiti Pada Film (Lillesand dan Kiefer, 1979)

Pada bagian A yang jernih, misalnya sinar yang menembus film itu sebesar 10 unit. Pada bagian B yang gelap, sinar yang menembus film sebesar 1 unit. 

Didalam contoh ini maka TA = 10/100 = 0,10 = 10%. Sedang TB =  1/100 = 1%.
Besarnya opasitas berbanding terbalik terhadap transmisinya. Jadi, OA = 1/TA  dan OB = 1/TB.OA  = 1/0,1= 10, sedang OB = 1/0,01 = 100.

Jadi, rona dapat diukur berdasarkan opasitasnya maupun berdasarkan transmisinya. 


Didalam contoh ini rona A diukur dengan TA  = 0,1 atau OA = 10, sedang B dengan TB =  0,01 atau OB = 100.

Akan tetapi, ternyata bahwa gradasi transmisi maupun opasitas tidak selaras dengan kesan yang tertangkap oleh mata. 


Oleh karena itu kemudian dikembangkan cara pengukuran rona yang lebih selaras dengan kesan mata. 

Tingkat rona itu disebut densiti (density) yang besarnya sama dengan logaritma normal opasitas, atau :



Dalam contoh tersebut maka densiti pada gambar A sebesar log 10 = 1, sedang densiti pada B sebesar log 100 = 2.

Contoh hubungan antara nilai transmisi, opasitas dan densitinya disajikan pada tabel dibawah ini.



Sumber: Lillesand and Kiefer, 1997

Alat pengukur densiti disebut Densitometer. 

Untuk mengukur densiti pada film digunakan densitometer transmisi. 

Sedang untuk mengukur densiti pada citra yang dicetak diatas kertas digunakan densitomenter pantulan.

Tiap jenis densitometer dibedakan atas densitometer titik (spot densitometer) dan densitometer penyiaman (scaning densitometer). 


Densitometer titik digunakan untuk mengukur densiti citra pada beberapa bagian, sedang densitometer penyiaman digunakan untuk mengukur densiti seluruh citra. 

Densiti dapat dibedakan atas 21 tingkat, dengan nilai densiti antara 0 hingga 3. Densiti 0 menunjukan bagian yang gelap, sedangkan densiti 3 menunjukan bagian yang cerah.

Sumber:
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

iklan tengah