Perkembangan Paradigma Geografi

Pada awal tahun lima puluhan, di lingkungan perguruan tinggi di Amerika Serikat muncul kericuhan mengenai kedudukan geografi regional yang sejak tahun dua puluhan paradigmanya disana.

Adapun landasan pemikirannya berupa buku tulisan Hartshorne berjudul The Nature Of Geography yang baru diterbitkan pada tahun 1939.

Tetapi bersama dengan majunya zaman para geograf selalu mendambakan suatu 'geografi baru' atau 'orientasi baru' dari disiplinnya.

Semakin mendekati tahun lima puluhan semakin tampak adanya tanda-tanda berdampingannya geografi yang baru dengan yang lama, masing-masing dengan gagasan dasar yang maton (Daldjoeni, 1997:1).

Preston James pada tahun 1952 pada pembukaan uraiannya mengenai pengertian region (wilayah) menunjuk bahwa konsep regional merupakan inti dari geografi.

Padahal visi konsep konvensional ini sudah dianggap kolot untuk masa itu, sehingga ditolak dengan penyertaan kritik yang pedas. Isi kritik mencakup keragu-raguan orang terhadap konsepsi geografi sebagai kronologi (Daldjoeni, 1997:1).

Geografi Jerman yang dimasa jaya-jayanya rezim Nazi berhasil lolos mengungsi ke Amerika Serikat. Seranganya maton karena ia menguasai filsafat ilmu positif-logis (Daldjoeni, 1997:2).


Kontroversi Schaefer-Harsthorne

Selain Schaefer (adalah seorang radikal-kiri di Jerman yang berhasil mengungsi ke Amerika dan hidup serba kekurangan, diduga bahwa sehabis kematiannya di tahun 1953 artikel-artikelnya baru diterbitkan, kematiannya dipercepat karena baginya iklim politik tak sesuai dengan selera rohaninya) yang meragukan kemampuan geografi regional adalah McCarty dan Garrison.

Mereka bertiga bekerjasama dalam menyusun konsepsi geografi yang baru. Namun tokoh yang dipandang menjadi pencetus pernyataan-pernyataan yang pragmatis dari analisis keruangan tetap Schaefer, karena memang ada bukti-buktinya yang kuat untuk itu (Daldjoeni, 1997:2).

Adapun yang dikritik oleh Schaefer pada dasarnya exeptionalisme yang melandasi geografi dari Hartshorne.

Menurut Harsthorne objek-objek dari risetnya adalah regio-regio unik yang meliputi salah satu dari metodologi ilmu pengetahuan sistematis yang menyimpang.

Ini runtut benar dengan visi yang mengatakan bahwa geografi suatu disiplin yang lain dari yang lain.

Posisi geografi yang menyimpang itu dan memuat geografi regional oleh Schaefer dilukiskan sebagai sesuatu yang tidak ilmiah atau anti-ilmiah sehingga perlu dibelokkan ke arah positivistis-logis (Daldjoeni, 1997:2).

Menurut ia, diantara ilmu-ilmu alamiah hanya terdapat perbedaan gradual saja, jadi bukan prinsipal.

Setiap disiplin pada dasarnya mengkaji secara mendalam makna tertentu dari objek-objeknya yang unik, akan tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menganggap bahwa lalu tidak dimungkinkan lagi orang merumuskan hukum-hukum (Daldjoeni, 1997:3).

Misalnya, psikologi itu meneliti para individu yang satu dengan yang lain tidaklah  sama; tetapi hukum-hukumnya dapat saja ditemukan oleh psikologi.

Demikian pula regio-regio itu tidaklah identik, tetapi hal itu tidaklah mewujudkan hambatan atau halangan untuk dapatnya dilacak hukum-hukum yang tersembunyi didalamnya.

Pada dirinya regio-regio itu masing-masing merupakan konstelasi yang unik dari gejala-gejala umum. Dengan menggantikan ideal yang ideografis oleh yang nomotheis, maka geografi akan dapat menjadi seperti ilmu-ilmu yang lain (Daldjoeni, 1997:3).

Yang dibela oleh Schaefer tidak terbatas pada perubahan-perubahan metodologinya tetapi juga menyangkut filsafat disiplin.

Ia ingin agar geografi janganlah lama-lama merupakan ilmu tentang keberanekaragaman wilayah (areal differentation), yang memuat kajian-kajian regio secara sintesis belaka. Penekanan telaahnya harus diubah dari sintesis menjadi analisis.

Geografi secara primer haruslah menurut ia menjadi ilmu yang tugasnya mengkaji pola-pola keruangan.

Dalam visinya, geografi itu semestinya 'the science concerned with the formulation of the law governing the spatial distribution of certain features of the surface of the earth'.

Hukum-hukum dari geografi haruslah menerangkan persebaran secara keruangan (spatial) dari berbagai gejala. Schaefer sehubungan dengan hal itu menulis: 'Description, even if followed by classification, does not explain the manner in which phenomena are distributed over the world. To explain this phenomena one has to describe the means always to recognize them as instanches of law' (Daldjoeni, 1997:3-4).

Bagi schaefer, hukum geografi sebenarnya adalah bersifat morfologis, artinya: hukum-hukum dimana termuat pola-pola persebaran yang saling berkaitan.

Misalnya adanya korelasi-korelasi spatial diantara presentase penduduk yang bekerja pada indsutri dan tingginya pendapatan per jiwa dari penduduk tersebut, atau antara kepadatan penduduk dan intensitas usaha pertaniannya.

Yang tampak mencolok adalah bahwa ia tidak mencatat hukum-hukum proses yang merujuk pada waktudan tidak berubah sebagai hal yang bersifat geografis.

Ada kemungkinan bahwa Schaefer dalam visinya masih juga dipengaruhi oleh paham dari Hettner-Harsthorne yang memilah ilmu-ilmu kronologis dari yang kronologis (Daldjoeni, 1997:4).

Seperti diduga sejak awalnya, Hartshorne benar-benar merasa ditantang  oleh artikel-artikel tulisan Schaefer yang seba tajam. Lalu ditunjukannya bagian-bagian mana yang dinilainya tidak sempurna dan ceroboh.

Adapun pokok-pokok pendiriannya yang dibelanya baru dikemudian hari pada tahun 1959 diterbitkannya berupa buku dengan judul Perspektive on the nature of geography. Di dalamnya ia membela paradigma yang dianutnya, namun ia mengalami kesulitan dalam usahanya itu.

Ini disebabkan karena gagasan Schaefer sama halnya dengan yang dimiliki Hrsthorne pada pokoknya berlandaskan nilai-nilai yang imun terhadap suatu serangan yang rasional-logis (Daldjoeni, 1997:4).

Pergantian Paradigma

Penting untuk dijawab pertanyaan ini: sejauh mana peralihan dari geografi regional ke analisis spasial itu merupakan suatu pergantian paradigma; juga sebagai suatu revolusi keilmuan menurut pengertian Kuhn.

Ternyata jawabannya beraneka juga; ada yang mengiyakannya dan ada pula yang menolaknya (Daldjoeni, 1997:5).

Apabila dibedakan, paradigma didalam filsafat disiplin dari wawasan secara metodologis, maka di situ dapat dikatakan adanya revolusi.

Sebabnya adalah karena paradigma yang lama telah memindahkan tema keberanekaragaman wilayah ke bawah panji-panji yang mencanangkan tatakerja baru yaitu yang intuitif-kuantitatif.

Dalam jangka waktu beberapa tahun saja geografi lalu bersemangat membuang bagian besar dari paradigma yang lama, untuk ditukarkan dengan yang baru yang bertemakan persebaran keruangan (spatial distribution) dengan metodologinya yang positivistis-kuantitatif (Daldjoeni, 1997:5).

Selama masa peralihan tadi terjadi berbagai debat antara Hartshorne dan Schaefer; ini merupakan ciri lain dari gejala keilmuan dalam suatu periode krisis.

Kata-kata tajam yang saling dilemparkan oleh kedua tokoh tadi ternyata tidak bebas dari sentimen pribadi, masing-masingnya dengan latar belakang berlainan (Daldjoeni, 1997:5).

Disamping itu faktor-faktor sosiologis dan psikologis juga memainkan peranan penting. Dengan diterimanya paradigma baru tentunya para tokoh geograf yang mendukung paradigma lama itu akan digeser ke pinggiran karena mereka itu telah menjadi 'out of date'. Sikap mereka karena merasa terdesak, ikut mewarnai isi debat pembelan mereka misalnya cenderung menjadi irasional (Daldjoeni, 1997:5-6).

Jika teori Kuhn ingin dituntut agar konform, jelasnya bahwa suatu pergantian paradigma itu harus lewat suatu anomali datangnya, maka perubahan-perubahan yang muncul itu tidak boleh dipandang sebagai revolusi ilmu pengetahuan.

Padahal pada geografi tidak diyakini sepenuhnya telah munculnya anomali tadi. Layak apabila sehubungan itu Chilsholm (1975 dalam Daldjoeni, 1997) mengatakan bahwa yang terjadi dalam geografi itu bukannya suatu revolusi melainkan lebihlah suatu evolusi belaka.

Meskipun metode-metode geografi tampak begitu radikal dan cepat berubahnya, sehingga Button (1963 dalam Daldjoeni, 1997) menyebut terjadinya revolusi kuantitatif, tetapi sebenarnya aneka problematik geografis yang bermunculan disitu tak begitu penting tingkat perubahannya, jadi lebihlah bersifat mengambang saja (Daldjoeni, 1997:5-6).

Usaha membandingkan pola persebaran misalnya, juga dilakukan dalam geografi lama maupun geografi baru; yang lama memepersuperponer peta-peta secara bertumpuk, sedangkan yang baru menggunakan metode statistik.

Adapun tujuan serta perbandingannya berbeda banyak. Geografi yang tradisional ingin mendapatkan pembatasan gambaran antar regional secara ketat, sedang geografi modern ingin menemukan hukum-hukum dari segala keberaturannya yang ada (Daldjoeni, 1997:5-6).

Meskipun terjadi berbagai pembaharuan diatas, tidaklah terjadi hilangnya total regional geography dan landscape geography dari Sauer.

Pada universitas-universitas yang tidak tergolong terkemuka jenis geografi model lama masih terus saja diajarkan; para geograf angkatan tua cenderung setia pada geografi tradisional.

Pemakaian geografi kuantitatif di dalam berbagai penelitian betul mendampingin geografi yang lama yang kualitatif, tetapi imbangannya masih kalah juga. Bersama itu perhatian geograf pada hubungan manusia dengan lingkungan alam masih terus berlaku (Daldjoeni, 1997:7).

Perlu dicatat disini bahwa disamping dipertahankannya mengajarkan geografi berfaham ekologis, dengan alasan relevan dengan perkembangan zaman, sementara itu sudah diancang-ancangi juga masuknya geografi perilaku, tepatnya sepuluh tahun sebelum munculnya secara resmi. Itu dihubungkan dengan penelitian-penelitian berbagai kawasan dimana penduduknya kemungkinan besar akan dilanda oleh bencana alam.

Bertalian dengan ini Burton menyarankan isi geografi menyangkut persepsi dan reaksi manusia terhadap ledakan volan, gempa bumi, kekeringan serta banjir. Akhirnya studi geografi diarahkan kepada pengetahuan geografi dan bayangan manusia dalam kehidupannya sehari-hari, maksudnya aliran geografi yang kemudian disebut geografi humanistis (Daldjoeni, 1997:7).

Penerapan Analisis Spatial

dasawarsa lima puluh dan seluruh dasawarsa enam puluh ditandai dengan beranekanya problematik geografis yang diusahakan pemecahannya di dalam kungkungan kerangka metodologi yang ciut saja.

Tentang gejala ini Johnston menulis: 'Human geography experienced centrifugal trend with regard to subtance contemporaneousley with a centrifugal one with regard to produre'. Beranekanya permasalahan geografis tak ditanggulangi oleh suatu orientasi yang kuat ke ilmu ekonomi yang relatif telah berkembang baik dan dengan sebutan neo-klasik mikro-ekonomi.

Adapun mikro-ekonomis sebagaimana dibayangkan dari rumah tangga individual, para pengusaha dan konsumen dan sebagainya (Daldjoeni, 1997:8).

Adalah juga hampir otomatis bahwa geografi ekonomi dan aspek-ekonomi dari geografi kota paling banyak menarik perhatian. Teori-teori central place dari Christaller (1993) dan Losch (1940) yang berlandaskan ekonomi, teori dari Von Thunen (1826) menepati pusat perhatian.

Pada masa geografi regional jaya-jayanya, itu semua tak pernah disebut-sebut (Hartshorne sendiri meski terkenal banyak membaca literature Jerman, tak pernah menyebut nama Christaller), tetapi kemudian baru orang ramai-ramai menyambut mereka itu sebagai para pelopor analisis spatial (Daldjoeni, 1997:8).

Teori-teori mereka kemudian diuji, dibesut dan dicobakan pada aneka domein lain. Misalnya teori Christaller diuji pada aras antar kota (cocokkah model K=3 untuk Wisconsin?) dan digarap lanjut pada aras antar kota untuk lokasi dan hierarkhi dari pusat perbelanjaan (Daldjoeni, 1997:8).

Teori-teori lokasi industri yang dasar-dasarnya pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya diletakkan oleh para ekonom Jerman, dikerjasamakan dengan para regional economist dan penganut regional science yang fanatik menggunakan statistik, untuk menghasilkan bentuk-bentuk yang lebih konkret.

Kerjasama itu dinyatakan jelas pada sumbangan geografi dalam kongres Regional Science Association yang didirikan pada tahun 1954 atas prakarsa Walter Isard, pakar ekonomi spatial (Daldjoeni, 1997:9).

Adapun struktur kota dianalisis dengan bantuan prinsip dari Von Thunen yang isinya: jarak ke pusat kota (tempat dengan keterjangkauan yang terbaik) ikut menentukan lokasi segala kegiatan.

Bersama tu tumbuh perhatian orang pada tata kerja 'urban land economy' yang difase kemudian lagi juga menjadi ajang kajian para sosiolog aliran 'human ecology, Juga dalam gerakan banyak riset mengenai arus barang dan arus manusia antar regional, difusi dari inovasi di dalam cakupan ruang dan waktu, proses pertumbuhan kota dan sebagainya (Daldjoeni, 1997:9).

Kekhasan dari analisis spatial pada awal dasawarsa enam puluh adalah sebutan mikro-geografi yang dikembangkan oleh William Warntz dan rekan kerja samanya yaitu J.Q. Steward, propagandis dari 'social physic'.

Di situ 'the dimensions of society are analogues to the physical dimensions'. Adapun ilmu-ilmu sosial haruslah meniru tata kerja dan tata pikir dari ilmu-ilmu alamiah. Memang makro geografi telah mengoper tata kerja asasi tersebut.

Salah satu perolhan yang terkenal dari makro-geografi adalah gagasan tentang potensial kependudukan (population potensial).

Sebagaimana benda-benda bermuatan listrik itu menciptakan medan listrik dimana dalam garis-garis medan menjulur mengikuti pola tertentu, demikian pula lah konsentrasi-konsentrasi penduduk menciptakan suatu bidang datar potensial dimana dikontruksikan arus-arus interaksi keruangan (Daldjoeni, 1997:10).

Peranan jarak di dalam sistem spasial sosial dari kota-kota sama dengan peranannya didalam suatu sistim fisis yang murni, demikian Warntz. Juga pola-pola spatial dari harga tanah, pendapatan dan angka-angka kematian akan berkorelasi jelas dengan permukaan potensial kependudukan tersebut. Keberaturan-keberaturan empiris kemudian dinyatakan dalam rumus-rumus matematis (Daldjoeni, 1997:10).

Pengertian-pengertian seperti 'potensial of population' serta 'demographic energy' terhisap di dalam 'unifying concepts that are necesary if geography is to achieve the status of a well organized science; failured to organize has contributed to the low regard with which geographers a held in certain quiters' (Daldjoeni, 1997:10).

Riset yang dicatat di sini dalam peristilahan Kuhn dapat dipandang norma, artinya ada dalam paradigma analisis keruangan. Di dalam paradigma ini dalam makna luas dibedakan adanya contoh-contoh eksemplaris.

Adapun makna sempit, contohnya adalah tulisan Christaller berjudul Central places in Southern Germany. (Aslinya tahun 1933, terjemahan inggris tahun 1966); kemudian buku Haegerstands, Innovation difussion as a spatial process (asli tahun 1953, terjemahan bahasa inggris tahun 1965). Masih ada lagi, Hagget, Locational analysis in human geography, (1965) (Daldjoeni, 1997:10).

Contoh-contoh diatas memperlihatkan secara konkret masing-masing bahwa berbagai permasalahan geografis dimana saja munculnya, yang jawabannya harus dicari, kemudian metode-metodenya untuk masing-masing juga harus dicarikan yang tepat sebelum dipakai.

Otomatis central pace theory hingga sekarang menjadi dadakan untuk memulai penelitian; pada tahun 1976 jumlah publikasi mengenai itu ternyata ada sebanyak kurang lebih 2000 sendiri. Akan tetapi di bidang-bidang khusus yang lain seperti proses difusi dan migrasi misalnya, jumlahnya sementara baru beberapa ratus saja (Daldjoeni, 1997:11).

Kritik Munculnya Revolusi Kuantitatif

Kritik Terhadap Munculnya Revolusi Kuantitatif
Lahirnya geografi modern lewat kancah revolusi kuantitatif seperti diuraikan diatas, telah menimbulkan reaksi yang mengandung pro maupun kontra.

Para geograf yang kurang merestui revolusi tersebut mengatakan: "Jika geografi meniru atau menjiplak berbagai metode yang berasal dari ilmu lain, maka geografi akan kehilangan hak beradanya sehingga lambat laun akan lenyap tersapu dari mimbar keilmuan".

Sebaliknya mereka mendukung revolusi kuantitatif, menulis: "Pemakaian teknik-teknik modern dalam geografi itu justru akan menjamin kelestarian geografi itu sendiri".

Mereka menganjurkan agar geografi rajin mengoper metode-metode yang di ilmu lain sudah membuktikan manfaatnya; baru dengan cara demikian itu akan terebntuklah secara konkret, geografi yang dapat diterapkan (Daldjoeni, 1997:11).

Bagaimanakah endapat Claval geograf Prancis dalam bukunya? Menurut ia baik pihak yang pro geografi baru maupun anti terhadap itu, dapat saja salah.

Kenyataanya menurut ia, hingga saat sekarang geografi belum pernah tercaplok lenyap oleh ilmu lain.

Dalam usaha geografi mendekati ilmu-ilmu sosial lain, geografi justru akan memperoleh kekuatan baru yang menyegarkannya.

Tetapi nasihatnya apa-apa yang dioper oleh geografi dari ilmu ekonomi (maksudnya teori-teorinya) masih terlalu sederhana untuk diterapkan pada situasi dan masalah-masalah geografi yang kompleks. Karena itu para geograf diharapkan jangan tergesa-gesa bersikap optimistis (Daldjoeni, 1997:12).


Sumber
  1. Daldjoeni. 1997. Geografi Baru (Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek). Bandung: PT. Alumni

Gambar
  1. Alamy.com

iklan tengah