Sejarah Perkembangan Bumi


Sejarah terjadinya planet bumi dapat diterangkan dengan suatu hipotesis terjadinya tata surya dan planet-planet. Teori/hipotesis yang diutarakan di sini, antara lain: 

Hipotesis kabut Kant-Laplace, Hipotesis Planetesimal dan Hipotesis Pasang-Surut Gas, Berikut ini penjelasan singkat masing-masing hiptesis:

Hipotesis Kabut Kant-Laplace
Sudah sejak sebelum Masehi para ahli pikir telah menganalisis gejala-gejala alam, bahkan kemudian mulai abad ke 18 mereka telah memikirkan tentang terjadinya bumi. Teori kabut (nebula) yang diungkapkan oleh Immanuel Kant (1755) dan Pierre de Laplace (1796).  
Immanuel Kant (1755)
Sumber: http://www.nuraminsaleh.com
Pierre de Laplace (1796)
Sumber: http://www.larousse.fr
Kedua tokoh tersebut mengemukakan bahwa di jagat raya telah terdapat gas yang kemudian berkumpul menjadi kabut (nebula).

Gaya tarik menarik antar gas hingga membentuk kumpulan kabut yang sangat besar ini berputar semakin cepat.

Dalam proses perputaran yang kencang ini, menyebabkan materi kabut bagian katulistiwa terlempar memisah dan memadat (karena pendinginan). 

Fragmen yang terlempar yang kemudian menjadi planet-planet dalam tata surya (Sutardji, 2011:6).
Ilustrasi Teori Nebula Kant-Laplace
Sumber: http://arulastro.blogspot.co.id
Hipotesis Planetesimal
Seabad sesudah teori kabut, muncul teori Planetesimal yang dikemukakan oleh Chamberlin dan Moulton. 
Chamberlin dan Moulton
Sumber: http://www.konsepgeografi.net
Teori ini mengungkapkan bahwa pada mulanya telah terdapat "matahari asal". 

Pada suatu ketika, matahari asal ini didekati oleh sebuah bintang besar yang menyebabkan terjadinya penarikan pada bagian matahari. 
Teori Planetesimal Camberlin-Moulton
Oleh tenaga penarikan pada matahari asal tadi, maka terjadilah peledakan-peladakan yang hebat. Gas yang meledak ini keluar dari atmosfer matahari, kemudian mengembun  dan membeku sebagai benda-benda yang padat dan disebut planetesimal. 

Planetesimal tersebut dalam perkembangan selanjutnya menjadi planet-planet yang salah satunya adalah bumi kita (Sutardji, 2011:6).

Pada dasarnya proses-proses teoritis terjadinya planet-planet dan bumi pada khususnya, dimulai pada kondisi benda yang berbentuk gas bersuhu sangat panas. 

Kemudian karena proses waktu dan perputaran (pusingan) cepat, maka terjadi pendinginan yang menyebabkan pemadatan (pada bagian luar). Sedangkan tubuh bumi bagian dalam masih bersuhu tinggi (Sutardji, 2011:6).

Hipotesis Pasang-Surut Gas
Teori ini dikemukakan oleh Jeans dan Jeffres. 
Harold Jeffres
Sumber: http://mangga99.blogspot.co.id
Mereka mengemukakan bahwa sebuah bintang besar mendekati matahari dalam jarak pendek, dapat menyebabkan pengerjaan pasang surut pada tubuh matahari pada masa matahari itu masih berada dalam keadaan gas. 
 
Ilustrasi Hipotesis Pasang-Surut Gas
Sumber:http://www.artikelsiana.com
Kerja pasang surut yang kita kenal di bumi berukuran sangat kecil, disebabkan karena kecilnnya massa bulan dan jauhnya jarak bulan dari bumi (60 kali radius orbit bumi). 

Akan tetapi jikalau misalnya sebuah bintang yang mempunyai massa yang hampir sama besarnya dengan matahari, mendekati matahari, maka akan terbentuk semacam gunung-gunung gelombang raksasa pada tubuh matahari yang disebabkan oleh gaya tarik bintang tadi. "Gunung-gunung" tersebut akan mencapai tinggi yang luar biasa dan membentuk semacam lidah pijar yang besar sekali menjulur dari massa matahari tadi dan merentang ke arah bintang besar itu (Sutardji, 2011:7).

Dalam lidah yang panas ini akan terjadi pengrapatan gas-gas dan akhirnya kolom-kolom ini akan pecah lalu bercerai menjadi benda-benda terendiri yang merupakan planet-planet. 

Bintang besar yang menyebabkan penarikan bagian-bagian tubuh matahari tadi melanjutkan perjalanan di alam raya, sehingga ambat laun akan hilang pengaruhnya terhadap planet-planet tadi. Planet-planet itu akan berputar mengelilingi matahari dan emngalami proses pendinginan. 

Proses pendinginan ini pada planet-planet besar seperti Yupiter dan Saturnus berjalan dengan lambat, sedangkan pada planet-planet kecil sperti bumi kita pendinginan ini berjalan relatif lebih  cepat (Sutardji, 2011:7-8).

Sementara pendinginan ini berlaku, planet-planet itu masih mengikuti orbit yang berbentuk elips mengelilingi matahari, sehingga besar kemungkinan bahwa pada suatu ketika mereka akan mendekati matahari dalam jarak yang pendek. 

Oleh kekuatan penarikan matahari, maka akan terjadi pengerjaan pasang surut pada tubuh-tubuh planet yang baru lahir itu. Matahari akan menarik kolom-kolom materi dari palnet-planet dan dengan jalan sperti ini lahirlah bulan-bulan (satelit-satelit) yang berputar mengelilingi planet-planet. 

Peranan yang dipegang matahari dalam membentuk bulan-bulan ini pada prinsipnya sama dengan peranan bintang besar yang telah dibicarakan diatas dalam membentuk planet-planet (Sutardji, 2011:9).

Prose perkembangan selanjutnya, sesudah terbentuk dapat kita pelajari pada matahari, berdasarkan hipotesis yang telah diuraikan di atas. 

Oleh karena besar ukurannya, maka matahari tidak dapat mendingin secepat bumi, sehingga keadaan matahari sekarang dapat memberikan gambaran mengenai keadaan bumi sewaktu itu terlepas dari induknya. 

Stadium pertama yang dijalani bumi sesudah lahir dan begitu pula planet-planet lainnya disebut stadium kabut (nebula). 

Pada awalnya kabut asal ini tidak merupakan zat atau materi, akan tetapi berupa energi yang disebut energi penyinaran. 

Energi ini lambat laun akan berubah menjadi materi. Proses energi ke materi, kini banyak berlaku fi jagat raya, sedangkan proses kebalikannya yaitu peralihan menjadi energi, kita lihat dalam bentuk kehidupan sehari-hari misalnya pada pembakaran batu bara ataupun minyak untuk menggerakkan berbagai mesin dan lain-lainya. 

Kabut kosmis ini pada awalnya adalah sebuah kabut gelap yang mempunyai temperatur hanya beberapa derajat di atas titik nol mutlak (Sutardji, 2011:8-9).


Dalam proses pemebntukan materi itu akan terlepas sejumlah panas (kalor), yang mengakibatkan naiknya temperatur begitu tinggi, sehinga materi yang baru dibentuk tadi menguap kembali. Sebagai akibat penguapan tadi akan terjadi kabut gas yang bercahaya. 

Besar kemungkinan bahwa proses yang berlaku tadi kini masih berlaku pada matahari. Menurut ahli astronomi, matahari sekarang ini berada dalam tingkat peralihan kabut gas gelap ke kabut gas yang bercahaya. 

Materi-materi atau zat-zat baru kini sedang dibentuk pada matahari bersamaan jalannya dengan terlepasnya sejumlah panas yang sangat besar (Sutardji, 2011:9).

Susunan galaksi kita (Milky Way= Bima Sakti) juga berasal dari sebuah kabut pilin yang pipih dan berbentuk cakram. Bola-bola gas yang terapat dalam galaksi kita berjumlah kira-kira 300 milyar. 

Bola-bola gas demikian disebut bintang-bintang dan salah satu diantaranya adalah tata surnya kita (matahari dan planet-planetnya). 

Galaksi ini masih mempunyai rekan-rekan yang beribu-ribu banyaknya tersebar di jagat raya. Setelah kabut gas menjadi bintang, maka berakhirlah stadium kabut dan mulailah stadium bintang. 

Prose perubahan ini diduga memakan waktu berjuta tahun. 

Proses pendinginan dari bola gas menjadi kerak bumi yang padat itu berlangsung bermilyar tahun, artinya waktu yang diperlukan bumi untuk berubah dari bola gas yang padat hampir sama panjang/lamanya dengan waktu mulainya terbentuknya kerak bumi sampai kehidupan modern sekarang (Sutardji, 2011:9).


Sejarah Perkembangan Muka Bumi
Muka bumi dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan/perkembangan. 

Perubahan ini terus berlangsung sampai saat ini, hal ini ditunjukan dengan adanya pergerakkan/pergeseran daratan (benua). 

Kenyataan ini apabila direkonstruksikan pada sejarah masa lalu, maka benua-benua yang ada di permukaan bumi ini pernah berkumpul-menyatu menjadi sebuah benua besar (supercontinen) yang dinamakan Pangea dengan samudera yang luas dinamakan Laut Thetys. 

Seiring dengan perjalanan waktu, Supercontinent (Pangea) ini pecah membentuk lempeng-lempeng benua yang kemudian bergeser membentuk dua kelompok, kelompok lempeng benua ke arah utara dinamakan Laurasia dan yang selatan dinamakan Gondwana (Sutardji, 2011:9).

Benua besar ini, dalam sejarah perkembangannya kemudian pecah dan memisah saling menjauh sesuai dengan arah pergerakannya masing-masing yang pada akhirnya seperti kondisi yang ada pada saat kini. 

Benua-benua tersebut antara lain: Benua Amerika (Utara dan Selatan), Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Seperti diungkap dimuka bahwa proses pergeseran benua ini terus berlangsung sampai saat ini (Sutardji, 2011:10)

Rekonstruksi perkembangan sejarah muka bumi yang berupa benua (kontinen) ini dikemukakan oleh Alfred Wegener dengan teorinya yang bernama Teori Pengapungan Benua (Continental Drift Theory) (Sutardji, 2011:10).

SKALA WAKTU GEOLOGI
Tidak diketahui dengan pasti umur bumi saat terbentuk hingga sekarang. Namun sejarah planet bumi dan bentuk-bentuk kehidupan sejak  bumi terbentuk dapat dipelajari di buku-buku geologi terutama buku-buku Geologi Sejarah.

Dasar pembagian menjadi kurun bertitik tolak dari ada dan belum adanya kehidupan yang nyata. Pada kurun Kriptozoikum belum dijumpai adanya suatu kehidupan yagn nyata, sedang pada kurun Fenerozoikum sudah nyata ada kehidupan (Sutardji, 2011:12).

Pembagian menjadi masa didasarkan atas adanya perkembangan kehidupan yang sudah nyata. 

Pada dasar semua sedimen dijumpai batuan yang sama sekali tidak mengandung fosil. 

Masa ini kemudian disebut Azoikum (a=tidak, zoon=kehidupan). Diatas kehidupan ini kemudian menyusul lapisan-lapisan batuan yang hanya mengandung sisa-sisa bentuk kehidupan yang masih sangat sederhana, terutama tumbuhan tingkat rendah yang menghasilkan gamping. 

Masa pembentukan sedimen ini yang kemudian dikenal sebagai Proterozoikum (Proto=masa lampau). Sangat sulit untuk membedakan dengan nyata antara kedua masa tersebut. 

Oleh karena itu, masa Azoikum dan masa Proterozoikum kadang-kadang dijadikan satu masa saja yang disebut sebagai Arkeozoikum (Sutardji, 2011:12).



Sumber:

Sutardji. 2011. Buku Ajar Geologi Umum. Semarang: Jurusan Geografi FIS UNNES.


iklan tengah