Masyarakat Indonesia Pada Masa Praaksara, Hindu-Budha, dan Islam


Masa praaksara adalah masa sebelum manusia mengenal tulisan. Masa ini disebut juga masa prasejarah.

Masa praaksara disebut juga masa nirleka ('nir' artinya tidak ada, dan 'leka' artinya tulisan), yaitu masa tidak ada tulisan.

Masa praaksara dimulai sejak manusia, itulah titik dimulainya masa praaksara. Adapun berakhirnya masa praaksara adalah sejak manusia mengenal tulisan.

Berakhirnya masa praaksara tidak sama bagi setiap bangsa. Misalnya Bangsa Mesir dan Mesopotamia telah mengenal tulisan kira-kira 3.000 tahun sebelum Masehi.

Adapun masyarakat Indonesia mengenal tulisan sekitar abad ke 5 Masehi. Hal ini diketahui dari Yupa (batu bertulis peninggalan kerajaan Kutai) yang terdapat di Muara Kaman, Kalimantan Timur.




Zaman ini merupakan zaman tertua yang berlangsung kira-kira sejak 2.500 juta tahun yang lalu. Pada waktu itu kulit bumi masih sangat panas, sehingga belum terdapat kehidupan diatasnya.

Zaman kehidupan tua berlangsung kira-kira sejak 340 juta tahun yang lalu.

Zaman ini sudah ditandai dengan munculnya tanda-tanda kehidupan, antara lain munculnya binatang-binatang kecil yang tidak bertulang punggung, berbagai jenis ikan, amfibi dan reptil.

Zaman kehidupan pertengahan berlangsung sejak 140 juta tahun lalu. Pada zaman ini kehidupan di bumi makin berkembang.

Binatang-binatang mencapai bentuk tubuh yang besar sekali. Kita mengenalnya sebagai Dinosaurus.

Disamping itu, juga mulai muncul berbagai jenis burung. Zaman mesozoikum disebut pula dengan zaman reptil karena pada zaman ini yang paling banyak adalah binatang jenis reptil.


Pada zaman ini jenis-jenis reptil mulai puncah dan bumi umumnya dikuasai hewan-hewan besar yang menyusui.

Contohnya adalah jenis gajah purba yang pernah hidup di Amerika Utara dan Eropa Utara.

Zaman ini berlangsung sejak kira-kira 3 juta tahun yang lalu. Zaman ini sangat penting bagi kita, karena merupakan awal kehidupan manusia pertama kali di muka bumi.




Paleolithikum disebut zaman batu tua. Hasil kebudayaanya banyak ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong Jawa Timur.

Untuk membedakan temuan benda-benda praaksara di kedua tempat tersebut, para arkeolog sepakat menyebutnya sebagai kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.

Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kurang lebih 600.000 tahun silam. Kehidupan manusia masih sangat sederhana, hidup berpindah-pindah (nomaden).

Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu dan mengumpulkan buah-buahan, umbi-umbian, serta menangkap ikan.

Alat-alat yang digunakan pada zaman ini terbuat dari batu yang masih kasar dan berlum diasah, seperti kapak perimbas atau alat serpih yang digunakan untuk menguliti hewan buruan, mengiris daging, atau memotong umbi-umbian.

Mesolithikum artinya zaman batu tengah. Hasil kebudayaan batu tengah lebih maju apabila dibandingkan dengan hasil kebudayaan Paleolithikum.

Pada zaman ini manusia sudah ada yang hidup menetap sehingga kebudayaan yang menjadi ciri zaman ini adalah kebudayaan Kjokkenmoddinger dan kebudayaan abris sous Roche.

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark, yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah.

Jadi, Kjokkenmoddinger adalah timbunan kulit kerang dan siput yang menggunung dan sudah menjadi fosil.

Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, yaitu antara Langsa dan Medan.

Dari timbunan itu, ditemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan kapak genggam Paleolithikum.

Kapak genggam yang ditemukan tersebut dinamakan Pebble atau kapak Sumatera sesuai dengan lokasi penemuannya. Bentuknya sudah lebih baik dan mulai halus.

Abris Sous Roche maksudnya adalah gua-gua yang dijadikan tempat tinggal manusia purba yang berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas.

Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.

Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan.

Neolithikum berarti zaman batu baru. Pada zaman ini telah terjadi perubahan mendasar pada kehidupan masyarakat praaksara.

Mereka mulai hidup menetap dan mampu menghasilkan bahan makanan sendiri melalui kegiatan bercocok tanam.

Hasil kebudayaan yang terkenal dari zaman ini adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kapak persegi bentuknya persegi panjang dan ada pula yang berbentuk trapesium.

Megalithikum artinya zaman batu besar. Pada zaman ini terdapat bangunan dari batu yang berukuran besar.

Tradisi pendirian batu berukuran besar erat kaitannya dengan kepercayaan yang berkembang pada saat itu, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Jenis-jenis bangunan megalitik antara lain, menhir, dolmen, kubur peti, waruga, sarkofagus, punden berundak, dan patung.


Pada zaman ini, manusia tidak hanya menggunakan bahan-bahan dari batu untuk membuat alat-alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam, yaitu perunggu dan besi.

Menurut perkembangannya, zaman logam dibedakan menjadi tiga, yaitu zaman perunggu, zaman tembaga, dan zaman besi.

Benda-benda yang dihasilkan pada zaman ini antara lain adalah kapak corong (kapak yang menyerupai corong), nekara, moko, bejana, perunggu, manik-manik, cendrasa (kapak sepatu).




Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diperkirakan semasa dengan zaman paleolithikum.

Manusia yang hidup pada masa ini masih rendah tingkat peradabannya.

Mereka hidup mengembara, pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain sebagai pemburu binatang dan penangkap ikan.


Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut diperkirakan semasa dengan zaman mesolithikum.

Kehidupan manusia pada masa ini sudah mengalami perkembangan dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Manusia mulai hidup menetap walaupun hanya untuk sementara waktu dan mulai mengenal cara bercocok tanam sederhana.

Selain itu, tampak kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan sesuatu yang belum dicapai pada masa sebelumnya seperti lukisan di dinding gua atau dinding karang.


Masa bercocok tanam diperkirakan semasa dengan zaman Neolithikum. Pada masa ini peradaban manusia sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi.

Manusia sudah memiliki kemampuan mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bercocok tanam dan mengembangbiakan binatang ternak.

Manusia sudah hidup menetap dan tidak lagi berpindah-pindah seperti halnya pada masa berburu dan mengumpulkan makanan.

Mereka hidup menetap karena persediaan makanan sudah tercukupi. 

Masa perundagian merupakan akhir masa praaksara di Indonesia.

Kata perundagian berasal dari bahasa Bali: undagi, yang artinya adalah seseorang atau sekelompok orang atau segolongan orang yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, pembuatan perhiasan, atau pembuatan sampan.

Masa perundagian diperkirakan sama dengan zaman perunggu. Pada masa ini, peradaban manusia sudah maju tingkatannya.

Teknologi pembuatan alat-alat atau perkakas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Masyarakat pada masa perundagian telah mampu mengatur kehidupannya. Kegiatan kehidupan yang mereka lakukan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kegiatan pertanian di ladang dan sawah masih tetap dilakukan. Pengaturan ini dilakukan agar kegiatan pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada hujan.

Hasil pertanian disimpan untuk masa kering dan mungkin juga untuk diperdagangkan ke daerah lain.

Kegiatan peternakan juga turut berkembang, hewan ternak yang dipelihara lebih beragam dari masa sebelumnya. Masyarakat telah mampu beternak kuda dan berbagai unggas.

Munculnya golongan masyarakat yang memiliki keterampilan tertentu menyebabkan teknologi berkembang pesat.

Seiring kemajuan yang dicapai, terjadi peningkatan kegiatan perdagangan. Pada masa ini perdagangan masih bersifat barter, namun telah menjangkau tempat-tempat yang jauh, yakni antarpulau.

Barang-barang yang dipertukarkan semakin beragam, seperti alat pertanian, perlengkapan upacara, dan hasil kerajinan.

Kegiatan perdagangan antarpulau pada masa perundagian dibuktikan dengan ditemukannya nekara di Selayar dan kepulauan Kei yang dihiasi gambar-gambar binatang seperti gajah, merak, dan harimau.

Binatang-binatang ini tidak ada di wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini menunjukkan bahwa nekara tersebut berasal dari daerah Indonesia bagian barat.


Masyarakat pada masa perundagian hidup menetapdi perkampungan yang lebih besar  dan lebih teratur.

Perkampungan ini terbentuk dari bersatunya beberapa kampung hingga jumlah kelompok penduduk yang bertambah banyak.

Masyarakat tersusun dalam kelompok yang beragam. Ada kelompok petani, ada pedagang, ada pula kelompok undagi (perajin/tukang).

Pada masa perundagian, manusia sudah mahir membuat berbagai peralatan atau perkakas. Alat-alat yang dihasilkan terbuat dari logam digunakan untuk bertani, bertukang, peralatan rumah tangga, perhiasan dan sebagai alat perlengkapan upacara dan pemujaan.



Masyarakat praaksara sudah memiliki kepercayaan terhadap adanya kekuatan ghaib.

Mereka mempercayai bahwa pohon rimbun yang tinggi besar, hutan lebat, gua yang gelap, laut atau tempat lainnya dipandang keramat karena ditempati oleh roh halus atau mahluk ghaib.

Mereka meyakini bahwa kejadian-kejadian alam seperti hujan, petir, banjir, gunung meletus, atau gempa bumi adalah akibat perbuatan roh halus atau makhluk gaib.

Untuk menghindari malapetaka maka roh halus atau makhluk gaib harus selalu dipuja. Kepercayaan roh halus ini disebut dengan animisme.

Masyarakat praaksara hidup secara berkelompok, mereka bergotong-royong untuk kepentingan bersama, contohnya membangun rumah yang dilakukan secara bersama-sama.

Budaya gotong-royong juga dapat dilihat dari peninggalan mereka berupa bangunan-bangunan besar yang dapat dipastikan dibangun secara gotong-royong.

Dalam kehidupan berkelompok, masyarakat praaksara telah mengembangkan nlai musyawarah.

Hal ini dapat ditunjukkan dengan dipilihnya pemimpin yang dianggap paling tua (sesepuh) yang mengatur masyarakat dan memberikan keputusan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bersama.

Nilain keadilan sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat praaksara, yaitu adanya pembagian tugas sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.

Tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Hal ini mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan memperoleh hak dan kewajiban sesuai kemampuannya.

Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat praaksara untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah bercocok tanam.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya alat khas pertanian yang berupa beliung persegi dan alat lainnya.

Masyarakat praaksara telah mengenal ilmu astronomi. Ilmu ini sangat membantu saat mereka berlayar dari pulau ke pulau dengan memakai perahu yang sangat sederhana.

Perahu-perahu cadik merupakan bentuk yang paling umum dikenal pada waktu itu. Perahu bercadik adalah perahu yang kanan-kirinya dipasang alat dari bambu dan kayu agar perahunya tidak mudah oleng.


Paul dan Fritz Sarasin mengemukakan bahwa penduduk asli Indonesia adalah suatu ras yang berkulit gelap dan bertubuh kecil.

Ras ini pada awalnya mendiami Asia Bagian Tenggara yang saat itu masih bersatu sebagai daratan pada zaman es atau periode glasial.

Namun, setelah periode es berakhir dan es mencair, maka dataran tersebut kemudian terpisah oleh lautan yaitu Laut China Selatan dan Laut Jawa.

Akibatnya, daratan yang tadinya bersatu kemudian terpisah menjadi daratan utama Asia dan Kepulauan Indonesia.

Penduduk asli tinggal di daerah pedalaman dan penduduk pendatang tinggal di daerah pesisir. Penduduk asli inilah yang disebut sebagai suku Vedda oleh Sarasin.



Teori Waisya dikemukakan oleh NJ. Krom. Ia menyebutkan bahwa proses masuknya kebudayaan Hindu-Buddha dibawah oleh pedagang India.

Para pedagang India yang berdagang di Indonesia menyesuaikan dengan angin musim. Sambil menunggu perubahan arah angin, mereka dalam waktu tertentu menetap di Indonesia.

Selama para pedagang India tersebut menetap di Indonesia, memungkinkan terjadinya perkawinan dengan perempuan-perempuan pribumi.

Menurut NJ. Krom, mulai dari sini pengaruh kebudayaan India menyebar dan menyerap dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Ada tiga pendapat mengenai proses penyebaran kebudayaan Hindu-Budha yang dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu:

1. C.C. Berg
Berg menjelaskan bahwa golongan ksatria yang turut menyebarkan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Para ksatrian India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit banyak membantuk kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang bertikai.

Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara merekan yang kemudian dinikahkan dengan salah satuputri dari kepala suku atau kelompok yang dibantunya.

Dari perkawinan itu, para ksatria dengan mudah menyebarkan tradisi Hindu-Buddha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya berkembanglah tradisi Hindu-Buddha dalam kerajaan di Indonesia.

2. Mookerji
Sama seperti Berg, Mookerji juga mengatakan bahwa golongan ksatria dari India lah yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia.

Para Ksatrian ini selanjutnya membangun koloni-koloni yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.

3. J.L. Moens
Moens mencoba menghubungkan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia pada awal abad ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama.

Ternyata sekitar abad ke-5 ada di antara para keluarga kerajaan di India Selatan melarikan diri ke Indonesia sewaktu kerajaanya mengalami kehancuran. Mereka ini nantinya mendirikan kerajaan di Indonesia.

Teori ini diungkap oleh Jc. Van Leur. Dia mengatakan bahwa kebudayaan Hindu-Budha India yang menyebar ke Indonesia dibawa oleh golongan Brahmana.

Pendapatnya itu didasarkan pada pengamatan terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan Bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa.

Karena hanya golongan Brahmanalah yang menguasasi bahasa dan huruf itu maka sangat jelas disini adanya peranh Brahmana.

Pendapat ini menjelaskan peran aktif orang-orang Indonesia yang mengembangkan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Pendapat mengenai keaktifan orang-orang Indonesia ini diungkapoleh F. D. K Bosch yang dikenal dengan Teori Arus Balik.

Teori ini menyebutkan bahwa banyak pemuda Indonesia yang belajar agama Hindu-Buddha ke India. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali ke Indonesia untuk menyebarkannya.



Sebelum unsur kebudayaan dan agama Hindu-Buddha masuk, masyarakat dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih oleh anggota masyarakatnya.

Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui tentang adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik.

Ia juga dianggap sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus dapat melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya.

Setelah unsur kebudayaan dan agama Hindu-Buddha terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja seperti halnya di India.

Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan tetapi diturunkan secara turun temurun.

Raja dianggap sebagai keturunan dewa dan dianggap sebagai puncak dari segala hal dalam negara.

Pengaruh Hindu-Buddha dalam bidang sosial ditandai dengan munculnya pembedaan yang tegas antar kelompok masyarakat. Dalam masyarakat Hindu, pembedaan ini disebut dengan sistem kasta.

Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya. Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama.

Ksatria (bangsawan, prajurit)menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat.

Adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta berdampak pada perbedaan hak-hak antara golongan-golongan kasta yang berlainan, terutama dalam hal pewarisan harta, pemberian sanksi dan kedudukan dalam pemerintahan.

Sejak terbentuknya jalur perdagangan laut yang menghubungkan India dan Cina, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia berkembang pesat.

Daerah pantai timur Sumatera menjali jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang.

Kapal-kapal dagang dari India dan Cina banyak yang singgah untuk menambah persediaan makanan dan minuman, menjual dan membeli barang dagangan, atau menanti waktu yang baik untuk berlayar.

Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan.

Hubungan antara Indonesia dan pusat Hindu-Buddha di Asia berawal dari hubungan dagang antara Indonesia, India dan China.

Hal ini menyebabkan pusat-pusat perdagangan di Indonesia menjadi pusat-pusat Hindu-Buddha. Selanjutnya pusat-pusat ini berkembang menjadi pusat kerajaan dan pusat penyebaran Hindu-Buddha ke berbagai wilayah sesuai dengan cakupan wilayah kerajaan.

Dengan tersebarnya agama Hindu-Buddha, banyak masyarakat di Indonesia yang menganut agama Hindu-Buddha.

Meskipun demikian, sistem kepercayaan terhadap roh halus yang sudah berkembang sejak masa praaksara tidak punah.

Sebelum masuknya unsur kebudayaan dan agama Hindu-Buddha, telah berkembang kebudayaan asli Indonesia.

Kemudian, setelah masuknya unsur kebudayaan dan agama Hindu-Buddha terjadilah proses perpaduan antara dua kebudayaan tersebut. Perpaduan itu disebut akulturasi.

Hasilnya adalah kebudayaan baru yang memiliki ciri khas masing-masing kebudayaan. Contoh hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Seni Bangunan
Bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya bentuk akulturasi antara unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsur budaya asli Indonesia.

Bangunan yang mega, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur asli Indonesia.

2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat dan seni ukir.

Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada badian dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha.

Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.



Kerajaa Kutai berdiri sekitar abad ke-5 . Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.

Informasi tentang awal mula Kutai diketahui dari Yupa. Ada tujuh buah Yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli untuk mengetahui sejarah Kerajaan Kutai.

Yupa adalah batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.

Berdasarkan salah satu isi Prasasti Yupa, kita dapat mengetahui nama-nama raja yang pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga, Aswawarman dan Mulawarman.

Nama Kundungga tidak dikenal dalam bahasa India, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama tersebut merupakan nama asli daerah tersebut.

Kudungga mempunyai anak bernama Aswawarman dan cucu yang bernama Mulawarman. Dua nama terakhir merupakan nama yang mengandung unsur India.

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pada keluarga keraja itu sudah mulai masuk pada Kudungga yang dibuktikan dengan diberikannya nama Hindu pada anaknya.

Satu di antaranya yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan bahwa raja Mulawarman telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat Kutai adalah usaha peternakan.

Disamping peternakan, masyarakat Kutai melakukan pertanian. Letak kerajaan Kutai di tepi sungai, sangat mendukung untuk pertanian.

Selain itu, masyarakat Kutai juga melakukan perdagangan. Diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar.

Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai.

Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di pulau Jawa yang diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi.

Berdasarkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Sumber sejarah mengenai kerajaan Tarumanegara diketahui dari prasasti-prasasti yang ditinggalkannya.

Prasasti itu menggunakan huruf  Pallawa dan bahasa Sansekerta. Sampai saat ini ada ditemukan 7 buah prasasti, yaitu: prasasti Kebon Kopi, prasasti Ciaruteun, prasasi Pasir Awi, prasasti Jambu, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Tugu.

Selain itu, sumber lain tentang kerajaan Tarumanegara diperoleh dari catatan seorang musafir Cina yang bernama Fa-Hien. Dalam perjalanan ke India singgah di Y-Po-Ti (Pulau Jawa).

Berdasarkan sumber-sumber tersebut, dapat diperoleh gambaran mengenai kehidupan masyarakat Tarumanegara. Matapencaharianya adalah bertani dan berdagang.

Menurut bertia yang ditulis F-Hien yang diperdagangkan adalah cula badak, kulit penyu dan perak.

Fa-Hien juga menjelaskan di Tarumanegara terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu.

Raja yang terkenal dari Kerajaan Tarumenegara adalah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah dan tegas.

Ia juga dekat dekat dengan para brahmana dan rakyatnya. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah.

Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah saluran sepanjang 6112 tumbak (11 km).

Saluran itu disebut dengan sungai Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah bahaya banjir.

Kerajaan Sriwijaya berdiri sekitar abad ke-7 Masehi. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di Indonesia.

Kerajaan ini mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan dari Selat Malak, Selat Sunda, hingga Laut Jawa.

Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya diperoleh dari prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti dari luar negeri.

Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedudukan Bukit, prasasti Talang Tuwo, prasasti Telaga Batu, prasasti Kota Kapur, prasasti Berahi, prasasti Palas Pasemah, dan Amonghapasa.

Adapun prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain: prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Canton, prasasti Grahi, dan prasasti Chaiya.

Sumber sejarah lain tentang kerajaan Sriwijaya diperoleh dari seorang pendeta Cina yang bernama I-tsing.

Berdasarkan sumber-sumber tersebut, diperoleh keterangan mengenai kerajaan Sriwijaya sebagai berikut:

  1. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara
  2. Pulau Bangka dan Jambi Hulu telah ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya pada tahun 686 Masehi
  3. Pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala (India) melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya. Penyerbuan Colomandala dapat dipukul mundur namun berhasil melemahkan kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya diperkirakan terletak di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Pada mulanya masyarakat Sriwijaya hidup dengan bertani.

Namun karena berdekatan dengan pantai, maka perdagangan menjadi cepat berkembang. Kemudian perdagangan menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Sriwijaya.

Perkembangan perdagangan  didukung oleh letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalur perdagangan Internasional.

Para pedagang dari India ke Cina atau dari Cina ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang yang akan ke Cina.

Para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan di Sriwijaya. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan.

Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui armada angkatan laut ini Sriwijaya mampu menguasai kawasan perairan Asia Tenggara, perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa.

Selain menjadi pusat perdagangan, keraajaan Sriwijaya juga berkembang menjadi pusat agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara.

Menurut catatan pendeta I-tsing, bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya  ke India.

Seperti halnya I-tsing, para pendeta Cina lainnya yang akan belajar agama Buddha ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun.

Disebutkan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha itu dibimbing oleh seorang guru bernama Sakyakirti.

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M telahmenjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha.

Raja yang terkenal dari kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. 

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mencapai masa kejayaan. Wilayah kekuasaan Sriwijaya berkembang luas.

Daerah-daerah kekuasaanya antara lain Sumatera dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagaian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, dan Semenanjung Melayu.

Pada abad ke-11 kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai mundur. Salah satu penyebabnya adalah penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya oleh Raja Rajendacola dari Colamandala.

Pada tahun 1017 M, kerajaan Colamandala mengadakan serangan pertama. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1025 M.

Penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur namun kekuatan aramada Sriwijaya mengalami kemunduran. Akibat peperangan ini, banyak kapal Sriwijaya yang hancur dan tenggelam.

Hal ini menyebabkan banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Pada tahun 1377 armada laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat kerajaan Sriwijaya.



Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan dinasti Sayilendra yang beragama Buddha.

Kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama.

Sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno diperoleh dari prasasti peninggalannya. Prasasti tersebut diantaranya adalah prasasti Canggal, prasasti Kalasan, prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Klurak, dan prasasti Mantyasih.

Kehidupan politik kerajaan Mataram Kuno diwarnai dengan pemerintahan dua dinasti yang silih berganti.

Berdasarkan prasasti Canggal, diketahui Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Sanjaya.

Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup aman da tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas.

Setelah Raja Sanjaya, Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Panangkaran. Dalam prasasti Kalasan disebutkan bahwa Rakai Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.

Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.

Sepeninggal Rakai Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Satu pemerintahan dipimpin oleh keluarga Sanjaya yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian selatan.

Satu pemerintah lagi dipimpin oleh keluarga Syailendra yang menganut agama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian utara.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.

Adapun raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasi Ligor, prasasti Nalanda dan prasasti Klurak.

Perpecahan tersebut tidak berlangsung lama. Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya mengadakan perkawinan dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram Kuno dapat dipersatukan kembali.

Pada masa pemerintahan Pikatan-Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur.

Sepeninggal Rakai Pikatan, Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung. Ia memerintah pada tahun 898-911 M. Pada masa pemerintahannya, Mataram kuno mencapai puncak kejayaanya.

Raja-raja yang memerintah Matara Kuno selanjutnya, yaitu Raja Daksa memerintah tahun 910-919 M, raja Tulodong memerintah tahun 919-924 M, dan Sri Maharaja Rakai Wawa memerintah tahun 924-929 M.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Wawa terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang memporak-porandakan daerah Jawa Tengah.

Melihat situasi kerajaan yang tidak aman, Mpu Sindok sebagai pejabat dalam pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur.

Selain terjadinya bencana alam, perpindahan ini disebabkan oleh serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.

Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram Kuno bersumber dari usaha pertanian karena letana di pedalaman.

Selain pertanian, masyarakat Mataram Kuno juga mengembangkan kehidupan maritim dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.

Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya berupa candi dan stupa. Keluarga Sanjaya yang beragama Hindu meninggalkan candi-candi seperti kompleks Candi Dieng, kompleks candi Gedongsongo dan Prambanan.

Adapun keluarga Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan stupa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon.


Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ibu kotanya terletak di dekat Jombang di tepi Sungai Brantas.

Selanjutnya, Mpu Sindok ini mendirikan dinasti baru bernama dinasti Isyana menggantikan dinasti Syailendra.

Sumber sejarah yang berkenaan dengan kerajaan Medang di Jawa Timur antara lain Prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Ganhakuti. Sumber lain adalah berita dari India dan Cina.

Pendiri kerajaan Mataram (di Jawa Timur) adalah Mpu Sindok sekaligus sebagai raja pertama dengan gelar Sri Maharaja Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa.

Mpu Sindok memerintah tahun 929-948 M. Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama SriIsyanatunggawijaya.

Ia menikah dengan Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra bernama Sri Makutawang yang kemudian naik takhta menggantikan ibunya.

Sri Makutawang Swardhana digantikan oleh Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama. Berdasarkan berita dari Cina, disebutkan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M mengadakan serangan ke Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdangangan Sriwijaya, akan tetapi upaya ini mengalami kegagalan.

Pada tahun 1016, Raja Wurawari menyerang Dharmawangsa. Diduga penyerangan ini terjadi atas dorongan kerajaan Sriwijaya.

Serangan ini terjadi saat Dharmawangsa selang melaksanakan perkawinan antara puterinya dengan Airlangga, putera Raja Udayana dari Bali.

Peristiwa ini menewaskan seluruh keluarga raja termasuk Dharmawangsa sendiri. Hanya Airlangga yang berhasil menyelamatkan diri.

Bersama seorang pengikutnya yang bernama Norotama, Airlangga bersembunyi di Wonogiri (hutan gunung) dan hidup sebagai seorang pertapa.

Pada tahun 1019, Airlangga menjadi raja menggantikan Dharmawangsa oleh para pendeta Buddha.

Ia segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya. Airlangga membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan.

Selanjutnya pada tahun 1037, Airlangga berhasil memepersatukan kembali daeah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa. Airlangga juga memindahkan ibukota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya yang bernama Sangrama Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

Selanjutnya Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan, yaitu Panjalu dengan ibukota Daha dan Jenggala yang beribukota di Kahuripan. Hal itu untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir.

Munculnya kerajaan Kediri berawal dari pembagian kerajaan oleh Airlangga menjadi Janggala dan Panjalu (Kediri).

Kedua kerajaan ini dibatasi oleh Kali Brantas. Tujuan Airlangga membagi kerajaan ini adalah untuk mencegah perpecahan antara kedua puteranya.

Setelah Airlangga wafat pada tahun 1049 M, terjadi perang antara Janggala dan Panjalu (Kediri). Perang ini berakhir dengan kekalahan Janggala. Kerajaan ini kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Panjalu (Kediri).

Kerajaan Singasari atau sering ditulis Singhasari atau Singosari adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M.

Sumber sejarah Kerajaan Singasari antara lain diperoleh dari Kitab Pararaton, Kitab Negara Kertagama dan beberapa prasasti, seperti Prasasti Balawi, Maribong, Kusmala, dan Mula-Malurung.

Majapahit adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang berdiri dari sekitar tahun 1293 M. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang terbesar dalam sejarah Indonesia.

Sumber kerajaan Majapahit diantaranya diperoleh dari Kitab Pararaton, Kitab Sutasoma, dan Kitab Negarakertagama.

Selain itu, ada pula beberapa prasasti, diantaranya Prasasti Gunung Butak, Prasasti Kuladu, Prasasti Blambangan, dan Prasasti Langgaran.

Munculnya Kerajaan Majapahit erat hubungannya dengan keruntuhan Kerajaan Singasari. Ketika Singasari diserang oleh Jayakatwang, Raden Wijaya yang merupakan menantu Kertanegara berhasil meloloskan diri.

Raden Wijaya mendapat pertolongan dari Bupati Sumenep bernama Arya Wiraraja. Berkat pertolongannya, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto. Daerah tersebut kemudian diberi nama Majapahit.

Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan untuk menyerang balik Jayakatwang. Saat Ia melakukan persiapan untuk menyerang Jayakatwang, tentara Mongol tiba di Pulau Jawa.

Tentara ini dikirim oleh Kaisar Kublai Khan untuk menaklukan Kertanegara. Tentara Mongol menyangka Kertanegara masih berkuasa di Singasari. Mereka tidak mengetahui bahwa Kertanegara telah wafat dan kerajaanya jatuh ke tangan Jayakatwang.

Kedatangan tentara Mongol dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Ia segera bergabung dengan tentara Mongol untuk menyerang Jayakatwang.

Dengan mudah, tentara Mongol beserta pasukan Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang, tentara Mongol berpesta merayakan kemenangannya.

Ketika tentara Mongol lengah, Raden Wijaya berbalik menyerang mereka. Pasukan Mongol hancur dan sisanya pulang ke negerinya.

Keberhasilan mengalahkan Jayakatwang dan menghancurkan tentara Mongol menghantarkan Raden Wijaya menjadi penguasa di Jawa Timur. Ia mendirikan kerajaan Majapahit dan menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaanya pada masa Hayam Wuruk yang memerintah tahun 1350-1389 M. Pemerintahan Hayam Wuruk dibantu oleh Gajah Mada.

Menurut kitab Nagara Kertagama, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.

Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

Kejayaan Majapahit tidak hanya dalam hal pemerintahan. Dalam bidang ekonomi, Majapahit berkembang menjadi negara agraris dan negara maritim.

Sebagai negara agraris, Majapahit terletak di daerah pedalaman dan dekat dengan aliran sungai sangat cocok untuk pertanian. Hasil utamanya adalah beras.

Untuk meningkatkan pertanian, dilakukan pembuatan saluran pengairan, bendungan, dan pemanfaatan lahan pertanian secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan agar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian.

Sebagai negara maritim, Majapahit memiliki armada laut yang kuat sehingga mampu mengawasi perairan di Nusantara.

Sejumlah pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa merupakan tempat yang strategis di tengah jalur perdagangan menuju Kepulauan Maluku yang menghasilkan rempah-rempah. Majapahit menjadikan pelabuhan-pelabuhan tersebut sebagai pusat perdangangan.

Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar seperti dari Cina, India, dan Siam.

Pada masa kerajaan Majapahit, bidang sastra mengalami kemajuan. Karya sastra yang terkenal adalah kitab Negarakertagama. Selain kitab sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah.

Kitab lain yang terkenal adalah Sutasoma. Kitab ini memuat kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Panatara dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.



Bangunan candi dan stupa ada yang didirikan sebagai tempat pemujaan dan ada pula yang didirikan sebagai makam.

Bangunan yang digunakan agama Hindu contohnya antara lain candi Prambanan, candi Sukuh, candi Canggal, candi Gedong Songo.

Adapun banguna yang digunakan agama Buddha contohnya antara lain Borobudur, Mendut, Sewu, dan Plaosan.

Gapura adalah bangunan berupa pintu gerbang .

Gapura ada yang beratap dan berdaun pintu dan ada yang menyerupai candi terbelah dua. Gapura yang beratap disebut Paduraksa dan yang terbelah dua disebut Bentar.

Contoh bangunan gapura diantaranya adalah Gapura Wringin Lawang di Trowulan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Petirtaan adalah pemandian suci di kalangan istana. Misalnya petirtaan Tirtha Empul dan Jolotondo.

Bentuk patung Hindu tidak sama dengan bentuk patung Buddha. Patung Hindu umumnya berbentuk dewa-dewi, tokoh, dan makhluk mistik.

Misalnya Patung Raja Airlangga berbentuk patung dewa wisnu sedang menunggang garuda, dan paung Ken Dedes dalam wujud Dewi Prajnaparamita.

Adapun patung Buddha, bentuknya mewujudkan Sang Buddha Gautama sendiri. Patung Buddha tampil dalam berbagai posisi.

Misalnya sikap shyana-mudra yaitu sikap tangan sedang bersemadi atau sikap wara-mudra yaitu sikap tangan sedang memberi anugerah.

Relief adalah seni pahat pada dinding suatu bangunan atau candi.

Relief itu melukiskan suatu cerita. Contohnya adalah cerita Ramayana yang dipahat pada dinding candi Prambanan.

Prasasti merupakan tulisan pada batu yang memuat berbagai informasi tentang sejarah, dan peringatan atau catatan suatu peristiwa.

Misalnya Prasasti Canggal, Prasasti Ciateun, Prasasti Talang Tuo, dan Prasasti Kota Kapur.

Kitab merupakan karangan berupa kisah, catatan, laporan tentang suatu peristiwa atau sejarah. Isi kitab tidak berupa kalimat langsung melainkan rangkaian puisi indah dalam sejumlah bait.

Ungkapan dalam bentuk puisi ini biasa disebut kakawin. Kitab-kitab peninggalan masa Hindu-Buddha antara lain adalah Kakawin Bharatayuda karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca, dan Sutasoma karya Mpu Prapanca.




Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi.

Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir.

Proses ini berlangsung pada abad-abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Hal ini berdasarkan bukti bahwa bangsa Indonesia sejak awal telah menganut mazhab Syafi'i yang sama dengan mazhab yang dianut di Mekkah.

Senada dengan pendapat Hamka, teori yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan oleh Anthony H. Johs. Menurutnya proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke kepulauan Indonesia.

Bukti lain tentang masuknya Islam pada abad ke-7 Masehi adalah catatan dari Dinasti Tang yang berjudul Hsin-tangsu (Sejarah Dinasti Tang) menyebutkan bahwa pada 674 Masehi telah ada permukiman pedagang Arab di Polu-shih (Barus, Pantai Barat Sumatera).

Pendapat kedua dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat. Ia mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia.

Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia dan Indonesia.

Tradisi tersebut antara lain adalah perayaan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi Tabot di Pariaman, Sumatera Barat dan Bengkulu.

Pendapat ketiga bahwa Islam masuk ke kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 Masehi.

Menurut Snouck Hurgronje para penyebar Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India). Pendapat senada dikemukakan oleh Mouquette (Ilmuan Belanda) yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13-14 Masehi.

Penentuan waktu itu berdasarkan tulisan pada batu nisan Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 698 H atau 1297 M.

Mouquette melihat ada kesamaan batu nisan Malik al-Saleh dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat.

Bukti lain tentang masuknya Islam pada abad ke-13 M adalah catatan Marcopolo (pedagang Venesia) yang singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Cina pada tahun 1292. Disana disebutkan bahwa Perlak merupakan kota Islam.



Kondisi geografis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan membuat wilayah Kepulauan Indonesia menjadi daerah pertemuan para pedagang yang tidak hanya orang-orang lokal, tetapi juga bangsa lain seperti Arab, Persia, Cina, dan India. Mereka berdagang sambil juga menyebarkan agama Islam.

Para pedagang tersebut biasanya bermukim atau bertempat tinggal sementara di daerah-daerah sekitar pelabuhan.

Hal ini disebabkan mereka harus menunggu perubahan angin pada bulan-bulan tertentu yang memungkinkan mereka kembali ke negeri asalnya.

Pada saat bermukim sementara inilah kemudian mereka menyebarkan agama Islam.

Selain berdagang, penyebaran Islam dilakukan melalui pernikahan. Para pedagang muslim yang menetap di sekitar pelabuhan banyak yang melakukan pernikahan dengan penduduk setempat.

Dari pernikahan ini terbentuklah ikatan kekerabatan yang besar antara pihak laki-laki dan keluarga pihak wanita.

Penyebaran Islam di Nusantara dilakukan juga melalui pendidikan. Para ulama dan guru-guru Islam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Lembaga pendidikan Islam yang dikenal pada waktu itu adalah Surau, Dayah, dan Pesantren. Di tempat-tempat inilah para ulama mendidik para santri  tentang agama Islam.

Bila telah selesai, para santri pulang ke kampung halamannya untuk berdakwah menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekelilingnya.

Contoh pesantren pada masa dahulu adalah pesantren yang dibangun oleh Sunan Ampel dekat Gresik, dan pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri di Gresik.

Penyebaran Islam juga dilakukan melalui pertunjukan seni, seperti pertunjukan wayang kulit.

Disebutkan bahwa dalam cerita tutur bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang dalang yang sangat mahir dan sangat disukai rakyat.

Beliau secara perlahan-lahan memasukan unsur-unsur agama Islam dalam cerita dan pertunjukan wayang sehingga akhirnya dapat menarik rakyat masuk agama Islam.



Sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang kerajaan-kerajaan Hindu-Budha.

Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian mengalami kemunduran dn digantikan perannya oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Pada masa Islam, konsep kerajaan berubah menjadi kesultanan. Dalam sistem kesultanan nilai-nilai Islam menjadi dasar dalam pengendalian kekuasaan.

Pada masa Hindu-Budha terjadi pembedaan yang tegas antar kelompok masyarakat, pembedaan ini disebut dengan sistem kasta.

Sistem ini membedakan masyarakat menjadi golongan Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Setelah Islam masuk, sistem kasta menjadi pudar karena ajaran Islam tidak menerapkan sistem kasta.

Meskipun demikian, pada masa Islam masih terdapat golongan kelompok masyarakat. Di Jawa misalnya seorang ulama diberi kelar Kyai, sebuah gelar yang menunjukkan ketinggian derajat pada struktur sosial di masyarakat.

Begitu pula dengan para penyebar agama Islam yang diberi gelar Sunan, gelar ini menunjukkan status sosial yang tinggi.

Pada masa Islam, sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut agama Islam.

Meskipun demikian, masih terdapat masyarakat yang menganut agama Hindu, Buddha, atau kepercayaan terhadap roh halus. Hinga saat ini, sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut agama Islam.

Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia tidak serta merta menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada.

Kebudayaan Islam mengakomodasi kebudayaan yang sudah ada, tentunya dengan memodifikasi dan penyesuaian agar tetap sesuai dengan ajaran Islam.

Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.



Kesultanan Samudera Pasai berdiri antra tahun 1270-1275 M. Letaknya di sebelah utara Perlak di daerah Lhoksumawe (sekarang pantai timur Aceh) dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka.

Sultan yang pernah memerintah Samudera Pasai antara lain Sultan Malik as-Saleh, Sultan Malik at-Thahir, dan Sultan Mahmud Malik az-Zahir.

Kesultanan Aceh Darussalam didirikan pada tahun 1513 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah.

Berdasarkan berita Portugis, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah berhasil memasukan kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam pada tahun 1520 M.

Kemudian Pedir dan Samudera Pasai ditaklukan pada tahun 1524 M. Kesultanan Aceh Darussalam menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

Pada tahun 1529 M kerajaan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang Portugis di Malaka tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah Wafat pada tahun 1530 M.

Kesultanan Demak merupakan kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa.

Kesultanan ini didirikan sekitar abad ke-15 M oleh Raden Patah yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V, raja terakhir dari kerajaan Majapahit.

Awalnya Demak merupakan wilayah dari kerajaan Majapahit. Seiring dengan kemunduran Majapahit, Demak menjadi kawasan mandiri yang kemudian menjadi sebuah kesultanan.

Wilayah-wilayah di pantai utara Jawa yang sudah menganut Islam berada di bawah pengaruh Demak.

Pengaruh kesultanan Demak kemudian meluas ke Sukadana (Kalimantan Selatan), Palembang, dan Jambi.

Sebelum menjadi kesultanan, Banten sudah berkembang menjadi kota pelabuhan penting di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda.

Pada tahun 1526 M, Fatahilah dari kesultanan Demak berhasil merebut Banten dari kerajaan Sunda.

Perebutan kekuasaan ini terjadi disebabkan oleh adanya kerjasama politik ekonomi antara kerajaan Sunda dan Portugis.

Hal ini dianggap membahayakan kedudukan kesultanan Demak setelah kegagalan Adipati Yunus mengusir Portugis dari Malaka.

Fatahilah kemudian mendirikan benteng pertahanan yang bernama Surosowan yang kelak menjadi pusat pemerintahan kesultanan Banten.

Kesultanan Makassar merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi Selatan.

Kesultanan Makassar berawal dari kerajaan Gowa dan Kerajaan Talo. Kedua kerajaan ini kemudian bergabung menjadi satu di bawah pimpinan raja Gowa.

Adapun raja Tallo menjadi mangkubumi. Setelah menganut Islam, kerajaan tersebut menjadi Kesultanan Makassar.

Kesultanan Mataram merupakan kesultanan Islam yang didirikan oleh Sutawijaya pada tahun 1575 M.

Sutawijaya kemudian menjadi sultan Mataram yang pertama dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.

Sutawijaya digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang yang memerintah tahun 1601-1613 M.

Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya Mas Rangsang yang memerintah tahun 1613-1645 M. Mas Rangsang terkenal dengan nama Sultan Agung.

Masuknya Islam ke Maluku erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan. Pada abad ke-15 para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam di Maluku.

Dari sini muncul empat kesultanan Islam, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.

Pada saat kesultanan-kesultanan tersebut berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Halmahera.

Pada awal abad ke-16 di Kalimantan Selatan terdapat tiga kerajaan, yaitu Nagara Dipa, Nagara Daha, dan Banjar.

Raja kerajaan Banjar bernama Raden Samudra. Ketika negara Daha menyerang Kerajaan Banjar, Raden Samudra meminta bantuan militer kepada Kesultanan Demak.

Raden Samudra berjanji jika Kesultanan Demak membantu berperang melawan Nagara Daha, ia bersama seluruh rakyatnya akan masuk Islam.



Masjid merupakan tempat ibadah orang-orang Islam.

Masjid yang merupakan peninggalan masa Islam di Indonesia contohnya adalah masjid Demak, Masjid Ampel Surabaya, dan Masjid Banten.

Keraton adalah tempat kediaman raja atau istana raja. Di tempat ini seorang raja mengendalikan pemerintahan kerajaanya.

Dengan demikian, keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja. Keraton yang termasuk peninggalan masa Islam antara lain: Keraton Surakarya, Keraton Yogyakarta, Keraton Cirebon, dan Istana Maimun di Sumatera Utara.

Makam kuno peninggalan masa Islam umumnya terdiri atas jirat (kijing), nisan, dan cungkup.

Jirat adalah bangunan yang terbuat dari batu atau tembok yang berbentuk persegi panjang.

Nisan adalah tonggak pendek yang terbuat dari batu yang ditanam di atas gundukan tanah sebagai tanda kuburan.

Cungkup adalah bangunan mirip rumah yang berada di atas jirat.

Contoh makam kuno bercorak Islam, yaitu makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik, makam Sultan Malik as-Saleh di Pasai Aceh, dan makam sultan-sultan Mataran di Imogiri. 

Berdasarkan corak dan isinya karya sastra peninggalam masa Islam di Indonesia ada beberapa jenis, yaitu beruba babad, hikayat, suluk, dan syair.

1. Babad
Babad adalah karya sastra berupa cerita berlatar sejarah. Karya ini biasanya berupa cerita semata daripada uraian sejarah yang disertai bukti-bukti dan fakta. Contoh Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi, dan Babad Giyanti.

2. Hikayat
Hikayat adalah karya sastra yang berupa cerita atau dongeng yang sengaja dibuat sebagai pelipur lara atau pembangkit semangat. Contoh Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Raja-Raja Pasai.

3. Suluk
Suluk adalah kitab-kitab yang berisi masalah gaib, ramalan tentang hari baik atau buruk, dan makna atau simbol tertentu yang dihadapi manusia. Suluk-suluk tersebut merupakan bagian dari ajaran tasawuf. Suluk merupakan karya sastra tertua peninggalan kesultanan Islam di Indonesia. Contoh Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang, dan Suluk Sukarsa.

4. Syair
Syair adalah puisi lama yang setiap baitnya terdiri atas empat baris yang berakhir dengan bunyi yang sama. Contohnya Syair Perahu dan Syair Burung Pingai karya Hamzah Fansuri.

Salah satu  peninggalan dari masa Islam adalah tari seudati atau tari saman dari Aceh. Tarian ini dilakukan dengan iringan nyanyian yang sebenarnya adalah salawat atau pujian kepada Nabi.

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Dalam kesenian ini pemain menusukan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka.

Sekaten merupakan upayaca peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw yang diadakan setiap Rabiul Awwal tahun Hijriah di Alun-Alun Surakarta dan Yogyakarta.

Kaligrafi adalah menulis indah dan disusun dalam aneka bentuk menarik dengan menggunakan huruf arab.

Dalam dunia Islam, kaligrafi terdiri atas petikan ayat-ayat suci Al Qur'an. Bentuknya beraneka macam, dari yang sederhana, berbentuk tulisan mendatar, sampai bentuk yang rumit seperti sebuah lingkaran, segitiga atau membentuk suatu bangunan tertentu seperti masjid.

iklan tengah