Sejarah Indonesia XI BAB 1 Antara Kolonialisme dan Imperialisme

Peta tersebut menggambarkan proses kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara. Garis: ________ menggambarkan proses perjalanan laut bangsa Portugis.

Simbol garis: -- . -- menunjukkan proses perjalanan laut bangsa Spanyol, Simbol garis:- - - - menunjukkan kedatangan bangsa Inggris, dan garis ……. menggambarkan proses perjalanan bangsa Belanda menuju Indonesia.

Perlu disadari bahwa Nusantara atau Kepulauan Indonesia merupakan kepulauan yang sangat kaya dan indah. Bagaikan “mutiara dari timur”.

Tanah Nusantara memiliki flora dan fauna yang beraneka ragam, hasil dan persediaan tambang ada di mana-mana, hasil pertanian pun melimpah, begitu juga hasil perkebunan seperti rempah-rempah selalu menggugah selera.

Sungguh Tuhan Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan bumi Nusantara yang kaya ini untuk kita semua.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita bersyukur atas nikmat-Nya, caranya, dengan menjaga dan melestarikan kekayaan alam semesta Nusantara ini.

Kekayaan dan keindahan tanah Nusantara itu pula yang menarik dan menggiurkan bangsa-bangsa lain untuk datang.

Sekarang mereka datang ke Indonesia, ada yang sebagai wisatawan, ada sebagai penanam modal, ada yang bekerja seperti konsultan, dan lainlain.

Tetapi dalam perjalanan sejarah Indonesia, kedatangan bangsa-bangsa asing terutama Eropa di Nusantara yang dimulai abad ke-16 ternyata telah membawa sebuah perubahan besar dengan terjadinya suatu masa penjajahan bangsa Barat.

Nah, bagaimana proses datangnya bangsa Barat ke Indonesia? Ikuti uraian berikut.

Di dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia dikenal adanya masa penjelajahan samudra. Aktivitas penjelajahan samudra ini dalam rangka untuk menemukan dunia baru.

Aktivitas penemuan dunia baru ini tidak terlepas dari motivasi dan keinginannya untuk bertahan hidup, memenuhi kepuasan dan kejayaan dalam kehidupan di dunia.

Bahkan bukan sekedar motivasi, tetapi juga muncul nafsu untuk menguasai dunia baru itu demi memperoleh keuntungan ekonomi dan kejayaan politik.

Pertanyaannya adalah daerah mana yang dimaksud dunia baru itu? Yang dimaksud dunia baru waktu itu pada mulanya adalah wilayah atau bagian dunia yang ada di sebelah timur (timurnya Eropa).

Wilayah itu sebagai penghasil bahan-bahan yang sangat diperlukan dan digemari oleh bangsa-bangsa Eropa. Bahan-bahan yang dimaksudkan itu adalah rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan pala.

Mengapa orang-orang Eropa sangat memerlukan rempah-rempah?

Orangorang Eropa berusaha sekuat tenaga untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah ini menjadi komoditas perdagangan yang sangat laris di Eropa.

Rempahrempah ini sangat diperlukan untuk bumbu masak dan bahan minuman yang dapat menghangatkan badan. Hal ini sangat cocok untuk orangorang Eropa yang memang tinggal di daerah dingin. Kemudian dari mana asal rempah-rempah itu?

Daerah yang menghasilkan rempahrempah itu tidak lain adalah Kepulauan Nusantara. Orang-orang Eropa menyebut daerah itu dengan nama Hindia.

Bagaikan “memburu mutiara dari timur”, orang-orang Eropa berusaha datang ke Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan rempah-rempah.

Dalam konteks penemuan dunia baru itu kemudian tidak hanya Kepulauan Nusantara, tetapi juga daerah-daerah lain yang ditemukan orang-orang Eropa pada periode penjelajahan samudra, misalnya Amerika dan daerah-daerah lain di Asia.

Sejarah umat manusia sudah sejak lama mengglobal. Peristiwa sejarah di suatu tempat sangat mungkin terpengaruh atau menjadi dampak dari peristiwa lain yang terjadi di tempat yang cukup jauh.

Perkembangan ini sudah sangat nyata seiring dengan semakin ramainya perdagangan melalui “Jalur Sutera” Kehidupan global semakin berkembang dengan maraknya penjelajahan samudera orang-orang Eropa ke dunia Timur.

Begitu juga peristiwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, telah ikut meningkatkan kehidupan global. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh peristiwa yang jauh dari Indonesia, misalnya peristiwa jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah pada tahun 1453.

Serangkaian penemuan di bidang teknologi juga merupakan faktor penting untuk melakukan pelayaran bagi bangsa-bangsa Barat menuju Tanah Hindia/Kepulauan Nusantara.

Sementara itu semangat dan dorongan untuk melanjutkan Perang Salib disebut-sebut juga ikut mendorong kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia.


Bertahun-tahun lamanya Laut Tengah menjadi pusat perdagangan internasional antara para pedagang dari Barat/Eropa dan Timur.

Salah satu kota pusat perdagangan itu yang terkenal adalah Konstantinopel. Banyak jenis komoditas di pasar Konstantinopel.

Misalnya batu mulia, emas dan perak, gading, sutera dan juga yang penting rempah-rempah. Orang-orang Eropa sangat menyenangi rempah-rempah.

Para pedagang dari Barat atau orangorang Eropa itu mendapatkan rempah-rempah lebih mudah, dan dengan harga lebih murah.

Namun, setelah jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 ke tangan Turki Usmani, akses bangsa-bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup. Harga rempah-rempah di pasar Eropa melambung sangat tinggi.

Oleh karena itu, mereka berusaha mencari dan menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah ke timur.

Mulailah periode petualangan, penjelajahan, dan penemuan dunia baru. Upaya tersebut mendapat dukungan dan partisipasi dari pemerintah dan para ilmuwan.

Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, pelayaran, dan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru di timur.

Portugis juga telah menjadi pembuka jalan menemukan Kepulauan Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah.

Kemudian menyusul Spanyol, Belanda, dan Inggris. Tujuan kedatangan mereka ke wilayah timur tidak semata-mata mencari keuntungan melalui perdagangan rempahrempah, tetapi ada tujuan yang lebih luas


Tujuan mereka terkait dengan:

 • gold : memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan emas perak dan bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat berharga.

 • glory : memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya.

 • gospel : menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada mulanya orang-orang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur.

Mengenai ketiga jenis tujuan: gold, glory, dan gospel itu sebenarnya lebih dimiliki dan digelorakan oleh Portugis dan Spanyol.

Berikut ini akan dijelaskan petualangan, pelayaran, dan penjelajahan samudra bangsa-bangsa Eropa menuju Kepulauan Nusantara.

Berita keberhasilan Columbus menemukan daerah baru, membuat penasaran raja Portugis (sekarang terkenal dengan sebutan Portugal), Manuel l.

Raja Portugis tersebut kemudian memanggil pelaut ulung Portugis bernama Vasco da Gama untuk melakukan ekspedisi menjelajahi samudra mencari Tanah Hindia yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah.

Vasco da Gama mencari jalan lain agar lebih cepat sampai di Tanah Hindia yang merupakan tempat penghasil rempah-rempah. Kebetulan sebelum Vasco da Gama mendapatkan perintah dari Raja Manuel l, sudah ada pelaut Portugis bernama Bartholomeus Diaz melakukan pelayaran mencari daerah Timur dengan menelusuri pantai barat Afrika.

Pada tahun 1488 karena serangan ombak besar terpaksa Bartholomeus Diaz mendarat di suatu ujung selatan Benua Afrika.

Tempat tersebut kemudian dinamakan Tanjung Harapan. Ia tidak melanjutkan penjelajahannya tetapi memilih bertolak kembali ke negerinya.

Pada Juli 1497 Vasco da Gama berangkat dari pelabuhan Lisabon untuk memulai penjelajahan samudra.

Berdasarkan pengalaman Bartholomeus Diaz tersebut, Vasco da Gama juga berlayar mengambil rute yang pernah dilayari Bartholomeus Diaz. Rombongan Vasco da Gama juga singgah di Tanjung Harapan.

Atas petunjuk dari pelaut bangsa Moor yang telah disewanya, rombongan Vasco da Gama melanjutkan penjelajahan, berlayar menelusuri pantai timur Afrika kemudian berbelok ke kanan untuk mengarungi Lautan Hindia (Samudra Indonesia).

Pada tahun 1498 rombongan Vasco da Gama mendarat sampai di Kalikut dan juga Goa di pantai barat India.

Ada pemandangan yang menarik dari kedatangan rombongan Vasco da Gama ini. Mereka ternyata sudah menyiapkan patok batu yang disebut batu padrao.

Batu ini sudah diberi pahatan lambang bola dunia.

Setiap daerah yang disinggahi kemudian dipasang patok batu padrao sebagai tanda bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis. Bahkan di Goa, India itu Vasco da Gama berhasil mendirikan kantor dagang yang dilengkapi dengan benteng.

Atas kesuksesan ekspedisi ini maka oleh Raja Portugis, Vasco da Gama diangkat sebagai penguasa di Goa atas nama pemerintahan Portugis.

Setelah beberapa tahun tinggal di India, orang-orang Portugis menyadari bahwa India ternyata bukan daerah penghasil rempah-rempah.

Mereka mendengar bahwa Malaka merupakan kota pusat perdagangan rempahrempah.

Oleh karena itu, dipersiapkan ekspedisi lanjutan di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Dengan armada lengkap Alfonso de Albuquerque berangkat untuk menguasai Malaka.

Pada tahun 1511 armada Portugis berhasil menguasai Malaka. Portugis mulai memasuki wilayah Kepulauan Nusantara yang disebutnya juga sebagai tanah India (Hindia).

Orang-orang Portugis pun segera mengetahui tempat buruannya “mutiara dari timur” yakni rempah-rempah yang ada di Kepulauan Nusantara, khususnya di Kepulauan Maluku

Tentang rempah-rempah di Maluku (Ternate dan Tidore), pernah digambarkan oleh Luis vaz de Cam sebagai berikut.

“Lihatlah, betapa laut-laut di Timur ditebari pulau-pulau tidak terkira banyaknya. Tengoklah Tidore lalu Ternate dengan puncak gunung yang membara dan meluncurkan api. Pandanglah kebun-kebun cengkeh yang panas. Dibeli oleh Portugis dengan darah mereka. Dan burung cenderawasih yang terbang tidak pernah melangit. Tetapi jatuh ke bumi ketika mereka berhenti terbang.“ Luis vaz de Cam-cs. The Lusiads (1572). Canto. 132. (Taufk Abdullah & AB. Lapian. Indonesia dalam Arus Sejarah. 2012)

Perlu ditambahkan bahwa dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah menyebabkan perdagangan orang-orang Islam menjadi terdesak.

Para pedagang Islam tidak lagi bisa berdagang dan keluar masuk kawasan Selat Malaka, karena Portugis melakukan monopoli perdagangan.

Akibatnya para pedagang Islam harus menyingkir ke daerah-daerah lain.

Tindakan Portugis yang memaksakan monopoli dalam perdagangan itu telah mendapatkan protes dan perlawanan dari berbagai pihak.

Sebagai contoh pada tahun 1512 terjadi perlawanan yang dilancarkan seorang pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir).

Pate Kadir merupakan tokoh masyarakat (kepala suku) Jawa yang ada di Malaka. Ia dikenal sangat pemberani. Ia melancarkan perlawanan terhadap keserakahan Portugis di Malaka.

Dalam melancarkan perlawanan ini Pate Kadir berhasil menjalin persekutuan dengan Hang Nadim.

Perlawanan Pate Kadir terjadi di laut dan kemudian menyerang pusat kota. Tetapi ternyata dengan kekuatan senjata yang lebih unggul, pasukan Kadir dapat dipukul mundur.

Kadir semakin terdesak dan kemudian berhasil meloloskan diri sampai ke Jepara dan selanjutnya ke Demak.

Tindak monopoli yang dipaksakan Portugis juga mendapatkan protes dari penguasa Kerajaan Demak. Demak telah menyiapkan pasukan untuk melancarkan perlawanan terhadap Portugis di Malaka.

Pasukan Demak ini dipimpin oleh putera mahkota, Pati Unus. Pasukan Demak ini semakin kuat setelah bergabungnya Pate Kadir dan pengikutnya.

Tahun 1513 pasukan Demak yang berkekuatan 100 perahu dan ribuan prajurit mulai melancarkan serangan ke Malaka.

Tetapi dalam kenyataannya kekuatan pasukan Demak dan pengikut Kadir belum mampu menandingi kekuatan Portugis, sehingga serangan Demak ini juga belum berhasil.

Posisi Portugis menjadi semakin kuat. Portugis terus berusaha memperluas monopolinya, hingga sampai ke Indonesia


Sebelum orang-orang Portugis berangkat memulai penjelajahan samudra, sebenarnya sudah lebih dulu Spanyol berangkat berlayar mencari tempat penghasil rempah-rempah.

Orang-orang Spanyol dan Portugis dapat dikatakan sebagai pelopor dalam pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari daerah baru penghasil rempah-rempah di timur (disebut Tanah Hindia).

Bangsa Portugis dan bangsa Spanyol umumnya memeluk agama Katolik. Kedua bangsa ini sama-sama ingin menguasai wilayah lain di dunia.

Hal ini menimbulkan keprihatinan Paus Yulius II. Untuk menjaga kerukunan antara keduanya, maka Paus turun tangan untuk bermusyawarah dengan kedua bangsa tersebut. Diadakanlah kemudian perjanjian pembagian wilayah.

Perjanjian ini diadakan di Tordesillas, Spanyol pada tanggal 7 Juni 1494. Isinya adalah wilayah di luar Eropa dibagi menjadi dua dengan garis meridian 1550 km sebelah barat Kepulauan Tanjung Verde.

Belahan sebelah timur dimiliki oleh Portugis dan belahan sebelah barat dikuasai Spanyol. Coba lihat gambar berikut.

Orang-orang Spanyol yang diprakarsai Christhoper Columbus merencanakan melakukan penjelajahan samudra untuk menemukan tanah penghasil rempahrempah.

Sebelum berangkat Columbus menghadap kepada Ratu Isabella untuk mendapat dukungan termasuk fasilitas.

Ratu Isabella mengizinkan dan menyediakan tiga kapal dengan segala perlengkapannya. Ratu Isabella juga menyediakan hadiah apabila misi Columbus ini dapat berhasil.

Pada tanggal 3 Agustus 1492, Columbus berangkat dari pelabuhaan. Atas dasar keyakinan bahwa bumi itu bulat maka Columbus dengan rombongannya bertolak dari Spanyol berlayar menuju ke arah barat. Mereka optimis berhasil menemukan daerah baru di timur.

Pada tanggal 6 September tahun yang sama, rombongan Columbus sampai di Kepulauan Kanari di sebelah barat Afrika.

Ekspedisi penjelajahan samudra dilanjutkan dengan mengarungi lautan luas yang dikenal ganas, yakni Samudra Atlantik. Salah satu kapalnya rusak.

Para anggota ekspedisi hampir putus asa. Namun Columbus terus memberi semangat bagi anggota rombongannya.

Setelah sekitar satu bulan lebih berlayar, tanggal 12 Oktober 1492 rombongan Columbus berhasil mendarat di pantai bagian dari Kepulauan Bahama. Columbus mengira bahwa ekspedisinya ini sudah sampai di Tanah Hindia.

Oleh karena itu, penduduk yang menempati daerah itu disebut orang-orang Indian. Tempat mendarat Colombus ini kemudian dinamakan San Salvador. Berikutnya rombongan Columbus kembali berlayar dan mendarat di Haiti. Merasa ekspedisinya telah berhasil maka rombongan Columbus bertolak kembali ke Spanyol untuk melapor kepada Ratu Isabella. Tahun 1493 Columbus sampai kembali di Spanyol.

Kedatangan Columbus dan rombongan disambut dengan suka cita. Bahkan dengan keberhasilannya mendarat di Kepulauan Bahama dan Haiti, Columbus diakui sebagai penemu daerah baru yakni Benua Amerika.

Keberhasilan pelayaran Columbus menemukan daerah baru telah mendorong para pelaut lain untuk melanjutkan penjelajahan samudra ke timur.

Apalagi Columbus belum berhasil menemukan daerah penghasil rempahrempah.

Berangkatlah ekspedisi yang dipimpin oleh Magellan/Magalhaes atau umum menyebut Magelhaens. Ia juga disertai oleh seorang kapten kapal yang bernama Yan Sebastian del Cano

Berdasarkan catatan-catatan yang telah dikumpulkan Columbus, Magellan mengambil jalur yang mirip dilayari Columbus. Setelah terus berlayar Magellan beserta rombongan mendarat di ujung selatan benua yang ditemukan Columbus (Amerika).

Di tempat ini terdapat selat yang agak sempit yang kemudian dinamakan Selat Magellan. Melalui selat ini rombongan Magellan terus berlayar meninggalkan Samudra Atlantik dan memasuki Samudra Pasifik dengan lautan yang relatif tenang.

Setelah sekitar tiga bulan lebih rombongan Magellan berlayar akhirnya pada Maret 1521 Magellan mendarat di Pulau Guam.

Rombongan Magellan kemudian melanjutkan penjelajahannya dan pada April 1521 sampai di Kepulauan Massava atau kemudian dikenal dengan Filipina. Magellan menyatakan bahwa daerah yang ditemukan ini sebagai koloni Spanyol.

Tindakan Magellan dan rombongan ini mendapat tantangan penduduk setempat (orang-orang Mactan). Terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak.

Dalam pertempuran dengan penduduk setempat itu rombongan Magellan terdesak bahkan Magellan sendiri terbunuh.

Rombongan Magellan yang selamat segera meninggalkan Filipina. Mereka di bawah pimpinan Sebastian del Cano terus berlayar ke arah selatan.

Pada tahun 1521 itu juga mereka sampai di Kepulauan Maluku yang ternyata tempat penghasil rempah-rempah. Tanpa berpikir panjang kapal-kapal rombongan del Cano ini dipenuhi dengan rempah-rempah dan terus bertolak kembali ke Spanyol.

Dikisahkan bahwa atas petunjuk pemandu orang Indonesia kapal-kapal rombongan del Cano ini berlayar menuju ke arah barat, sehingga melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan diteruskan menuju Spanyol.

Dengan penjelajahan dan pelayaran yang dipimpin oleh Magellan itu maka sering disebut-sebut bahwa tokoh yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali adalah Magellan.

Dalam kaitannya dengan pelayaran dan penjelajahan samudra itu ada pendapat yang menarik dari Menzies, seorang perwira angkatan laut Inggris.

Ia menegaskan bahwa yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali adalah armada Cina yang dipimpin oleh Panglima Zheng He (Cheng Ho) pada tahun 1421.

Zheng He adalah seorang kasim kepercayaan Kaisar Cina dari Dinasti Ming yang bernama Zhu Di atau Yong Le.

Dijelaskan oleh Menzies bahwa Zheng He bersama armadanya telah berlayar mengelilingi dunia dengan berpedoman pada peta-peta kuno yang dibuat oleh para kartografer Cina dan juga beberapa peta yang dibuat misalnya oleh Fra Mauro (orang Italia), dan yang dibuat oleh Piri Reis (orang Turki).


Portugis sudah memasuki wilayah Kepulauan Nusantara tahun 1511, kemudian sampai ke Maluku tahun 1521.

Begitu juga Spanyol memasuki Maluku pada tahun 1521. Tetapi Belanda datang ke wilayah Nusantara baru pada tahun 1596.

Mengapa Belanda sangat terlambat datang ke Indonesia bila dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol? Perlu diketahui bahwa pada abad ke-15 Belanda masih menjadi vasal Spanyol.

Berbagai gerakan terus dilakukan Belanda untuk melepaskan diri dari Spanyol yang kemudian dikenal Revolusi 80 tahun. Revolusi ini dimulai tahun 1566.

Di tengah-tengah revolusi, kegiatan perdagangan orangorang Belanda di Eropa terutama di pusat perdagangan di Lisabon, terus berkembang dan masih berjalan normal.

Belanda juga tidak menemui kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah di Lisabon.

Tetapi pada saat Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol, maka Belanda dilarang lagi berdagang di Lisabon.

Dengan demikian, Belanda menemui kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah. Belanda harus berusaha untuk mendapatkan rempah-rempah seperti yang telah dilakukan Portugis dan Spanyol.

Orangorang Belanda mulai mencari jalan untuk pergi ke dunia Timur atau Tanah Hindia.

Pada tahun 1594 Willem Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia Timur atau Tanah Hindia melalui daerah kutub utara.

Karena keyakinannya bahwa bumi bulat maka sekalipun dari utara atau barat akan sampai pula di timur.

Ternyata Barents tidak begitu mengenal medan. Ia gagal melanjutkan penjelajahannya karena kapalnya terjepit es mengingat air di kutub utara sedang membeku.

Barents terhenti di sebuah pulau yang disebut Novaya Zemlya. Ia berusaha kembali ke negerinya, tetapi ia meninggal di perjalanan.

Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain yakni Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser memulai pelayaran.

Kedua pelaut ini bersama armadanya dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah Hindia yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah.

Cornelis de Houtman mengambil jalur laut yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 1596 Cornelis de Houtman beserta armadanya berhasil mencapai Kepulauan Nusantara.

Ia dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan niatnya untuk berdagang maka kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh rakyat Banten.

Waktu itu di Kerajaan Banten bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir.

Dengan melihat pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya hasil tanaman rempahrempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk memonopoli perdagangan di Banten.

Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku kasar, orang-orang Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat diterima oleh rakyat dan penguasa Banten.

Oleh karena itu, rakyat mulai membenci bahkan kemudian mengusir orang-orang Belanda itu. Cornelis de Houtman dan armadanya segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali ke Belanda.

Ekspedisi penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju Kepulauan Nusantara.

Rombongan kali ini dipimpin antara lain oleh Jacob van Heemskerck. Tahun 1598 van Heemskerck dengan armadanya sampai di Nusantara dan juga mendarat di Banten. Heemskerck dan anggotanya bersikap hati-hati dan lebih bersahabat.

Rakyat Banten pun kembali menerima kedatangan orang-orang Belanda.

Belanda mulai melakukan aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar ke timur dan singgah di Tuban.

Dari Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju Maluku. Di bawah pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di Maluku pada tahun 1599.

Kedatangan orang-orang Belanda ini juga diterima baik oleh rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik dengan orangorang Portugis.

Oleh karena itu, kedatangan Belanda ini diterima dengan baik dan diberi kebebasan untuk berdagang.

Pelayaran dan perdagangan orang-orang Belanda di Maluku ini mendapatkan keuntungan yang berlipat.

Dengan demikian semakin banyak kapal-kapal dagang yang berlayar menuju Maluku. Uraian tersebut menunjukkan bahwa rakyat wilayah Nusantara/Indonesia senantiasa mau bersahabat dan berdagang dengan siapa saja atas dasar persamaan.

Tetapi kalau para pedagang asing itu ingin memaksakan kehendak dan melakukan monopoli perdagangan di wilayah Nusantara tentu harus ditolak karena tidak sesuai dengan martabat rakyat Indonesia yang ingin berdaulat dalam hidup dan kehidupan termasuk dalam kegiatan perdagangan


Perlu dipahami bahwa setelah Portugis berhasil sampai di kepulauan Maluku, aktif mengadakan perdagangan dengan penduduk setempat.

Kedatangan Portugis ini telah mendorong perdagangan rempah-rempah semakin meluas. Jalur perdagangan antara timur (Indonesia, Maluku) dengan Eropa semakin berkembang.

Bahkan Lisabon dalam waktu singkat berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat.

Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah. Inggris dapat memperoleh rempah-rempah secara bebas dan relatif murah di Lisabon.

Rempah-rempah itu kemudian diperdagangkan di daerah-daerah Eropa Barat bahkan sampai di Eropa Utara.

Tetapi karena Inggris terlibat konflik dengan Portugis dan Spanyol apalagi setelah Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol, maka Inggris pun mulai tidak bebas untuk mendapatkan rempah-rempah di Lisabon.

Oleh karena itu, Inggris berusaha mencari sendiri negeri penghasil rempahrempah.

Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak melibatkan diri dalam perang justru mengadakan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah.

Dalam pelayarannya ke dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempahrempah, Inggris pertama kali sampai ke India pada tahun 1498 dengan mengikuti rombongan Portugis yang dipimpin oleh Vasco da Gama.

Untuk memperkuat daya saing para pedagang Inggris perdagangannya di dunia timur ini kemudian dibentuk kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC) pada tahun 1600.

Orang-orang Inggris juga sampai ke Indonesia pertama kali tahun 1579 dipimpin oleh Francis Drake dan Thomas Cavendish.

Inggris juga membentuk beberapa kantor dagang di Indonesia pada tahun 1604, misalnya di Ambon, Makasar, Jepara, Jayakarta

Kalau kamu tinggal di Jakarta tentu sudah mengenal gedung Museum Fatahilah atau gedung Museum Sejarah Jakarta.

Apakah kamu pernah berkunjung ke gedung museum tersebut? Apa saja koleksinya? Tahun berapa gedung itu dibangun?

Bagi Kamu yang tinggal di luar Jakarta perlu diketahui bahwa di Jakarta terdapat sebuah bangunan museum yang sangat megah yang dikenal dengan Museum Fatahilah atau Museum Sejarah Jakarta.

Gedung yang sekarang terletak di Jalan Taman Fatahilah mulai dibangun tahun 1620 atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J. P. Coen).

Gedung ini kemudian dikenal sebagai Stadhuis atau Balai Kota, merupakan salah satu bangunan Belanda di Batavia yang digunakan sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).

Gedung itulah yang dijadikan sentral untuk membangun kemaharajaan VOC, tempat awal membangun keabsolutan dan kesewenang-wenangan bertindak kejam serta melakukan monopoli perdagangan serta intervensi politik VOC di Nusantara.

Hal ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan.

Seperti telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan.

Tujuan ini dapat dicapai setelah mereka menemukan rempahrempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas.

Dengan demikian, semakin banyak orang-orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing meraup keuntungan dalam berdagang.

Para pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya.

Bahkan tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun mereka saling bersaing.

Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia timur masingmasing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan dagang bersama.

Sebagai contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India.

Dari Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan Inggris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun 1811, kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara.

Persaingan yang cukup keras juga terjadi antarperusahaan dagang orangorang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Kenyataan ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri.

Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar.

Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah ada.

Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam.

Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:

(1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah ada,

(2) memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain,

(3) sebagai kekuatan revolusi (dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki tentara. VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren XVII.

Heeren XVII ini maksudnya para tuan, misalnya Lord, Duke, Count, dari 17 provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC.

Mereka terdiri atas delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan di Amsterdam.

Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
1) melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara;
2) membentuk angkatan perang sendiri;
3) melakukan peperangan;
4) mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat;
5) mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri;
6) mengangkat pegawai sendiri; dan
7) memerintah di negeri jajahan;

Kewenangan di atas sering disebut dengan hak oktroi. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang sangat luas.

VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerahdaerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya.

VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC.

Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Nieuw Victoria.

Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli.

Dapat kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam di Negeri Belanda harus mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara.

Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas sehari-hari secara cepat dan efektif. Sementara itu, persaingan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras.

Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal.

Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC.

Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie).

Tugas “Dewan Hindia” ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal. Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1602-1614).

Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan.

Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta.

Penguasa Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan. Pedagang dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga Belanda.

Dengan demikian, Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai.

Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas 50x50 vadem (satu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara Ciliwung.

Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia.

Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor dan sekaligus gudang.

Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon.


Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615).

Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619).

Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung.

Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat.

Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar.

Bahkan, sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta.

Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara.

Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong.

Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan menikmati keuntungan yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai Indonesia.

Untuk memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC sering melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap kaum pribumi.

Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Rakyat dan para penguasa lokal tidak mau diperlakukan semena-mena oleh VOC.

Oleh karena itu, tidak jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal. Sebagai contoh pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta.

Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.

Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius.

Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta.

Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta.

Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619.

Di atas puingpuing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda.

Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta. J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia.

Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya.

Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:

1) Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku;

2). Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan;

3). VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempattempat yang memiliki posisi strategis. Cara-cara yang dilakukan, di samping dengan kekerasan dan peperangan, juga melakukan politik adu domba;

4). VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaankerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli, serta melakukan intervensi dalam pergantian penguasa lokal;

5). Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi;

Cara-cara seperti monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian menjadi kebiasaan VOC dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia.

Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda.

Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya.

J.P. Coen semakin congkak dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus dilakukan.

Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua J.P. Coen ini pula terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.(akan dibahas pada bab II).

Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas besar VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia.

Selain itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional.

Batavia menjadi pusat perdagangan dan jalur yang menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur.

Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah.

VOC semakin bernafsu dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai wilayah Nusantara yang kaya rempah-rempah ini.

Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan.

Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya.

Sebagai contoh, Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC.

Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC pada tahun 1749.

Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka.

Hal ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh.

Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667.

Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan melalui Pelayaran Hongi.

Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk mempertahankan kebijakan monopoli di setiap daerah yang dipandang strategis, maka armada VOC diperkuat.

Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Nieuw Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar.

VOC juga memperluas pengaruhnya sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas.

Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz.

Bersama armadanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Papua pada tahun 1606.

Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempahrempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland.

Pada waktu itu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat.

Bahkan pada tahun 1667, Pulaupulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC.

Dengan demikian, daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. Penguasaan atas Papua/Irian oleh VOC ini terutama terjadi setelah melihat Inggris mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa tempat di Indonesia, seperti penguasaan atas Bengkulu.

Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain.

Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya).

Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.

Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).

Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain.

Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda.

Sistem ekonomi dan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa itu tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang berkembang di Eropa yakni sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad ke-16.

Merkantilisme merupakan sistem ekonomi yang menekan peraturan dan praktik ekonomi pemerintahan suatu negara dengan tujuan memperluas kekuasaan dengan mengorbankan kekuatan nasional negara saingannya.

Merkantilisme ini diarahkan untuk menambah cadangan moneter dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme.

Oleh karena itu, ciri yang menonjol dalam sistem ekonomi merkantilisme yakni menciptakan koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan monopoli perdagangan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.

Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas masyarakat atau bangsa yang lain. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan.

Sifat keangkuhan dan keserakahan ini telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara.

VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan penguatan akar kolonialisme dan imperialisme.

VOC telah melakukan praktik penjajahan di Nusantara.

Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC.

Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan Maluku


Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil dikuasai.

Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua.

Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan.

Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks.

Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia.

Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.

Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.

Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja.

Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja.

Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan.

Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen.

Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.

Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang cenderung feodalis.

Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya.

Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754.

Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran.

Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak.

Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran.

Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti.

Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi.

Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi.

Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan.

Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan.

Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”.

Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,- perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri Simbolon, 2007) .

Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat.

Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar.

Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).

Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak.

Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi.

VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda.

Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Tentu kamu sudah akrab dengan gambar-gambar di atas. Gambar itu adalah gambar tanaman kopi, tembakau, dan tebu.

Ketiga jenis tanaman itu sekarang begitu populer di masyarakat Indonesia. Tembakau adalah bahan utama untuk rokok.

Sementara kopi kini menjadi minuman yang sangat terkenal di kalangan rakyat Indonesia. Begitu juga tebu sebagai bahan pembuat gula pasir.

Sejak zaman kolonial di Indonesia telah berkembang penanaman kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga jenis tanaman telah menjadi bahan ekspor.

Ketiga jenis tanaman tersebut secara historis memiliki arti yang sangat penting, ditambah dengan tanaman-tanaman yang lain seperti nila dan karet.

Tanaman tersebut telah menjadi tanaman pokok pada masa kolonial di Indonesia, terutama pada era Tanam Paksa (Cultuurstelsel).

Pada masa itu, Indonesia berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan Tanam Paksa ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia.

Nah, bagaimana kehidupan rakyat pada masa penjajahan pemerintah kolonial? Berikut ini uraian tentang “Menganalisis Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda”

Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Munculah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot.

Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Prancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).

Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Prancis itu, maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan.

Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Prancis menyerbu Belanda.

Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Prancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1811).

Republik Bataaf dipimpin oleh Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte.

Sementara itu, Raja Willem van Oranye (Raja Willem V) oleh pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew.

Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Prancis.

Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.

Sudah barang tentu pihak Prancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara.

Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Prancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Prancis. Kebijakan utama Prancis waktu itu adalah memerangi Inggris.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat.

Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.

a) Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811) 
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811.

Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan memperbaiki administrasi pemerintahan.

Daendels juga ditugasi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.

Tampaknya Jawa menjadi sangat penting dan strategis dalam mengatur pemerintahan kolonial di Nusantara, sehingga menyelamatkan dan mempertahankan Jawa menjadi sangat penting. Daendels adalah kaum patriot dan berpandangan liberal.

Ia kaum muda yang berasal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis.

Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia.

Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik yang dinilai feodalistik.

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf).

Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.

Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk (Republik Bataaf), Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.

1) Bidang Pertahanan dan Keamanan 
Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah:

(a) membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis;

(b) membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil;

(c) meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang (baca Ricklefs, 2005); dan

(d) membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan Daendels.

Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan tersebut telah merubah citra Daendels.

Pada awalnya Daendels dikenal sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator.

Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita, apalagi kerja rodi dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon.

Lokasi yang begitu jauh, sulit dicapai dan penuh dengan sarang nyamuk malaria, menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban. Banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan tidak sedikit yang meninggal.

2) Bidang Politik dan Pemerintahan 
Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia banyak melakukan campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat istiadat di kerajaan-kerajaan di Jawa.

Kalau sebelumnya pejabat VOC datang berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan Yogyakarta ada tata cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak boleh memakai payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk di kursi yang lebih rendah dari dampar (kursi singgasana raja), Daendels tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu.

Ia harus pakai payung emas, duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi. Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi Sultan Hamengkubuwana II menolaknya (Baca Ricklefs, 2005).

Penolakan Hamengkubuwana II terhadap kebijakan Daendels menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua belah pihak. Inilah benih-benih nasionalisme yang tumbuh di lingkungan Kasultanan Yogyakarta.

Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara” dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan ini siap sewaktu-waktu untuk membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan kekuatan yang ia miliki, Daendels semakin congkak dan berani.

Daendels mulai melakukan intervensi terhadap pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan Yogyakarta.

Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenangan Daendels itu, Raden Rangga mulai melancarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Raden Rangga adalah kepala pemerintahan mancanegara di Madiun yang merupakan bawahan Kasultanan Yogyakarta.

Oleh karena itu, Sultan Hamengkubuwana II mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden Rangga. Namun perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan Raden Rangga sendiri terbunuh.

Setelah berhasil mematahkan perlawanan Raden Rangga, Daendels kemudian memberikan ultimatum kepada Sultan Hamengkubuwana II agar menyetujui pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih dan Sultan harus menanggung kerugian perang akibat perlawanan Raden Rangga. Sultan Hamengkubuwana II menolak ultimatum itu.

Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.200 orang serdadu.

Dengan kekuatan ini Daendels berhasil memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Hamengkubuwana III ini sering disebut Sultan Raja dan Hamengkubuwana II sering disebut Sultan Sepuh.

Sekalipun sudah diturunkan dari tahta, Sultan Hamengubuwana II atau Sultan Sepuh ini masih diizinkan tinggal di lingkungan istana.

Selain hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(a) membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara;

(b) Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).

(c) berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial;

(d) kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.

Jumlah Keresidenan di Pulau Jawa pada masa pemerintahan Daendels.
1. Tegal
2. Bagelen
3. Banyumas
4. Cirebon
5. Priangan
6. Karawang
7. Buitenzorg (Bogor)
8. Banten
9. Batavia (Jakarta)
10. Surakarta
11. Yogyakarta
12. Banyuwangi
13. Besuki
14. Pasuruan
15. Kediri
16. Surabaya
17. Rembang
18. Madiun
19. Pacitan
20. Jepara
21. Semarang
22. Kedu
23. Pekalongan

3) Bidang Peradilan 
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan.

(a) Daendels membentuk tiga jenis peradilan:
(1) peradilan untuk orang Eropa,
(2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan
(3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang; dan

(b) peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing

4) Bidang Sosial Ekonomi 
Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang.

Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya

(a) Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon;

(b) meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta;

(c) meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia;
(d) rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya;
(e) melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta;

Selama tiga tahun memerintah di Hindia Belanda, Daendels dianggap gagal melaksanakan misi mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris dan program yang dijalankannya dinilai merugikan negara karena korupsi makin merajalela.

Oleh sebab itu Daendels dipanggil oleh pemerintah kolonial untuk kembali ke negaranya dan digantikan oleh Jan Willem Janssen.

b) Pemerintahan Janssen (1811) 
Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem Janssen. Janssen dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda.

Sebelumnya Janssen menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 1802- 1806.

Pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris.

Pada tahun 1810 Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada tahun 1811. Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels.

Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia Belanda sudah jatuh ke tangan Inggris. Sebetulnya pihak Belanda sebagai bawahan Prancis berusaha untuk mempertahankan koloni-koloni Belanda dari ancaman Inggris.

Oleh karena itu, seperti telah dijelaskan di depan Perancis mengirim Daendels ke Indonesia dengan tugas utama untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tetapi armada Inggris ternyata lebih kuat dan unggul.

Jan Williem Janssen yang menggantikan Daendels tidak bisa berbuat banyak. Penguasa Inggris di India, Lord Minto kemudian memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa.

Raffles segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang.

Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia.

Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta.

Namun, pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen beserta pasukannya.

Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di Tuntang.

Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811.


Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia.

Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia.

Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkahlangkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan.

Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.

Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat.

Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.

Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa.

Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.

a) Kebijakan dalam Bidang Pemerintahan 
Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen.

Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan.

Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa yang sekiranya membenci Belanda.

Strategi ini sekaligus sebagai upaya mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Kepulauan Nusantara.

Sebagai realisasinya, Raffles berhasil menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda dari Hindia.

Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi. Setelah berhasil mengusir Belanda dari Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai contoh dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin.

Raja Baharuddin termasuk raja yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda dari Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha Najamuddin untuk menggulingkan Raja Baharuddin.

Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut.

Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II.

Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles.

Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau.

Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa.

Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta.

Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III.

Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.

1) Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I;

2) Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang; dan

3) semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.

b) Tindakan dalam Bidang Ekonomi 
Tidak ubahnya Daendels, Raffles bisa dikatakan adalah tokoh pembaru dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup revolusioner.

Raffles berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial.

Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles sebagai berikut.

1) Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.

2) Penghapusan penyerahan wajib hasil bumi.
3) Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4) Penghapusan sistem monopoli.
5) Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.

Kebijakan dan program landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah.

Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya.

Pajak dipungut perorangan (tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut per desa). Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas dua 40%, dan kelas tiga 33%.

Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas tiga 25% (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, 2007).

Beban pajak ini tentu sangat memberatkan rakyat. Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang.

Namun, jika terpaksa pajak dapat juga dibayar dengan barang lain, misalnya beras.

Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen, sedangkan pajak yang berupa beras dikirim ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri.

Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering memotong/mengurangi penyerahan hasil panen itu.

Kita tahu bahwa para pimpinan atau pejabat pribumi sudah dialihfungsikan menjadi pegawai pemerintah yang digaji.

Pelaksanaan sistem landrent itu diharapkan dapat lebih mengembangkan sistem ekonomi uang di Hindia Belanda.

Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi pelaksanaan pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang.

Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga akan bertambah besar.

Raffles juga ingin memberikan kebebasan bagi para petani untuk menanam tanaman yang sekiranya lebih laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, dan nila.

Raffles sebenarnya orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat.

Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat berbagai kendala.

Budaya dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam mengatur rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten residen yang berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai penjajah.

Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan.

Raffles juga melakukan monopoli garam. Secara umum dapat dikatakan Raffles kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya.

Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat tetap menderita.

Di luar itu semua, tampaknya Raffles juga seorang ilmuwan. Raffles juga sangat memperhatikan terhadap bahasa dan adat istiadat masyarakat di Jawa.

Ia juga sangat tertarik pada antropologi dan botani. Makalahmakalahnya kemudian diterbitkan dalam majalah Verhandelingen.

Bahkan begitu terkesan dengan Indonesianya dengan segala budayanya, apalagi Jawa, maka setelah pulang ke Inggris, Raffles kemudian menulis buku History of Java Untuk merealisasikan buku itu, Raffles dibantu oleh juru bahasa, antara lain Raden Ario Notodiningrat.

Ia juga memberikan bantuan penelitian John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul History of the East Indian Archipelago.


Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun 1816.

Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London.

Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda.

Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.

a) Jalan Tengah Bersama Komisaris Jenderal 
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal.

Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang beranggotakan tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan Buyskes, dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.

Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van der Capellen sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal.

Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan, Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815.

Salah satu pasal dari undangundang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas.

Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.

Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda.

Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles.

Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsipprinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara.

Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis.

Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk.

Sementara itu perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesarbesarnya belum mencapai titik temu.

Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam.

Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.

Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan “jalan tengah”.

Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan.

Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan. Pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal.

Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah.

Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapusan peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat).

Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan.

Van der Capellen kemudian dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies.

Du Bus Gisignies berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang diekspor.

Kenyataannya justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah Belanda.

Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan.

Sebagai contoh Perang Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi.

Pengeluaran keuangan menjadi tidak terkontrol, sementara pengembangan usaha harus terus dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan.

Untuk mengatasi dan mengatur keuangan ini diperlukan suatu lembaga keuangan yang bonafit. Oleh karena itu, sebagai bentuk persetujuannya, Raja Belanda mengeluarkan oktroi.

Atas dasar oktroi ini dibentuklah De Javasche Bank pada tanggal 9 Desember 1826.

Kemudian oleh Gubernur Jenderal Du Bus Gisignies dikeluarkan Surat Keputusan No. 25 tertanggal 24 Desember 1828 tentang Akte Pendirian De Javasche Bank.

Pembentukan De Javasche Bank ini sekaligus juga merupakan bentuk dukungan Raja terhadap rencana pelaksanaan Tanam Paksa di Indonesia/Hindia.

Pemulihan kondisi ekonomi dan keuangan Belanda harus segera diprogramkan. Apalagi setelah keberhasilan Belgia dalam berjuang untuk memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830.

Dengan pisahnya Belgia dari Belanda ini menjadi pukulan bagi Belanda.

Keadaan ekonomi Belanda semakin berat. Sebab, Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga semakin berkurang

b) Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat.

Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia.

Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi di Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia.

Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka sistem penanaman harus dikembangkan dengan memanfaatkan kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”.

Oleh karena itu, penanam yang dilakukan para petani itu bersifat wajib.

Kita, orang Indonesia menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van den Bosch menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk.

Diibaratkan oleh Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan negeri penjajah.

Dapat dikatakan Jawa dimanfaatkan sebagai sapi perahan. Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa).

Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat.

Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun.

Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa.

Dengan membawa dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.

1) Ketentuan Tanam Paksa Raja 
Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa.

Setelah sampai di Jawa, Van den Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia.

Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.

Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.

a) penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa;

b) tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;

c) waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;

d) tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;

e) hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;

f) kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah;

g) penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum; dan

h) penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun;

Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat.

Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Ini artinya ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan batas-batas kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.

2) Pelaksanaan Tanam Paksa 
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional yang sudah ada.

Dalam hal ini para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala desa memiliki peran penting. Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani wajib menanam tanaman yang laku di pasaran dunia.

Kekuasaan mereka harus diperkokoh dengan cara diberi hak pemilikan atas tanah dan hakhak istimewa yang lain.

Para penguasa pribumi akhirnya lebih menjadi alat kolonial. Dengan demikian masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan yang menjadi tempat berlindung di negerinya sendiri.

Berkaitan dengan pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti sambatan, gotong royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan.

Dalam hal ini peran para penguasa pribumi, priayi dan juga kepada desa sangat sentral. Kemudian kepala desa di samping sebagai penggerak para petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah.

Oleh karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah pengaruh dan pengawasan para pamong praja.

Para penguasa pribumi dan juga kepala desa ini dalam menjalankan tugasnya juga mendapatkan bonus atau cultuur procenten dari pemerintah kolonial. Besaran bonus itu tergantung dari besar kecilnya hasil setoran kepada pemerintah kolonial.

Semakin besar setoran dari petani kepada pemerintah kolonial yang ada di wilayahnya, pejabat pribumi di tempat itu juga akan menerima bonus semakin besar pula.

Hal inilah yang mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa.

Para penguasa pribumi demi mengejar cultuur procenten yang besar, kemudian memaksa para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam sistem Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat menyetorkan hasil yang besar kepada pihak kolonial.

Sistem cultuur procenten inilah kemudian mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa.

Beberapa penyelewengan itu antara dapat dicontohkan sebagai berikut

a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari seperlima, sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih dari setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran hasil tanamannya juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.

b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.

Dapatlah dikatakan bahwa dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu umumnya berjalan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Pemicu penyelewengan ini tidak terlepas dari adanya cultuur procenten.

Pihak pemerintah kolonial di Hindia ini juga melakukan pembiaran dan ini tampaknya yang memang diinginkan oleh pihak kolonial Belanda, agar hasil dari pelaksanaan Tanam Paksa segera dapat memperbaiki ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Negeri Belanda.

Harus juga dipahami bahwa dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu juga disertai dengan tindak kekerasan, tindakan menakut-nakuti para petani. Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat.

Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan meninggal.

Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah.

Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850. Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia.

Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama manusia.

Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi manusia.

Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api.

Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat di kemudian hari.

c) Sistem Usaha Swasta 
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat.

Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri.

Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha.

Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa.

Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.

Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan.

Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa.

Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi.

Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme.

Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.

Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.

Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang.

Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal).

Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan.

Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi.

Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.

Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri.

Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrakkontrak Gula) tulisan Frans van de Pute.

Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum.

Oleh karena itu, secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871.

Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Inggris memberikan kebebasan kepada Belanda untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh.

Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal sehingga pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.

Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan.

Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.

1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen.

 2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.

3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan.

Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:

a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.

 b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.

 c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun.

Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.

Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialisme modern.

Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
(1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing,
(2) tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa,
(3) penyedia tenaga kerja yang murah.

Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang.

Beberapa jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat.

Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari pasaran dunia yang semakin meningkat.

Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api.

Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar.

Pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang.

Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan kereta api.

Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerahdaerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh.

Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini, juga berdasarkan pertimbangan politik dan militer.

Jalur kereta api juga dibangun untuk kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra Barat.

Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang.

Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.

Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot.

Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya.

Di samping melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun.

Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju.

Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.

d) Perkembangan Agama Kristen 
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia.

Bersamaan gelombang kedatangan bangsa-bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia.

Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Eropa itu sudah menjangkau ke seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.

Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah.

Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.

Harus diakui bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia telah membuka jalan bagi perkembangan agama Kristen di Indonesia.

Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen).

Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada abad ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. Oleh karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery.

Kegiatan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh orang-orang Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan gospel.

Dengan motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh Portugis tidak dapat terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik.

Minimal secara politik, kegiatan para missionaris dalam menyebarkan agama Kristen menjadi lebih lancar.

Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah.

Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon) Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan Maluku sudah ramai.

Melalui kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di Maluku.

Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. Berkembanglah agama Katolik di beberapa daerah di Kepulauan Maluku.

Para penyiar agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis, padre yang berarti imam).

Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor Fransiscus Xaverius SJ dari ordo Yesuit. Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang Pantai Leitimor, Kepulauan Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan Morotai.

Usaha penyebaran agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang lain. Kemudian di Nusa Tenggara Timur seperti Flores, Solor, dan Timor agama Katolik berkembang tidak terputus sampai sekarang.
B e r i k u t n y a j u g a berkembang agama Kristen di Kepulauan Maluku terutama setelah VOC menguasai Ambon.

Pada waktu itu para zendeling aktif menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme, yaitu menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen ini juga semakin intensif saat Raffles berkuasa.

Agama Katolik dan Kristen berkembang pesat di Indonesia bagian timur. Agama Katolik juga berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di tempat itu pada abad ke-16.

Penyebaran agama Katolik di daerah Minahasa dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro de Mascarenhas.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan sebagai tahun masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi itu sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis.

Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibaptis oleh Magelhaens. Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa.

Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera.

Singkatnya agama Katolik dan Kristen dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan agama Kristen di Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orangorang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin kuat.

Agama Kristen kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi juga di berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi.

Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa. Perkembangan Kristen Jawa ini tidak dapat dilepaskan dari peran Kiai Sadrach.

Dalam petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia memeluk agama Kristen setelah dibaptis pada tahun 1867.

Ia kemudian mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa. Pengikutnya pun semakin banyak.

Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan bahkan kemudian memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda.
Ia tinggal dan mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah selatan Kutoarjo). Banyak pengikut Kristen Jawa ini di Jawa Tengah

iklan tengah