Materi PAI XII BAB 6 Meraih Kasih Allah Swt Dengan Ihsan

Dari sisi kebahasaan, kata Ihsan berasal dari kata kerja (fi’il) Hasuna-Yahsunu-Hasanan, artinya baik.

Kemudian mendapat tambahan hamzah di depannya, menjadi Ahsana-Yuhsinu-Ihsanan, artinya memperbaiki atau berbuat baik. 

Menurut istilah, Ihsan pada umumnya diberi pengertian dari kutipan percakapan Nabi Muhammad saw. dengan malaikat Jibril ketika beliau menjelaskan makna Ihsan, yaitu:
Artinya:
“… Rasulullah saw bersabda: ‘Kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.’…”

Jadi, Ihsan adalah menyembah Allah Swt. seolah-olah melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka membayangkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. melihat perbuatannya.

Dengan kata lain, Ihsan adalah beribadah dengan ikhlas, baik yang berupa ibadah khusus (seperti
salat dan sejenisnya) maupun ibadah umum (aktivitas sosial).

Banyak ayat dan hadis yang memerintahkan agar kita berbuat Ihsan.

Salah satu ayat yang akan kita bahas lebih lanjut terkait dengan perintah Ihsan adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2:83 berikut:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah Swt., dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-oang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.”

Dalam ayat di atas Allah Swt. mengingatkan Nabi Muhammad saw. atas janji  Bani Israil yang harus mereka penuhi, yaitu bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah Swt.. Setelah itu disusul dengan perintah berbuat baik kepada orangtua, amal kebajikan tertinggi, karena melalui
kedua orangtua itulah Allah Swt. menciptakan manusia.

Sesudah Allah Swt. menyebut hak kedua orangtua, disebutkan pula hak kerabat (kaum keluarga), yaitu berbuat kebajikan kepada mereka.

Kemudian Allah Swt. menyebut hak orang-orang yang memerlukan bantuan, yaitu anak yatim dan orang miskin.

Allah Swt. mendahulukan menyebut anak yatim daripada orang miskin karena orang miskin dapat berusaha sendiri, sedangkan anak yatim karena masih kecil belum sanggup untuk itu.

Setelah memerintahkan berbuat baik kepada orangtua, keluarga, anak yatim, dan orang miskin, Allah Swt. memerintahkan agar mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada Bani Israil agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Ruh salat itu adalah keikhlasan dan ketundukan kepada Allah Swt.. Tanpa ruh itu salat tidak ada maknanya apa-apa.

Orang-orang Bani Israil mengabaian ruh tersebut dari dulu hingga turun al-Qur'an, bahkan sampai sekarang.

Demikian juga dengan zakat. Kewajiban zakat bagi kaum Bani Israil juga mereka ingkari.

Hanya sedikit orang-orang yang mau mentaati perintah Allah Swt. pada masa Nabi Musa dan pada setiap zaman.

Pada akhir ayat ini Allah Swt. menyatakan, “dan kamu (masih menjadi) pembangkang”.

Ini menunjukkan kebiasaan orang-orang Bani Israil dalam merespons perintah Allah Swt., yaitu “membangkang”, sehingga tersebarlah kemungkaran dan turunlah azab kepada mereka.

Hadis yang terkait dengan perintah berbuat Ihsan juga banyak sekali.

Setiap hadis yang mengandung perintah berbuat baik kepada sesama manusia, melarang berbuat kerusakan, atau perintah beribadah kepada Allah Swt., itu semua merupakan perintah berbuat Ihsan.

Di antara hadis yang dengan tegas menyatakan agar kita berbuat I¥s±n adalah sabda Rasulullah saw. berikut:.
Artinya:
Dari Syadad bin Aus, bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat Ihsan atas segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (HR. Muslim).

Dalam hadis di atas Rasulullah menegasan bahwa sikap dan perilaku Ihsan itu diperintahkan oleh Allah Swt. dalam semua bidang kehidupan.

Pada surat al-Baqarah terdapat contoh pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan Ihsan.

Lebih lanjut, dalam hadis ini Rasulullah saw memberikan contoh lain tentang cara berlaku Ihsan.

Jika harus membunuh (dalam peperangan), maka harus dilakukan dengan baik, dilakukan karena Allah Swt., bukan karena dendam atau yang lain, dan tidak pula menganiaya.

Bahkan jika musuh menyerah, maka tidak boleh dibunuh.

Kemudian pada bagian akhir dari hadis, Rasulullah saw mengajarkan cara berlaku Ihsan kepada binatang dengan menjelaskan adab menyembelih, yaitu agar pisau ditajamkan, dan binatang yang mau disembelih pun dibuat senang, dengan memberikan makan yang cukup.

Jika binatang saja harus dipelakukan demikian, apalagi sesama manusia.

Kepada siapa kita harus berlaku Ihsa? Dilihat dari objek nya (pihak-pihak yang berhak mendapat perlakuan baik/Ihsan dari kita), kita harus berbuat Ihsan kepada Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan juga kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut.

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat Ihsan atas segala sesuatu…”.(HR. Muslim).

Secara lebih rinci, pihak-pihak yang berhak mendapatkan Ihsan ialah sebagai berikut:

1. Ihsan kepada Allah Swt.
Yaitu berlaku Ihsan dalam menyembah/beribadah kepada Allah Swt., baik dalam bentuk ibadah khusus yang disebut ibadah mahdah (murni, ritual), seperti salat, puasa, dan sejenisnya, ataupun ibadah umum yang disebut dengan ibadah gairu mahdah (ibadah sosial), seperti belajar-mengajar,
berdagang, makan, tidur, dan semua perbuatan manusia yang tidak
bertentangan dengan aturan agama.

Berdasarkan hadis tentang Ihsan di atas, Ihsan kepada Allah Swt. mengandung dua tingkatan berikut ini.

a. Beribadah kepada Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya. Keadaan ini merupakan tingkatan Ihsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan, dan kerinduan. Dia
menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya.

b. Beribadah dengan penuh keyakinan bahwa Allah Swt. melihatnya.  Kondisi ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena sikap Ihsannya didorong dari rasa diawasi dan takut akan hukuman.

Kedua jenis Ihan inilah yang akan mengantarkan pelakunya kepada puncak keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Swt., jauh dari motif riya’.

2. Ihsan kepada sesama makhluk ciptaan Allah Swt.
Dalam Q.S al-Qassash/28:77 Allah berfirman: “…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Dari berbagai ayat dan hadis, berbuat kebajikan (I¥s±n) kepada sesama makhluk Allah Swt. meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya. Lebih kongkritnya seperti penjelasan berikut:

a. Ihsan kepada kedua Orangtua.
Allah Swt. berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” dan ucapkanlah:
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua  mendidik aku di waktu
kecil.”(Q.S.al-Isra’/17:24)

Dalam sebuah hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda (artinya): “Keridaan Allah berada pada keridaaan orangtua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orangtua.” (HR. at-Tirmizi).

Berbuat baik kepada kedua orangtua ialah dengan cara mengasihi, memelihara, dan menjaga mereka dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak bertentangan
dengan aturan Allah Swt..

Mereka telah berkorban untuk kepentingan anak mereka sewaktu masih kecil dengan perhatian penuh dan belas kasihan.

Mereka mendidik dan mengurus semua keperluan anak-anak ketika masih lemah. Selain itu, orangtua memberian kasih sayang yang tidak ada tandingannya.

Jika demikian, apakah tidak semestinya orangtua mendapat perlakuan yang baik pula sebagai imbalan dari budi baiknya yang tulus itu? Sedangkan Allah Swt. telah menegaskan
dalam firman-Nya, “Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (Q.S. ar-Rahman/55:60).

b. Ihsan kepada Kerabat Karib.
Menjalin hubungan baik dengan karib kerabat adalah bentuk Ihsan kepada mereka, bahkan Allah Swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silaturahmi dengan perusak di muka bumi.

Allah Swt. berfirman: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Q.S. Muhammad/47:22).

Silatur ahmi merupakan kunci mendapatkan keri«±an Allah Swt. Sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi.

Dalam hadis qudsi, Allah Swt. berfirman: “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku
telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Kusambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Kuputuskan hubunganKu dengannya.” (HR. at-Tirmizi).

c. Ihsan kepada Anak Yatim.
Berbuat baik kepada anak yatim ialah  dengan cara mendidiknya dan memelihara hak-haknya. Banyak ayat dan hadis menganjurkan berbuat baik kepada anak yatim, di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:

“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).

d. Ihsan kepada Fakir Miskin.
Berbuat Ihsan kepada orang miskin ialah dengan memberikan bantuan kepada mereka terutama pada saat mereka mendapat kesulitan.

Rasulullah bersabda,”Orang-orang yang menolong janda dan orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

e. Ihsan Kepada Tetangga.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya.

Mereka semua masuk ke dalam kategori tetangga.

Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim, dan sebagai kerabat.

Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. al-Syaikhani).

Pada hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. at-abrani).

f. Ihsan kepada Tamu
Ihsan kepada tamu, secara umum adalah dengan menghormati dan menjamunya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i).

Tamu yang datang dari tempat yang jauh, termasuk dalam sebutan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan jauh).

Cara  berbuat Ihsan terhadap ibnu sabil dengan memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta.

g. Ihsan kepada Karyawan/Pekerja
Kepada karyawan atau orang-orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita, termasuk pembantu, tukang, dan sebagainya, kita diperintahkan agar membayar upah mereka sebelum keringat mereka
kering (segera), tidak membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup melakukannya.

Secara umum kita juga harus menghormati dan menghargai profesi mereka.

h. Ihsan kepada Sesama Manusia
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).

Wahai manusia, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai satu sama lain dalam pergaulan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.

Menunjuki jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

i. Ihsan kepada Binatang
Berbuat Ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya di luar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah.

Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya  dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

“…Maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (¦R. Muslim).

j. Ihsan kepada Alam Sekitar
Alam raya beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk kepentingan kelestarian hidup alam dan manusia sendiri, alam harus dimanfaatkan secara bertanggungjawab.

Allah Swt. berfirman: “…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. al-Qásas/28:77).

“Kebaikan akan berbalas kebaikan”, adalah janji Allah dalam al-Qur'an. Berbuat Ihsan adalah tuntutan kehidupan kolektif.

Karena tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, maka Allah menjadikan saling berbuat baik sebagai sebuah keniscayaan. 

Berbuat baik (Ihsan) kepada siapa pun, akan menjadi stimulus terjadinya “balasan” dari kebaikan yang dilakukan.

Demikianlah, Allah Swt. Membuat sunah (aturan) bagi alam ini, ada jasa ada balas. Semua manusia diberi “nurani” untuk berterima kasih dan keinginan untuk  membalas budi baik.

Sikap dan perilaku terpuji  yang harus dikembangkan terait dengan Ihsan ialah semua perbuatan baik kepada Allah Swt. dan kepada sesama makhluk ciptaanNya.

Secara ringkas perilaku tersebut ialah:

1. Melakukan ibadah ritual (salat, zikir, dan sebagainya) dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan;

2. Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua), dengan mengikuti semua keinginannya jika memungkinkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan Allah Swt.;

3. Menjalin hubungan baik dengan kerabat;

4. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin;

5. Berbuat baik kepada tetangga;

6. Berbuat baik kepada teman sejawat;

7. Berbuat baik kepada tamu dengan memberikan jamuan dan penginapan sebatas kemampuan;

8. Berbuat baik kepada karyawan/pembantu dengan membayarkan upah sesuai perjanjian;

9. Membalas semua kebaikan dengan yang lebih baik;

10. Membalas kejaha tan dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan serupa;

11. Berlaku baik kepada binatang, dengan memelihara atau memperlakukannya dengan baik. Jika  menyembelih ataupun membunuh, lakukan dengan adab yang baik dan tidak ada unsur penganiayaan;

12. Menjaga kelestarian lingkungan, baik daratan maupun lautan dan tidak melakukan tindakan yang merusak. 

TULISANNN

iklan tengah