Teori Tata Surya: Planetesimal, Kant, Awan Debu, Pasang Surut dan Gambarnya

Tata Surya terdiri dari planet, satelit, planet kerdil, meteoroid, planetoid/asteroid, komet, dan Matahari sebagai bintang sekaligus sebagai pusatnya. Delapan planet berturut dari yang paling dekat Matahari adalah Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Mereka mengedari Matahari pada lintasan masing-masing. Kecuali Merkurius (inklinasi/kemiringan bidang orbit 7o),

lintasan planet lainnya praktis berhimpit dengan bidang ekliptika (sebut sebidang orbit). Arah edar atau revolusi semua planet sama, demikian pula arah rotasinya (kecuali Venus dan Uranus). Hal ini tentu saja membuat timbulnya dugaan bahwa kondisi fisik dan dinamika ini sangat erat kaitannya dengan proses awal terbentuknya Tata Surya, demikian pula baik dari segi penyelisikan wujud (padat, gas, cair), unsur kimia, distribusi massa, temperatur, distribusi energi (atau khususnya momentum sudut; Ref.: wikipedia –  angular momentum, saran untuk para guru fisika dan siswa SMA peserta olimpiade bidang Fisika dan Astronomi), dll.

Sebagian besar massa Tata Surya (± 95%) terkumpul di Matahari. Oleh karena itu, pergerakan planet dan anggota Tata Surya lainnya berada di bawah pengaruh gaya tarik gravitasi Matahari yang besar. Atau dari sisi lain, proses kelahiran Tata Surya sangat berkaitan erat dengan pembentukan Matahari sebagai sebuah bintang yang sekaligus menjadi kepala Tata Surya, dan tidak lupa bahwa inipun terkait dengan bagaimana dinamika pergerakan seluruh anggotanya (salah satunya gerak Keplerian, yaitu semakin dekat ke Matahari, maka kecepatan edar planet semakin tinggi). Masalah rotasi dan revolusi ini terkait momentum sudut mungkin secara tidak sadar telah kita lihat saat menyaksikan penari balet di lantai es (figure skater) yang berputar di tempat; lihatlah posisi tangannya – mengembang atau dikuncupkan secara tegak di atas kepala – bagaimana kecepatan putarannya untuk tiap posisi?

Selama ini bidang kosmogoni berusaha menelaah terbentuknya tata bintang, namun lambat laun mengarah pada penelitian terbentuknya Tata Surya. Terdapat beberapa tokoh yang menonjol, yang teori ataupun hipotesisnya terkadang menimbulkan pertentangan dalam landas acu dan analisisnya. Namun, pada akhirnya banyak yang saling menunjang satu sama lain.

Teori atau hipotesis kosmogoni modern (setelah melewati era konsep heliosentris Copernicus – 1543, penemuan teleskop Galileo – 1609, dan teori gravitasi Newton – 1687) berkembang dari waktu ke waktu hingga kini. Beberapa teori memang berpangkal pada anggapan dasar yang sama, sedang yang lainnya harus diakui mempunyai titik tolak yang sangat berbeda. Di sini akan serba sedikit diulas lebih pada sejarah penelitian tentang pembentukan Tata Surya.



Vortex Model

Teori ataupun hipotesis kosmogoni modern yang pertama sebenarnya telah diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli Matematika Perancis Renè Descartes pada tahun 1642-4, di mana justru nantinya argumennya dapat dijelaskan melalui teori gravitasi Newton. Dinyatakan bahwa Tata Surya berasal dari awan partikel yang berputar mirip pusaran air dengan orbit mendekati lingkaran (vortices of swirling particles). Cikal bakal Matahari berada di pusat dan calon planet berada pada pusaran utama (piringan cakram materi pembentuknya), sedangkan satelit ada pada pusaran tambahan di sekitar pusaran calon planet. Adapun penjelasan tentang bagaimana mekanisme partikel awal saling berkumpul membentuk cikal bakal Tata Surya tidak diurai jelas. Pada analisis inilah, pada masa kemudian dijabarkan melalui teori gravitasi. Adapun pusaran materi yang akhirnya mendorong terbentuknya planet atau satelit pada masa kemudian diselisik melalui terbentuknya gerak turbulensi. Bila kita perhatikan aliran air di sungai yang terhalang bebatuan, sering didapati adanya pusaran-pusaran. Kira-kira seperti inilah gerak turbulensi.

Pada perkembangan berikutnya, awan partikel cikal bakal Tata Surya lambat laun digantikan dengan adanya nebula (materi antar bintang) yang semakin banyak ditemukan di segenap pelosok alam semesta (walau awalnya tidak terbedakan, apakah yang dijumpai memang benar nebula atau benda langit lain semisal galaksi, yang baru mulai terkuak ketika disadari bahwa Nebula Andromeda ternyata adalah galaksi besar tetangga terdekat galaksi kita Bima Sakti).



Hipotesis Nebula

Pada tahun 1734 muncul pertama kali gagasan asal muasal Tata Surya dari hadirnya nebula oleh astronom Swedia, Emanuel Swedenborg (1688 – 1772). Ide ini disambut oleh Immanuel Kant (1724 – 1804) dari Jerman tahun 1755 melalui bukunya Allgemeine Naturgeschichte und Theorie des Himmels (pen.: Sejarah Alam Universal dan Teori tentang Langit) dan dilengkapi secara terpisah oleh Marquis Pierre Simon de Laplace (1749 – 1827) dari Perancis tahun 1796 dalam bukunya Exposition du systeme du monde (pen.: Peragaan Langit). Teori mereka dikenal sebagai Hipotesis Nebula. Sebutan lainnya Teori Kant–Laplace atau Teori Kabut.

Teori ini menyebutkan bahwa Tata Surya berasal dari proses kondensasi (sederhananya: menggumpal) kabut materi (protosolar nebula) berwujud materi campuran gas dan debu berukuran jauh lebih besar dari ukuran Tata Surya. Materi seperti ini sekarang sangat banyak ditemui di alam semesta. Lambat laun materi ini berputar berotasi dan ini tidak lepas dari interaksi ataupun dampak adanya gaya gravitasi antar materi yang ada. Adonan Tata Surya ini akhirnya mengerut yang berdampak rotasinya semakin cepat yang membuatnya menjadi memipih layaknya bentuk cakram (layaknya adonan martabak telur, diputar-putar akhirnya memipih).

Massa materi terkumpul atau terkonsentrasi di pusat. Akibat putaran, maka pusat yang makin padat akan semakin panas. Terbentuklah protostar (protobintang atau janin bintang). Proses ini disebut kondensasi utama (penggumpalan utama). Sementara itu, di sayap cakram pun terjadi proses kondensasi berikutnya dalam rupa cincin-cincin materi membentuk protoplanet, berlanjut hingga terbentuknya protosatelit. Kadang bila nebulanya bermassa sangat besar, akan terjadi tahapan kondensasi yang berulang dan ini disebut proses fragmentasi.

Teori ini secara dinamika ternyata masih banyak kendala, khususnya tentang kaitan antara cepatnya gerak edar planet dengan lambatnya rotasi Matahari. Selain itu, mekanisme pada proses pembentukan cincin-cincin materi pada awal penggumpalan pun masih belum dapat dijelaskan. Keberatan ini datang utamanya dari James Clerk Maxwell. Adapun Sir David Brewster (1781 – 1868, Inggris) menyatakan, apabila Bumi terbentuk dari pusaran utama bentukan Matahari sedemikian Bumi punya atmosfer dan banyak terdapat air, maka seharusnya Bulan pun demikian (Kasus ini yang kini menjadi alternatif penelitian asal muasal terbentuknya Bulan, yaitu dalam analisis hipotesis tangkapan – capture model. Bulan tidak terbentuk bersamaan dengan Bumi dan tidak juga melalui proses pelepasan materi Bumi.)




Gambar 1

Ilustrasi berdasar hasil teleskop inframerah Spitzer ketika berhasil mendeteksi kelahiran bintang. Kasus seperti ini banyak dijumpai sekaligus mengokohkan teori pembentukan Tata Surya (atau tata bintang secara umum) yang berawal dari keberadaan Materi Antar Bintang yang berpusar, kemudian membentuk protobintang dan bila memenuhi syarat akan muncul pula protoplanet. Credit: NASA/JPL-Caltech



Tabrakan dengan Komet

Menyimak vortex model dan hipotesis nebula, sebenarnya secara garis besar beranjak dari landasan dan mekanisme yang mirip. Penelitian ini terus berlanjut dan bersamaan muncul gagasan pada tahun 1749 yang sama sekali baru dan berbeda dalam landas acunya dari Georges-Louis Leclerc Comte de Buffon, ahli Matematika Perancis. Planet, satelit, atau benda kecil lainnya terbentuk dari puing-puing atau reruntuhan tumbukan sebuah komet besar dengan Matahari. Yang menjadi pertanyaan pada penelitian selanjutnya adalah seberapa besar ukuran komet, karena saat itu mulai diketahui bahwa ukuran Matahari luar biasa besar dan komet teramat sangat kecil (beberapa puluh km saja). Teori ini tahun 1796 telah diruntuhkan oleh Laplace melalui permodelan Matematika dan Fisika. Sejak saat itu hingga kini telah menjadi sekedar catatan sejarah ilmu pengetahuan saja dan sudah ditinggalkan. Namun demikian, bahwa terjadinya penggumpalan dari remah-remah akibat tumbukan sebenarnya dipakai juga pada pendapat yang muncul kemudian, yaitu hipotesis planetesimal. Lebih lanjut kalau ditelaah, pada sebagian proses pun sejalan dengan vortex model dan hipotesis nebula. Bagaimana pun materi tadi harus menggumpal atau berakumulasi membentuk sesuatu (proses akresi) karena adanya gaya tarik menarik (gaya gravitasi) yang kala itu telah dikembangkan oleh Newton.



Perkembangan pada Abad 20

Sejak masuk abad 20, semakin beragam landasan penelitian dalam menelusur bagaimana bintang seperti Matahari dapat hadir di jagad semesta. Bukan saja awal terbentuknya, bahkan hingga bagaimana kematiannya. Penelusuran fenomena ini masuk dalam ranah penelitian evolusi bintang yang salah satunya adalah evolusi awal terbentuknya Matahari. Pada era sekarang, beragam keilmuan terlibat di dalam kancah ini, bahkan keilmuan Biologi dan Kimia pun menjadi sangat lumrah dalam analisisnya.



Hipotesis Planetesimal

Astronom Amerika Serikat Forest Ray Moulton (1900) menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara hipotesis nebula dengan hasil observasi berbasis penelitian momentum sudut  benda yang berpusar. Pada tahun 1904-5 bersama pakar geologi yang juga dari negaranya, Thomas Chrowder Chamberlain menawarkan ide baru, yaitu hipotesis planetesimal. Pengamatannya terhadap bentuk nebula spiral makin menguatkan pandangannya. Namun, nyatanya nebula ini bukanlah nebula. Diteliti oleh astronom Amerika Serikat Harold Shapley (1885 – 1972, yang menyimpulkan bentuk galaksi kita adalah spiral) dan Heber Doust Curtis (1872 – 1942, Amerika Serikat) bahwa nebula yang dilihat ternyata sebuah galaksi spiral. Inipun butuh waktu observasi dan ragam perhitungan hingga 16 tahun kemudian. Secara umum bahwa ide dasar hipotesisnya memunculkan gagasan hipotesis pasang surut yang muncul kemudian.



Teori Pasang Surut

Teori ini (Tidal Theory) dalam telaah pembentukan Tata Surya dikemukakan oleh astronom Inggris James Hopwood Jeans (1917, tidal/near-collision hypothesis) yang menyatakan bahwa Tata Surya diperkirakan terbentuk sebagai akibat melintasnya sebuah bintang dekat Matahari. Sebagian materi Matahari tersedot dan terlempar ke luar kemudian membentuk planet-planet. Teori ini terkendala dengan banyaknya kekurangan dalam analisis mekanikanya khususnya tentang lagi-lagi masalah kekekalan momentum sudut setelah diteliti tahun 1929 oleh Sir Harold Jeffreys seorang pakar Matematika, Statistik, Geofisika, dan sekaligus seorang astronom dari Inggris. Juga oleh Henry Norris Russell, astronom Amerika Serikat yang juga terkenal sebagai pakar teori evolusi bintang, khususnya diagram evolusinya yang terkenal – Hertzsprung-Russell Diagram. Lyman Spitzer (namanya diabadikan pada teleskop angkasa berbasis inframerah, “saudara” dari teleskop angkasa Hubble yang berbasis visual) pun menolaknya, dengan alasan apabila ada materi Matahari terlepas, maka materi akan terhambur – bukan terkondensasi atau menggumpal. Jadi tidak mungkin terbentuk planet. Kendati demikian, gagasan adanya proses pembentukan planet melalui mekanisme planetesimal accretion dipertahankan hingga kini (dalam arti, dalam kondisi khusus bahwa mekanisme ini dapat terjadi. Namun, tidak pada Tata Surya).



Teori Bintang Ganda

Pada tahun 1937 – 1941, Ray Lyttleton menyimpulkan bahwa Matahari awalnya merupakan sistem bintang ganda (berdua atau pasangan bintang). Pasangan Matahari mengalami tabrakan dengan bintang lain. Sisa ledakannya membentuk planet. Alternatif berikutnya adalah sistem bintang bertiga dan dua bintang teman Matahari bertumbukan yang akhirnya menjadi planet-planet. Hal ini mirip dengan Teori Bintang Ganda yang dikemukakan Russel 2 tahun sebelumnya (1935) yang menyatakan bahwa Matahari awalnya merupakan bintang kembar, salah satu komponennya meledak dan hancur. Sisa-sisa materi ledakan tersebut tidak terlontar jauh akibat tarikan Matahari. Sisa materi inilah yang kembali bergumpal membentuk planet dan satelit. Hal ini menjadi sulit ketika kita harus membahas komposisi jumlah massa Matahari dibandingkan dengan jumlah massa seluruh planet dan satelit.



Teori Awan Antar Bintang

Dalam pendapat Interstellar Cloud Theory yang ditawarkan pada tahun 1943 oleh astronom Soviet, Otto Schmidt, dinyatakan bahwa Matahari melewati daerah awan materi yang padat. Melalui proses penarikan materi akhirnya terbentuk cakram materi di sekitar Matahari, berpusar (seperti teori sebelumnya), kemudian terbentuklah planet. Banyak astronom Soviet yang bergabung untuk fokus pada teori ini, bahkan Lyttleton pun berkenan turut memodifikasinya berbasis mekanisme penggumpalan awan materi (mirip planetesimal). Kombinasi ini pada akhirnya menyangkut ragam teori, baik pasang surut, pasangan bintang (sebut pada kasus di sini adalah adanya awan materi), proses akresi massa, planetesimal, dll. Demikian pula pengembangannya oleh Bondi dan Fred Hoyle sejak tahun 1944.



Hipotesis Ledakan Nova/Supernova

Fred Hoyle (1915 – 2001), astrofisikawan dan kosmolog Inggris yang terkenal dengan teori steady state dalam pembentukan Jagad Raya, pada tahun 1944 mengemukakan teori mirip teori bintang ganda, namun lebih fokus dan berlandas acu pada mekanisme ledakannya. Awalnya Matahari merupakan sistem bintang ganda, bintang pasangan Matahari meledak sebagai supernova. Ledakan tersebut cukup kuat untuk melontarkan sebagian besar massanya ke luar sistem Tata Surya, meninggalkan sisanya yang sedikit dan hanya cukup untuk membentuk planet-planet dan satelit (mempertimbangkan kendala bintang gandanya Lyttleton). Permodelan mekanisme ledakan inilah yang belum tuntas sedemikian komposisi ataupun distribusi materinya belum sesuai dengan kondisi sekarang.

Teori yang sempat muncul di atas hingga kini sulit dibuktikan baik secara analisis teori maupun secara pengamatan. Namun, detail perhitungan kasus per kasus masih tetap dipertahankan. Pada akhirnya mulai tahun 1944, berdasar kehadiran materi antar bintang dengan segala jenis sifat dan kandungannya, serta gerak acak (turbulensi) yang dimiliki materi tersebut – teori Kant-Laplace disempurnakan oleh Carl Friedrich von Weisszacker, seorang filsuf dan ahli Fisika Jerman. Gagasannya sebenarnya juga merupakan pengembangan gagasan Descartes (Vortex Model). Landasannya adalah masalah turbulensi pada materi antar bintangnya. Teorinya disempurnakan kembali tahun 1948 oleh Dirk Ter Haar, ahli fisika Belanda. Namun, bagaimana kala waktu terbentuknya planet masih belum sesuai hasil penelitian bidang ke-planet-an. Hasilnya, kala waktu terbentuknya planet terlalu singkat, beberapa juta tahun. Sementara itu, hasil telaah usia batuan (Bumi) mencapai orde milyard tahun (juga teori yang ada sekarang, termasuk usia Bulan).



Standard Masa Kini

Dari hasil penelitian yang dikombinasikan dengan data pengamatan, pada akhirnya teori kabut ataupun lainnya diracik ulang dan dikembangkan Gerard Peter Kuiper (1905 – 1973, astronom Amerika Serikat kelahiran Belanda, yang juga mendeteksi pertama kali adanya atmosfer di Titan, satelitnya Saturnus) sejak 1944 hingga 1950. Berawal dari hadirnya materi purba atau materi antar bintang dan merupakan teori yang paling memenuhi syarat (kala itu) karena dapat menjelaskan lahirnya Tata Surya kita maupun Tata Surya lain setelah dibandingkan dengan data pengamatan yang salah satunya dibantu dengan ditemukannya planet-planet di luar Tata Surya. Namun, teori ini sebenarnya merupakan gabungan ragam penelitian yang menyangkut antara lain mekanisme planetesimal, adanya protoplanet, analisis pusaran, turbulensi, pertimbangan momentum sudut (dinamika Tata Surya secara keseluruhan), dll.




Gambar 2. Herbig-Haro 24 (HH 24).

“Pedang cahaya ganda” dari protobintang yang diduga kuat akan membentuk planet karena padatnya materi debu di sekitarnya. Foto diperoleh bersamaan waktunya dengan pertunjukan perdana film "Star Wars Episode VII: The Force Awakens". Mungkin dapat dikhayalkan layaknya melihat gambaran “Jedi-like cloak of dust and the double-bladed lightsaber”. Di pusat pusaran tersebut terdapat protobintang yang mengeluarkan materi panas dari kedua kutub rotasinya serta berinteraksi dengan materi gas-debu di seputarnya sedemikian tampak bercahaya. Obyek HH 24 dijumpai di daerah yang disebut Orion B molecular cloud complex, arah rasi bintang Orion berjarak kisaran 1.350 tahun cahaya. Obyek ini akan menjadi target teleskop angkasa James Webb. Credit: NASA and ESA; Acknowledgment: NASA, ESA, the Hubble Heritage (STScI/AURA)/Hubble-Europe (ESA) Collaboration, D. Padgett (GSFC), T. Megeath (University of Toledo), and B. Reipurth (University of Hawaii)




Gambar 3. Ilustrasi Skenario HH 24

Ketika bintang terbentuk dalam awan raksasa yang didominasi oleh molekul hidrogen dingin, sebagian materi sekitarnya runtuh akibat tarikan atau gravitasi ke arah pusat materi yang makin padat. Hal ini akan membuat awan materi berputar atau berotasi. Berputarnya materi, ibarat kita tampung air di wastafel dan biarkan tenang dulu. Apabila lubang kita buka, maka air pun akan keluar. Perhatikan, niscaya air masuk lubangnya sambil berputar. Kira-kira seperti inilah proses keruntuhan materi yang membuat awan berotasi. Ada gaya yang membuatnya seperti itu. Proses selanjutnya akibat rotasi ini adalah awan materi tersebut semakin pipih dan pusatnya semakin panas. Ingat saja adonan martabak telur yang diputar. Karena desakan kea rah pusat di bidang ekuatornya, maka yang paling memungkinkan bila ada kelebihan energi adalah dilepas melalui arah kutub. Terbentuklah pedang cahaya ganda yang tampak dalam foto. Credit: NASA and ESA; Acknowledgment: NASA, ESA, the Hubble Heritage (STScI/AURA)/Hubble-Europe (ESA) Collaboration, D. Padgett (GSFC), T. Megeath (University of Toledo), and B. Reipurth (University of Hawaii)



Secara garis besar bahwa Tata Surya berasal dari bola gas–debu purba (nebula, materi antar bintang bertemperatur rendah dan kerapatan sangat kecil, namun radiusnya luar biasa besar). Adanya gaya gravitasi antar molekul menyebabkan adanya pergerakan, lalu timbul pusaran-pusaran dan pemampatan pada tempat-tempat tertentu (secara lokal tergantung parameter yang terlibat). Saat ini berlangsung, secara bersamaan proses pemipihan pun terjadi. Gumpalan yang berkumpul di tengah menjadi cikal bakal Matahari, sedangkan gumpalan lainnya menjadi planet-planet (ingat turbulensi Weisszacker). Bentuk keseluruhan menyerupai cakram materi yang berputar yang mana 95% materi terkonsentrasi di pusat. Lainnya di sayap cakram, kondensasi membentuk calon planet/satelit. Pada saatnya nanti, janin Matahari berhasil membangkitkan reaksi nuklir di pusatnya sebagai akibat dari makin padat materinya, makin cepat putarannya, dan semakin panas. Tahap berikutnya, energy yang semakin besar di pusat perlahan terhambur keluar. Apabila segala kondisi terpenuhi, lahirlah Matahari sebagai bintang sejati (memancarkan energi dalam semua rentang panjang gelombang).

Tekanan radiasi dan angin Matahari (Solar Wind) membubuskan sisa gas dan debu termasuk yang menyelimuti protoplanet sedemikian tinggallah teras planet yang telanjang. Dalam kasus Tata Surya, terbentuklah planet kebumian (terrestrial planets, inner planets) yang atmosfernya tipis, berukuran kecil dan padat. Untuk protoplanet yang jauh dari Matahari, materi selubung ini tidak semua terbubuskan. Terbentuklah planet seperti planet gas/es raksasa (Jovian Planets, outer planets). Akhirnya radiasi Matahari ini mengusir sisa materi lainnya ke tepian nan jauh menjadi cikal bakal materi Sabuk Kuiper, materi antar planet (cikal bakal meteor misalnya), dan materi Awan Oort yang kesemuanya terkait hadirnya komet dan meteor. Usia Tata Surya diduga kisaran 4,5 milyard tahun (Matahari kisaran 5 milyard tahun). Istilahnya, anggota Tata Surya selain Matahari baru terbentuk setelah ratusan juta tahun lahirnya Matahari sebagai bintang (Ingat kendala yang dialami Weisszacker dan Dirk Ter Haar).

Teori Kabut yang dikembangkan sejak Descartes, Kant-Laplace, Weisszacker, hingga Kuiper pada saat sekarang sudah dapat untuk diperiksa ulang tatkala para astronom berhasil menemukan banyak nebula (materi antar bintang), janin bintang (protostar), hingga hadirnya planet di nun jauh di sistem bintang selain Matahari di segenap pelosok Jagad Raya melalui baik teleskop landas Bumi hingga teleskop maupun wahana antariksa.

Salah satu penemuan awal hadirnya cikal bakal Tata Surya di luar sana dalam ujud cakram materi yang berpusar adalah obyek langit bernama Beta Pictoris (lihat gambar 4). Lokasinya di arah rasi bintang Pictor, berjarak kisaran 63 tahun cahaya. Pertama kali dideteksi berbasis satelit inframerah (IRAS) pada tahun 1983. Diketahui temperatur di daerah piringan gas dan debu kisaran 100 K dan berjejari 600 satuan astronomi (1 au = 150 juta km). Gambaran piringan berhasil dicitrakan lebih detail oleh Richard Terrile dan Bradford Smith dengan teleskop landas Bumi, yaitu teleskop berdiameter 2,5 m yang berlokasi di observatorium Las Campanas. Saat itu diketahui bahwa bintang ini tergolong bintang deret utama seperti Matahari (kelas spektrum: A3V) dengan prakiraan usia mencapai 20 juta tahun (bandingkan Matahari kisaran 5 milyard tahun). Secara kasat mata bintangnya termasuk cukup terang dengan magnitudo visual 3,85 (batas umum penglihatan kita umumnya adalah magnitudo 6 dan bila angkanya makin kecil, maka bendanya makin terang). Hal ini lebih terdeteksi rinci dengan bantuan bidikan teleskop angkasa Hubble.




 Gambar 4. Beta Pictoris

Hasil bidikan teleskop angkasa Hubble. Beta Pictoris berjarak kisaran 63 tahun cahaya di arah rasi bintang Pictor (Easel/Kuda-kuda penahan papan tulis). Daerah piringan materi yang diduga akan membentuk planet (warna biru terang) lokasinya melingkupi jarak yang setara dengan jarak Matahari ke planet Saturnus. Credit: NASA, ESA, and D. Apai and G. Schneider (University of Arizona)



Perkembangan Penelitian

Seperti telah dibahas, baik pendapat Descartes, Kant, hingga Kuiper pada dasarnya mirip namun teori Kuiper dianggap paling lengkap. Penemuan lebih dari 1.500 extrasolar planet pun dapat menjadi ujian bagi kesahihan teori Kuiper. Namun demikian, saat sekarang terdapat pengelompokan pendapat yang masih terus dikembangkan, antara lain:

Teori Proto–Planet (McCrea/1988 – masih dikembangkan hingga sekarang karena belum dapat menjawab dinamika Tata Surya secara global);
Teori Laplace Modern (Cook/1977 dan Prentice/1989, prediksi adanya satelit-satelit Neptunus terbukti benar, bahkan sesuai rumusan Titius-Bode yang digulirkan tahun 1772 dan juga termasuk dalam hal kelimpahan unsur di Tata Surya). Pada tahun 1978, astronom A. J. R. Prentice menghidupkan kembali model nebula gagasan Laplace. Besarnya momentum sudut yang selama ini dipermasalahkan, diminimalisir dengan memasukkan materi debu yang memperlambat rotasi pusat pusaran. Jadi, masalah rotasi Matahari yang cenderung lambat dapat dijawab. Termasuk pelontaran massanya (hal ini diamati pada bintang-bintang muda);
Solar Nebula Theory (mirip planetesimal, namun telaahnya berdasarkan analisis unsur meteorit; juga prediksi bahwa hadirnya extra solar planet adalah sesuatu yang sangat wajar); dan inipun sejalan dengan aplikasi teori Laplace modern di atas; Dikemukakan oleh astronom Soviet, Victor Safronov, yang lalu dilanjutkan oleh George Wetherill. Kombinasi teori Laplace di atas dan teori ini diperkuat dengan hasil temuan observasi bintang muda Beta Pictoris juga T-Tauri (ditemukan pertama kali oleh astronom Inggris, John Russell Hind bulan Oktober 1852 di arah rasi bintang Taurus, di gugus Hyades pada wajah si banteng Taurus. Kini bintang berkarakter sejenis dikelompokkan sebagai bintang jenis T-Tauri, yaitu bintang variabel yang kecerlangannya berubah-ubah). Selain itu, diprediksi secara matematis bahwa bintang muda akan memiliki kelebihan radiasi inframerah jika mereka dilingkupi oleh cakram materi bertemperatur lebih rendah (dingin). Faktanya, dengan berbasis observasi dengan panjang gelombang inframerah (pertama adalah Infrared Astronomical Satellite, 1983) ditemukan banyak bintang muda atau bahkan protobintang yang bersifat demikian.
Capture Theory (M. M. Woolfson, sejak 1964) yang berdasarkan telaah dampak tidal mechanism, gravitational instability, collision yang dialami Matahari oleh bintang tetangganya.  Landasannya adalah hadirnya materi antar bintang yang mengalami shockwave atau gelombang kejut dari supernova atau ledakan dahsyat bintang yang berada dekat dengannya.


Sejarah penelitian tentang bagaimana asal muasal hadirnya rumah kita begitu panjang dan beragam. Sebut saja setelah era Kuiper masih terdapat teori yang dikembangkan oleh Fred Lawrence Whipple (1906 – 2004, astronom Amerika Serikat yang terkenal dengan istilah dirty ice ball untuk teori tentang komet), ada lagi Urey’s Model yang berbasis analisis kimia, Alaistar G.W. Cameron (Hipotesis Cameron) yang mengacu pada ketidaksetimbangan dalam Matahari lalu sempat meletup dan menghamburkan banyak materi yang cukup untuk membentuk planet (terkenal dengan teori pembentukan Bulan akibat adanya Big Splat atau Giant Impactor), juga Louis Jacot (1951 – 1981) dengan teori Solar Fission-nya, dll.

Selain itu, permasalahan momentum sudut tetap menjadi salah satu fokusnya, khususnya apabila Matahari terbentuk dari nebula yang berkontraksi (mengerut-memadat). Andai riwayat awalnya seperti itu, menimbang rotasi Matahari yang relatif lambat, maka seharusnya kecepatan edar planet tidak secepat yang kini diketahui. Atau, kendati pun massa Matahari kisaran 95% massa total Tata Surya, nyatanya nilai momentum sudutnya hanya kisaran 1% nilai total. Artinya, seharusnya Matahari berotasi jauh lebih cepat. Misteri ini masih belum terjawab dengan tuntas.




Gambar 5. Protobintang di Orion

Di daerah Nebula Orion ditemukan banyak protostar (inset) yang masih diselubungi oleh materi gas–debu sisa pembentukan bintang induk. Credit: NASA, C.R. O'Dell dan S.K. Wong (Rice University)/STScI. Bagan/Pemetaan lokasi protostar oleh penulis



Extrasolar Planet

Selain itu, walaupun secara garis besar teori pembentukan berbasis nebula dapat diterima, tetap masih banyak membutuhkan perbaikan. Hal ini sangat terasa ketika planet-planet nun jauh di bintang sana mulai banyak ditemukan (extra solar planet – ESP). Berawal penemuan materi antar bintang di Orion yang pertama diketahui dan disebut nebula oleh Claude Fabri dari Peiresc tahun 1659. Saat sekarang di daerah ini telah banyak dijumpai cikal bakal bintang, bahkan diduga juga akan membentuk sistem keplanetan (lihat gambar 5).

Adanya ESP yang berukuran besar (puluhan kali Jupiter) dengan jarak sangat dekat ke bintang induk pun menjadi perhatian karena periode revolusinya sangat cepat. Bagaimana keberlanjutan planet seperti ini masih menjadi pertanyaan. Sementara itu, kita hanya berbekal pengetahuan apa yang ada di Tata Surya kita, satu dan hanya satu-satunya contoh pembanding. Belum lagi, ESP yang ditemukan berinduk pada bintang dengan jenis beragam. ESP tidak selalu memiliki bintang induk seperti Matahari. Bahkan pada tahun 1992, Aleksander Wolszczan (astronom Polandia) and Dale Frail (astronom kelahiran Kanada) menemukan 2 planet mengedari sebuah pulsar milidetik (bintang neutron sisa ledakan supernova yang berotasi sangat cepat) PSR 1257+12. Jaraknya kisaran 1.000 tahun cahaya.




 Gambar 6. Exoplanet

Julukannya "The Behemoth" (secara harfiah makhluk raksasa). Satu peragaan langit dari sebuah planet bernama GJ 436b yang diselimuti awan hidrogen yang ukurannya nyaris 5 kali bintang induknya yang berupa bintang katai merah GJ 436. Awan ini terbentuk akibat pemanasan dari bintang induk. Karena mengorbit, maka awan tadi membentuk layaknya ekor komet (comet-like). Fenomena ini adalah yang pertama diketahui. ESP yang juga dijuluki “Warm Neptune” ini pertama dideteksi oleh wahana Convection Rotation and Planetary Transits (CoRoT) dan teleskop angkasa Kepler buatan NASA. Jarak sistem ini kisaran 30 tahun cahaya di arah rasi bintang Leo. Apabila planet tersebut terus menerus membubuskan partikel ringannya, maka dapat terjadi planet lambat laun memadat. Namun, tentu saja tergantung temperaturnya. Apakah planet kebumian dulu juga seperti ini? Science Credit: NASA, ESA, and D. Ehrenreich (Observatory of the University of Geneva). Illustration Credit: NASA, ESA, and G. Bacon (STScI)



Sementara itu, wahana antariksa Kepler telah menemukan kisaran 1.284 ESP di mana bintang induknya memiliki temperatur antara 3000 – 28.000 0C (Matahari 6.000 0C), massa antara 0,5 hingga 2,2 kali Matahari, dan radiusnya antara 0,5 sampai 2 kali Matahari. Massa planet beragam hingga 28 kali massa Jupiter seperti planet yang disebut Kepler 47c. Uniknya, periode edarnya sebanding dengan periode edar Bumi, yaitu 303 hari dan demikian pula jarak ke bintang induknya yang mirip jarak Bumi-Matahari, yaitu kisaran 0,99 au. Namun, inklinasi orbitnya terasa aneh, yaitu 89,80. Kini diketahui ada 1.500-an planet di luar Tata Surya dan puluhan bintang induk memiliki 2 atau lebih planet. Kandidat lain sekitar 1.900-an buah yang sedang menunggu konfirmasi data fisik dan orbitnya.

Pada jarak kisaran 340 tahun cahaya di arah rasi bintang Centaurus, ditemukan ESP yang disebut HD 131399Ab. Usianya diduga masih sangat muda sekitar 16 juta tahun (termuda dalam rekor penemuan). Temperaturnya tinggi, 580 0C dengan massa kira-kira 4 kali Jupiter. Namun, bukan ini keunikannya. Planet ini dijumpai pada sistem bintang bertiga. Artinya, kita akan melihat 3 buah Matahari apabila Bumi seperti itu.

Berharap ragam penemuan dan kemajuan dalam bidang ini makin mengerucut sedemikian pemahaman terhadap salah satu fenomena di alam semesta dapat menambah wawasan kita sebagai penghuni planet biru Bumi, sesedikit apapun pengetahuan tersebut bertambah, bahkan sezarah pun sudah merupakan karunia dalam memahami kesejatian kita sebagai salah satu komponen Tata Surya. Salam Astronomi. –WS–



Daftar Pustaka

Darling, D., 2004, The Universal Book of Astronomy, John Wiley & Son, New Jersey, p.131, 239, 254-5, 277-9, 372-5, 390-1, 394, 407, 446-7, 466-7, 480-1, 488, 521

Pasachoff, J. M., 1978, Astronomy: from the Earth to the Universe, Saunders Co., Philadelphia

Sawitar, W., 2014, Menjelajahi Jagad Raya, Bahan Ajar Penyuluhan ke Sekolah tingkat SMP dan SMA, Planetarium Jakarta

Sutantyo, W., 1984, Astrofisika : Mengenal Bintang, Penerbit ITB, Bandung,

Woolfson, M.M., 2000, The Origin and Evolution of the Solar System, Institute of Physics Pub., Bristol, p.3-45, 111-155, 316-317



Situs

NASA (Solar System Exploration)
Wikipedia the free encyclopedia
Hubble Space Telescope (HST)/Space Telescope Science Institute (STScI)
NASA (Kepler Discoveries)
The Extrasolar Planets Encyclopaedia

iklan tengah