Materi CPNS Tentang Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan berarti kondisi bangsa Indonesia dalam keadaan damai dan tanpa gangguan.

Justru mulai saat itu muncul berbagai perlawanan terhadap pihak lain yang mencoba mengambil alih kekuasaan dan kemerdekaan bangsa indonesia.

Untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah didapat, rakyat indonesia harus menghadapi pertempuran dengan pihak asing.

Berbagai peristiwa pertempuran antara rakyat indonesia melawan pasukan Belanda dan Sekutu pun terjadi di berbagai daerah.

Pada tanggal 31 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia.

Gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke seluruh wilayah indonesia khususnya kota Surabaya.

Insiden ini bermula Pada Tanggal 18 September 1945 ketika Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bersama-sama dengan rombongan Intercross (Palang Merah Internasional) mendarat di Surabaya.

Rombongan Sekutu tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato sedangkan rombongan Intercross ditempatkan di Gedung Setan.

Kemudian Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.

Para pemuda Surabaya keesokan harinya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menilai Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Dengan gagah berani, arek-arek Surabaya menyerbu Hotel Yamato untuk menurunkan bendera Belanda.

Setelah sampai di bawah, bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) dirobek yang warna birunya kemudian dikibarkan kembali sebagai bendera Indonesia (Merah-Putih).

Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 19 September 1945, untuk mengenang peristiwa itu, kini di depan Hotel Yamato di bangun monumen perjuangan.

Dalam peristiwa tersebut Mr. W.V.Ch. Ploegman tewas tercekik oleh Sidik kemudian Sudirman dan Hariyono berhasil masuk lobi hotel yang kemudian naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Pada bulan Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke Makassar di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling.

Pasukan Westerling bertindak kejam.

Pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling banyak melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Makassar.

Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Akibat banyaknya pembantaian yang dilakukan Westerling, terjadi perlawanan rakyat Makassar kepada Belanda.

Perlawanan di pimpin oleh Wolter Monginsidi.

Akan tetapi, Wolter Monginsidi berhasil ditangkap Belanda dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
Hingga bulan Oktober 1945, pasukan Jepang masih tetap berada di Kota Semarang.

Mereka juga masih melancarkan serangan terhadap beberapa kubu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang bertujuan untuk membebaskan orang-orang Jepang yang masih dalam penahanan.

Sementara itu, tersiar kabar bahwa Jepang meracuni sumber air minum di wilayah Candi Semarang.

Oleh sebab itu, Dr. Karyadi memeriksa sumber air yang diracuni oleh Jepang tersebut.

Pada saat itu, ia menjabat kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Pusara) di Semarang.

Namun naas, ia kemudian dibunuh tentara Jepang.

Terbunuhnya dr. Kariadi ini menyulut kemarahan pemuda.

Akibatnya, terjadi pertempuran di Simpang Lima, Tugu Muda dan sekitarnya.

Kurang lebih 2000 pasukan Jepang yang dikomandoi oleh Mayor Kido berhadapan dengan TKR dan para pemuda.

Pertempuran ini berlangsung selama 5 hari, 15 - 19 Oktober 1945 dan dihentikan setelah adanya gencatan senjata.

Namun Peristiwa ini memakan banyak korban dari kedua belah pihak.

Dr. Karyadi yang menjadi salah satu korban namanya kemudian diabadikan menjadi nama salah satu Rumah sakit di kota Semarang.

Untuk memperingati peristiwa tersebut maka pemerintah membangun sebuah tugu yang diberi nama Tugu Muda.
Pada Tanggal 25 Oktober 1945, dibawah pimpinan Brigadir Jendral Mallaby Brigade 49 Inggris mendarat di Surabaya.

Kedatangan Mallaby disambut oleh R.M.T.A. Suryo (Gubernur Jawa Timur).

Kala itu mereka bertugas untuk melucuti serdadu Jepang serta membebaskan para interniran

Sebenarnya saat mendarat di Surabaya inggris terlebih dahulu telah membuat kesepakatan dengan R.M.T.A. Suryo (Gubernur Jawa Timur) sehingga para tentara inggris di ijinkan memasuki Surabaya.

Berikut isi kesepakatannya:

  1. Inggris berjanji bahwa tidak terdapat angkatan perang Belanda di antara tentara Inggris.
  2. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin ketenteraman dan keamanan.
  3. Akan segera dibentuk Biro Kontak (Contact Bureau) agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya.
  4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.
Namun ternyata pada pelaksanaannya, Inggris tidak menepati janjinya dan Inggris justru berniat menguasai Surabaya.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 pasukan Inggris membuat kegaduhan di surabaya mereka menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata hasil rampasan dari Jepang.

Dengan kejadian tersebut maka pihak Indonesia menginstruksikan kepada semua rakyat surabaya untuk siap siaga penuh menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Akhirnya kontak senjata pecah antara pemuda Surabaya dan tentara Inggris.

Semua pemuda di seluruh kota menyerang Inggris dengan segala kemampuan.

Pada Tanggal 28-31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya.

Ketika terdesak, tentara Sekutu mengusulkan perdamaian.

Tentara Sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk menyelamatkan pasukan Inggris agar tidak mengalami kekalahan total, Kemudian Presiden Soekarno serta Jenderal Mallaby melakukan perundingan.

Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan, yaitu keberadaan RI diakui oleh Inggris dan penghentian kontak senjata.

Namun Gencatan senjata tidak dihormati Sekutu.

Dalam sebuah insiden yang belum pernah terungkap secara jelas, Brigjen Mallaby ditemukan meninggal.

Kemudian Letnan Jendral Christison Panglima Sekutu di Indonesia, meminta kepada pemerintah Indonesia menyerahkan orang-orang yang dicurigai membunuh Jendral Mallaby.

Permintaan tersebut diikuti ultimatum dari Mayor Jendral Mansergh.

Isi ultimatum tersebut adalah: "Sekutu memerintahkan rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya.

Penyerahan paling lambat tanggal 9 November 1945 pukul 18.00 WIB.

Apabila ultimatum tersebut tidak dilaksanakan, Kota Surabaya akan diserang dari darat, laut, dan udara".

Ultimatum tersebut ditolak oleh para pemimpin dan rakyat Surabaya, kemudian Pada Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, tentara Sekutu menggempur Surabaya dari darat, laut maupun udara.

Di bawah pimpinan Gubernur Suryo dan Sutomo (Bung Tomo) rakyat Surabaya tidak mau menyerahkan sejengkal tanah pun kepada tentara Sekutu.

Dalam pertempuran yang tidak seimbang, Bung Tomo terus mengangkat semangat rakyat agar terus maju, pantang mundur.

Dengan pekik Allahu Akbar, Bung Tomo membakar semangat rakyat.

Dalam pertempuran yang berlangsung sampai awal Desember itu gugur ribuan pejuang Indonesia.

Kemudiam Pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dan NICA di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di kota Medan.

Pada awalnya kedatangan mereka disambut oleh tokoh dan masyarakat di Sumatera Utara.

Akan tetapi, tindakan tentara Sekutu menyakitkan rakyat.

Mereka membebaskan para tahanan Belanda dan dibentuk Medan Batalyon KNIL.

Pada tanggal 13 Oktober 1945, terjadi peristiwa di hotel yang ada di Jalan Bali, Medan.

Seorang oknum penghuni hotel menginjak-injak lencana merah putih.

Akibatnya, hotel itu disderang oleh para pemuda kita sehingga timbul banyak korban.

Peristiwa ini menjadi awal terjadinya Pertempuran Medan Area.

Untuk menghadapi segala kemungkinan, TKR dan brbagai badan perjuangan telah membentuk kesatuan perjuangan Kesatuan perjuangan itu adalah Barisan Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Achmad Taheer.

Ternayata bentrokkan terus meluas dan terjadi di berbagai daerah.

Perkembangan ini oleh Sekutu dipandang sudah sangat membahayakan .

Oleh karena itu, pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerahkan semua senjata kepada Sekutu.

Sudah tentu rakyat tidak begitu saja memenuhi tuntutan Sekutu.

Pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Sekutu melancarkan serangan militer besar-besaran, yang dilengkapi dengan pesawat tempur canggih.

Seluruh daerah Medan dijadikan sasaran serangan, rakyat pun melukukan perlawanan sekuat tenaga.

Sekutu berusaha mendesak para pejuang kita, bahkan, Sekutu sejak tanggal 1 Desember 1945 memasang batas-batas penudukannya.

Batas itu berupa papan yang diberi tulisan Fixed Boundaries Medan Area ( batas resmi wilayah Medan ) disudut-sudut kota.

Sekutu dan tentara NICA mengusir dan menindas orang-orang Republik yang masih berada di Kota Medan.

Bahkan, di bulan April 1946, Sekutu dan NICA berhasil mendesak beberapa pimpinan Republik keluar kota .

Gubernur, wali kota , dan Markas TRI pindah ke Pematangsiantar.

Namun para penjuang kita pantang mundur. Perlawaman dengan berbagai bentuk terus dilakukan.

Pertempuran ini diawali dengan kedatangan tentara Inggris di bawah pimpinan Brigjen Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945 untuk membebaskan tentara Sekutu.

Setelah itu mereka menuju Magelang.

Karena Sekutu diboncengi oleh NICA dan membebaskan para tawanan Belanda secara sepihak maka terjadilah perlawanan dari TKR dan para pemuda.

Pasukan Inggris akhirnya terdesak mundur ke Ambarawa.

Gerakan tentara Sekutu yang mundur ke ambarawa berhasil ditahan di desa Jambu berkat bantuan dari batalyon Polisi Istimewa di bawah pimpinan Onie Sastroatmodjo, resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, dan batalyon dari Yogyakarta.

Pada pertempuran di desa Jambu tanggal 26 November 1945, Letkol Isdiman (Komandan Resimen Banyumas) tewas sebagai pejuang bangsa.

Lalu Kolonel Soedirman (Panglima Divisi di Purwokerto) langsung naik mengambil alih pimpinan dan pada tanggal 15 Desember 1945 tentara Indonesia berhasil memukul mundur Sekutu sampai Semarang.

Karena jasanya maka pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR dan berpangkat Jendral.

Sampai sekarang setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai hari Infantri.

Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibukota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda.

Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik.

Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA)

Keadaan di Jakarta pun menjadi sulit dikendalikan dan kacau. Tentara Belanda semakin merajalela.

Ditambah lagi pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada 30 Desember 1945 menambah keadaan semakin mencekam.

Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara.

Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta, kemudian pada pukul 07.00 Preseiden dan Rombongannya tiba di Stasiun Yogyakarta kemudian ibukota Republik Indonesia pun turut pindah ke Yogyakarta.
Berita proklamasi sampai juga di Tanah Minahasa atau Manado di Sulawesi Utara.

Seperti di daerah lain, rakyat Minahasa melakukan aksi peluncutan senjata dan pengoperan kekuasaan dari tangan Jepang.

Aksi terjadi pada tanggal 22 Agustus 1945. Gerakan rakyat Minahasa ini diprakarsai oleh Dewan Minahasa yang dipimpin oleh Palengkahu.

Aksi dilakukan dengan menurunkan bendera-bendera Jepang dan mengibarkan bendera Merah Putih di kantor-kantor.

Hal itu telah membanggakan dan memberi semangat serta kegembiraan rakyat Minahasa.

Akan tetapi, pada awal September 1945, tentara Sekutu yang diwakili tentara Australia mendarat di Minahasa.

Kedatangan mereka diikuti oleh tentara NICA. NICA dengan segera melancarkan aksinya untuk menegakkan kembali kekuatannya.

Sekutu dan NICA kemudian mengeluarkan perintah larangan pengibaran bendera Merah Putih.

Rakyat tidak menghiraukan larangan tersebut.

Dengan semboyan "hidup atau mati", rakyat Minahasa tetap akan mempertahankan berkibarnya Sang Saka Merah Putih di Tanah Minahasa.

Akhirnya, bentrokkan dan pertempuran antara rakyat Minahasa melawan tentara Sekutu dan NICA tidak dapat dihindarkan.

Kemudian Rakyat Sulawesi Utara membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) untuk melakukan perlawanan terhadap NICA dan Pada tanggal 14 Februari 1946, para pejuang PPI menyerbu markas NICA di Teling.

Pejuang PPI berhasil membebaskan pimpinan PPI yang sebelumnya di tahan belanda dan menyandra komandan NICA dengan pasukannya.

Kemudian para pejuang merobek bendera Belanda (merah-putih-biru) dan merubahnya menjadi bendera Indonesia (merah-putih).

Bendera tersebut kemudian dikibarkan di markas Belanda di Teling.

Oleh sebab itu peristiwa itu dikenal dengan nama peristiwa merah putih di Minahasa (Manado).

Sejak saat itu Para pejuang berhasil mengusir NICA dari tanah Sulawesi Utara.
Pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki Kota Bandung.

Ketika itu para pejuang Bandung sedang melakukan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tentara Jepang.

Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu membacakan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan demi keamanan.

Namun para pejuang Republik Indonesia tidak memperdulikan ultimatum tersebut. Akibatnya sering terjadi insiden antara tentara Sekutu dengan  pejuang Indonesia.

Tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua.

Mereka menuntut agar semua masyarakat dan para pejuang TRI (Tentara Republik Indonesia) mengosongkan kota Bandung bagian selatan. sejak 24 Januari 1946, TKR telah berubah namanya menjadi TRI.

Demi keselamatan rakyat dan pertimbangan politik, pemerintah Republik Indonesia Pusat memerintahkan TRI dan para pejuang lainnya mundur dan mengosongkan Bandung Selatan.

Tokoh-tokoh pejuang, seperti Aruji Kartawinata, Suryadarma, dan Kolonel Abdul Harris Nasution yang menjadi Panglima TRI waktu itu segera bermusyawarah.

Mereka sepakat untuk mematuhi perintah dari Pemerintah Pusat.

Namun, mereka tidak mau menyerahkan kota Bandung bagian selatan itu secara utuh kepada musuh.

Rakyat diungsikan ke luar kota Bandung.

Sebelum meninggalkan kota Bandung Para pejuang melancarkan serangan umum ke arah markas besar Sekutu dan berhasil membumi-hanguskan kota Bandung.

Dalam waktu tujuh jam kota Bandung menjadi kota yang berkobar, setiap warga membakar rumah mereka, tidak kurang dari 200.000 rumah warga bandung dibakar dan mengungsikan diri ke bandung bagian selatan, yang berupa daratan tinggi dan pegunungan.

Pembakaran tersebut bertujuan untuk menghentikan dan mencegah tentara sekutu dan tentara NICA yang ingin memanfaatkan kota Bandung sebagai markas militer.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Maret 1946 dan terkenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.

Seperti daerah lainnya, rakyat Bali juga berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kemerdekaan dan merebut kekuasaan dari Jepang.

Untuk itu, letkol I Gusti Ngurah Rai sebagai salah seorang pimpinan di Bali pergi ke Yogyakarta untuk melakukan konsultasi ke Markas Besar TRI.

Saat Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang berada di Yogyakarta untuk berkonsultasi dengan markas tertinggi TRI mengenai pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara menghadapi Belanda,

Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946 Belanda mendaratkan kira-kira 2000 tentara di Bali.

Karena akibat perundingan Linggarjati, daerah kekuasaan de facto Republik Indonesia yang diakui hanya terdiri dari Sumatera, Madura dan Jawa. ini berarti Bali tidak diakui sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Ternyata sejak Maret 1946, Belanda sudah menduduki beberapa tempat di Bali.

Kemudian I Gusti Ngurah Rai kembali ke Bali untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Ngurah Rai mendapat bantuan dari TRI - Laut dengan pimpinan Kapten Markadi.

Dalam perjalanan menyeberangi Selat Bali telah terjadi pertempuran laut antara pasukan Ngurah Rai dengan patroli Belanda.

Pertempuran juga terjadi di Cekik dekat Gilimanuk, Bali.

Setelah berhasil melaksanakan Operasi Lintas Laut. I Gusti Ngurah Rai di Markas TRI Sunda Kecil segera memperkuat pasukannya .

I Gusti Ngurah Rai segera membentuk Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil. Beberapa tokohn ya di samping I Gusti Nguarh Rai adalah I Gusti Putu Wisnu dan Subroto Aryo Mataram.

Pada saat itu, Indonesia telah menyepakati Perundingan Linggarjati, oleh karena itu Belanda terus berusaha menduduki daerah Bali.

Kebetulan juga dalam naskah kesepakatan Perundingan Linggarjati disebutkan bahwa Belanda hanya mengakui secara de facto, wilayah RI yang terdiri atas Jawa, Sumatra dan Madura, Ngurah Rai terus berjuang untuk mengusir Belanda dari tanah Bali.

Pada tanggal 18 November 1946, tentara Ngurah Rai (dikenal Pasukan Cing Wanara) mulai menyerang Tabanan dan berhasil. Belanda segera mengerahkan kekuatannya dari Bali dan Lombok.

Melihat dua kekuatan yang tidak seimbang pasukan Ngurah Rai kemudian melakukan Perang Puputan (Pertempuran habis-habisan).

Pertempuran dimulai pada tanggal 20 November 1946 di Margarana sebelah utara Tabanan.

Dalam pertempuran tersebut Ngurah Rai gugur sebagai pejuang bangsa pada tanggal 29 November 1946,

Pasukan Sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Carmichael.

Bersama pasukan Sekutu ikut pula aparat NICA. Mereka diizinkan oleh pemerintah untuk mendiami daerah Talang Semut.

Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan peraturan itu dan akhirnya Insiden dengan pemuda meletus ketika mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata.

Tindakan Sekutu yang sangat menyinggung perasaan rakyat dengan melakukan penggeledehan rumah penduduk yang bertujuan untuk mencari senjata hasil rampasan dari pihak Jepang.

Justru mengakibatkan terjadi insiden bersenjata pada 1 Januari 1946. Saat itu tentara Sekutu dengan menggunakan pesawat dan kapal laut membombardir kota Palembang.

Namun Para pejuang terus mengadakan perlawanan dan hasil dari pertempuran ini Seperlima bagian kota Palembang hancur.

Kemudian Pada tanggal 6 Januari 1947 dicapai persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia di Palembang.

Perselisihan pandangan akibat beda penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggarjati makin memanas.

Belanda berusaha untuk menyelesaikan "masalah Indonesia" dengan cepat. Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan nota kepada pemerintah Republik Indonesia.

Nota itu berupa ultimatum yang harus dijawab dalam waktu 14 hari. Isi nota itu antara lain sebagai berikut:

  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
  2. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda.
  3. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
  4. Menyelenggarakan pemilikan bersama atas impor dan ekspor.
  5. Menyelenggarakan ketertiban dan keamanan bersama, termasuk di daerah Republik Indonesia yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).

Perdana Menteri Syahrir menolak gendarmerie bersama.

Kemudian, Sebagai pemimpin kabinet berikutnya Amir Syarifuddin kembali memberikan jawaban yang pada dasarnya sama dengan Syahrir.

Pada tanggal 15 Juli 1947, Belanda kembali mengirim nota. Belanda tetap menuntut gendarmerie bersama dan Dalam waktu 32 jam Republik Indonesia harus memberi jawaban atas nota tersebut.

Kemudian Pada tanggal 17 Juli 1947, Pemerintah Republik Indonesia memberi jawaban yang disampaikan Amir Syarifuddin lewat RRI Yogyakarta.

Jawaban itu ditolak Belanda. dan Pada tanggal 20 Juli 1947, van Mook mengumumkan bahwa pihak Belanda tidak mau berunding lagi dengan Indonesia.

Kemudian Tanggal 21 Juli 1947, Belanda menyerang wilayah Republik Indonesia. Tindakan ini melanggar Perjanjian Linggajati.

Belanda berhasil merebut sebagian Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Akibatnya wilayah kekuasaan Republik Indonesia semakin kecil. Serangan militer Belanda ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.

Peristiwa tersebut menimbulkan protes dari negara-negara tetangga dan dunia internasional.

Wakil-wakil dari India dan Australia mengusulkan kepada PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) agar mengadakan sidang untuk membicarakan masalah penyerangan Belanda ke wilayah Republik Indonesia.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan atas wilayah Republik Indonesia. Ibu kota Republik Indonesia waktu itu, Yogyakarta, diserang Belanda.

Belanda dengan seluruh kekuatan melakukan Agresi Militer II dengan menyerbu Yogyakarta. dan Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda dengan cepat.

Dalam waktu cepat pula Yogyakarta dapat dikuasai Belanda. Para pimpinan RI ditangkap Belanda.

Para pemimpin RI yang ditangkap Belanda antara lain Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Suryadarma dan Sutan Syahrir.

Namun sebelum tertangkap Sukarno sudah mengirim mandat lewat radio kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syaffiruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera.

Tujuannya adalah untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ibu kota di Bukit Tinggi.

Serbuan Belanda atau Agresi Militer II memperoleh reaksi masyarakat internasional.

Pada tanggal 7 Februari 1949, suara simpati kepada Indonesia atas terjadinya serbuan Belanda datang dari Amerika Serikat. Rasa simpati Amerika Serikat terhadap Indonesia diwujudkan dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut:

  1. Mendesak Belanda untuk membuka kembali perundingan yang jujur dengan Indonesia atas dasar persetujuan Renville.
  2. Amerika Serikat menghentikan semua bantuan kepada Belanda sampai negeri ini menghentikan permusuhannya dengan Indonesia.
  3. Mendesak pihak Belanda supaya menarik pasukannya ke belakang garis status quo Renville. Membebaskan pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditawan sejak 18 Desember 1948.

Rasa simpati dunia internasional tidak hanya datang dari Amerika Serikat, tetapi juga dari Rusia dan Cina.

Bahkan pada bulan Desember 1949 Negara-negara di Asia seperti India, Afganistan, Myanmar dan lain-lain yang segera mengadakan Konferensi di New Delhi.

Mereka mendesak agar Pemerintah RI segera dikembalikan ke Yogyakarta, dan pasukan Belanda segera ditarik mundur dari Indonesia.

Karena tekanan politik dan militer itulah akhirnya Belanda mau menerima perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya.
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta merupakan satu episode penting dalam sejarah revolusi Indonesia.

Berawal dari Agresi Militer Belanda II, Belanda berhasil menduduki Kota Yogyakarta, yang saat itu merupakan Ibukota Republik Indonesia.

Setelah kota Yogyakarta dikuasai, Belanda kemudian berusaha menguasai kota-kota sekitar Kota Yogyakarta yaitu Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, dan Bantul.

Situasi ibukota negara saat itu sangat tidak kondusif. Keadaan tersebut diperparah propaganda Belanda di dunia luar bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu telah melepas jabatannya sebagai Raja Keraton Yogyakarta mengirimkan surat kepada Letnan Jenderal Soedirman untuk meminta izin diadakannya serangan.

Jenderal Sudirman menyetujuinya dan meminta Sri Sultan HB X untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehkreise III.

Sri Sultan HB IX mengadakan pertemuan empat mata dengan Letkol Soeharto di Ndalem Prabuningratan.

Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk melancarkan Serangan Umum pada tanggal 1 Maret 1949 serta menyusun strategi serangan umum.

Selain itu, beberapa kesatuan diperintahkan untuk menyusup ke dalam kota Yogyakarta, di antaranya adalah kesatuan khusus di bawah pimpinan Kapten Widodo.

Untuk mempermudah koordinasi penyerangan, wilayah penyerangan dibagi atas 5 sektor, yaitu:
Sektor barat, di bawah pimpinan Letkol Soeharto (sampai perbatasan Malioboro).
Sektor timur, dipimpin oleh Letkol Vence Sumual,
Sektor utara, dipimpin oleh Mayor Kusno,
Sektor selatan, dipimpin oleh Mayor Sarjono,
Sektor kota, dipimpin oleh Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono,

Yang dijadikan patokan sebagai tanda mulainya serangan adalah bunyi sirene pukul 06.00 pagi yang biasa dibunyikan di kota Yogyakarta waktu itu.

Pada tanggal 1 Maret 1949, beberapa jam sebelum serangan umum berlangsung, sudah banyak gerilyawan yang mulai memasuki kota Yogyakarta.

Dan Tepat pada pukul 06.00 pagi, sirene penanda berakhirnya jam malam berbunyi dimana hal tersebut juga merupakan pertanda dimulainya serangan umum.

Kurang lebih 2.500 orang pasukan gerilya TNI di bawah pimpinan Letkol Soeharto melancarkan serangan besar-besaran di jantung Kota Yogyakarta. Pasukan TNI mengepung Kota Yogyakarta dari berbagai arah.

Dari arah utara pasukan gerilya yang dipimpin oleh Mayor Kusno, kemudian Mayor Sardjono memimpin pasukannya melancarkan serangan dari arah selatan dan Di arah barat, pasukan gerilya menggempur kota Yogyakarta dibawah pimpinan Letkol Soeharto..

Banyak pertempuran hebat terjadi di ruas-ruas jalan kota Yogyakarta. Serangan Umum 1 Maret 1949 terbukti ampuh untuk kembali merebut Yogyakarta dan mengalahkan Belanda.

Belanda merasa kaget dan sedikit persiapan dalam menangani serangan tersebut sehingga perlawanan yang dilakukan tidak mampu mengimbangan serangan TNI.

Dalam waktu singkat, Belanda berhasil didepak mundur. Pos-pos militer ditinggalkan dan Beberapa buah kendaraan lapis baja dapat direbut oleh pasukan TNI.

Pasukan TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam, sesuai dengan rencana semula, sekitar pukul 12.00.

TNI mulai mundur keluar kota untuk mengosongkan kota dan kembali menuju pangkalan gerilya seperti yang telah direncanakan sebelumnya sebelum pasukan bantuan Belanda tiba di yogyakarta.

Berita kemenangan ini segera disebarkan secara estafet lewat radio dimulai dari Playen, Gunungkidul, kemudian diteruskan ke pemancar di Bukit Tinggi, lalu diteruskan oleh pemancar militer di Myanmar kemudian ke New Delhi (India) lalu sampai pada PBB yang sedang bersidang di Washington D.C, Amerika Serikat.

Serangan Umum 1 Maret dapat meningkatkan posisi tawar Republik Indonesia serta mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa Republik Indonesia sudah lemah, Kemenangan ini juga berhasil meningkatkan moril dan semangat juang pasukan gerilya TNI di wilayah lainnya.

Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan penting pejuang Republik Indonesia yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan sabotase atau penyergapan secara diam diam, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, pasukan infantri serta komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang mengusir Hindia Belanda untuk selamanya..

Sumber
  1. http://www.markijar.com/2016/08/14-pertempuran-dalam-mempertahankan.html

Gambar
  1. http://klikbonsai.blogspot.com/2019/05/deretan-foto-suasana-pertempuran.html
  2. https://www.jawapos.com/jpg-today/19/09/2018/kenang-peristiwa-perobekan-bendera-di-hotel-yamato-risma-baca-puisi/
  3. http://fauziyahnursetiani.blogspot.com/2014/12/pertempuran-makassar-1950.html
  4. https://elshinta.com/news/188693/2019/10/14/telusuri-sumber-air-yang-diracuni-kematian-dr-kariadi-picu-pertempuran-lima-hari-semarang
  5. https://jatim.tribunnews.com/2017/11/10/hari-pahlawan-4-tempat-ini-jadi-lokasi-pertempuran-arek-arek-surabaya-pada-10-november-1945?page=all
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Medan_Area
  7. https://sejarahlengkap.com/indonesia/peristiwa-ambarawa
  8. http://maritimnews.com/2016/07/menyorot-heroisme-pasukan-bkr-laut-dalam-pertempuran-cilincing/
  9. https://daerah.sindonews.com/read/1224632/29/mengenang-peristiwa-merah-putih-di-manado-1501155691

iklan tengah