Ekonomi XI BAB 7 Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi


Pajak adalah Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian dapat dIsimpulkan bahwa pajak :
  1. Kontribusi Wajib Pajak  kepada Negara
  2. Bersifat memaksa
  3. Berdasarkan Undang-undang
  4. Tidak mendapatkan imbalan secara langsung
  5. Untuk penyelenggaraan negara dan kemakmuran rakyat
  6. Dasar pemungutan pajak adalah UUD 1945 pasal 23A: “Pajak dan pengutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.


  1. Fungsi budgeter, yaitu Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran‑ pengeluarannya.
  2. Fungsi alokasi, yaitu pajak harus digunakan sebagai sumber dana untuk pembiayaan pembangunan di segala bidang
  3. Fungsi distribusi, yaitu pajak dijadikan sebagai alat pemerataan pendapatan
  4. Fungsi regulasi/stabilisasi, yaitu Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.


Pajak merupakan sumber penerimaan negara, tanpa pajak sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.

Penggunaan uang pajak mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.

Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak.

Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat, mensubsidi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dan juga membayar utang negara ke luar negeri., membantu UMKM baik dalam hal pembinaan dan modal.dengan demikian peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih rendah.

Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajaknnya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan, sehingga kesenjangan ekonomi dan sosial dapat dikurangi secara maksimal.


Penerimaan pajak pusat merupakan sumber penerimaan paling utama dalam APBN, penyelenggaraan negara dan pemerintahan baik dalam pembiayaan pengeluaran rutin maupun pembiayaan pembengunan sangat tergantung kesadaran masyarakat akan kewajiban dalam membayar pajak.

Selain pajak pusat, juga terdapat Pajak Daerah antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Pembangunan I, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber penerimaan APBD.

Hasil Pajak dialokasikan untuk :

  1. Pembangunan infrastruktur, meliputi : Perhubungan, Pemukiman, Irigasi, Energi dan lainnya
  2. Meringankan Beban dan Menyejahterakan Rakyat , meliputi : Layanan Pendidikan , Penanggulangan Kemiskinan , Layanan kesehatan, Ketahanan pangan dan Subsidi
  3. Mewujudkan Suasana Aman Dan Tenteram Dan Kepastian Hukum Bagi Kehidupan Rakyat Dan Dunia Usaha, meliputi : Ketahanan Negara, Keamanan dan Ketertiban

Selain pajak, penerimaan pemerintah lainnya (bea ekspor dan impor, retribusi, bea meterai, sumbangan wajib, cukai, dan lain-lain) merupakan sumber pendapatan negara atau daerah.

Perbedaan antara pajak dan pungutan resmi lainnya, sebagai berikut:

No Dilihat Dari Pajak Pungutan Resmi Lainnya
1 Imbalan jasa (kompensasi) Tidak diterima secara langsung Diterima secara langsung
2 Dasar pemungutan Undang-Undang Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dsb.
3 Cara perhitungan Sendiri oleh wajib pajak Oleh aparatur negara
4 Jatuh tempo Sesuai dengan tahun pajak Sesuai dengan pemakaian
5 Sanksi Sesuai yang tercantum dalam UU Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah
6 Surat ketetapan pajak (kohir) Ada Tidak ada
7 Sifat pungutan Memaksa Sesuai kebijakan pemerintah


Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The Four Maxims“, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

  1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
  2. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
  3. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
  4. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

1. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Pen-jualan atas Barang Mewah, (PPn.BM) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak Daerah terdiri atas:

Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok

Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air tanah, Pajak Sarang Burung Walet, PBB Pedesaan dan Perkotaan, dan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)

2. Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada  subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif,  yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibeban-kan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.


1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang ber-sangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.


  1. Tarif pajak proporsional (sebanding) Yaitu tarif pajak dengan menggunakan persentase yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak.
  2. Tarif pajak degresif (menurun) Yaitu tarif pajak dengan menggunakan presentase yang menurun untuk setiap dasar pengenaan pajak.
  3. Tarif pajak konstan (tetap) Yaitu tarif pajak yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak.
  4. Tarif pajak progesif (menaik) Yaitu tarif pajak dengan persentase yang semakin menaik/meningkat untuk dasar setiap pengenaan pajak

Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Perpajakan sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban wajib pajak.

Untuk memudahkan dalam memahami kewajiban maupun hak wajib pajak, maka diperlukan pemahaman ketentuan formal maupun material perpajakan.

Ketentuan normal diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sementara ketentuan material diatur dalam UU PPh maupun UU PPN/PPn BM. Sehingga secara administratif kewajiban mupun hak wajib pajak antara lain :

  1. Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dengan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
  2. Menghitung besarnya pajak terutang
  3. Memotong atau memungut pajak pihak lain
  4. Melakukan pembayaran atas pajak yang terutang atau atas pajak yang telah dipotong/dipungut
  5. Melaporkan pajak yang terutang
  6. Menyelenggarakan pembukuan
  7. Kewajiban sebagai wajib pajak apabila yang bersangkutang dilakukan pemeriksaan pajak
  8. Meminta kembali lebih bayar pembayaran pajak
  9. Pengajuan pembetulan ketetapan pajak
  10. Mengajukan keberatan atau banding atas ketetapan pajak
  11. Mengajukan pengurangan/penghapusan sanksi administratif
  12. Pengajuan pembatalan ketetapan pajak
  13. Mengajukan penghapusan NPWP
  14. Undang-undang KUP antara lain mengatur tata cara pendaftaran, tata cara penghapusan, tata cara pembayaran , dan  tata cara keberatan. UU PPh dan UU PPN/PPn BM antara lain mengatur penghitungan, pemotongan dan pemungutan pajak dan besarnya taif pajak.


Subjek pajak adalah pihak – pihak (orangmaupunbadan) yang akan dikenakan pajak dan yang dimaksud dengan Objek pajak yaitu sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak.

Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang ini berisi dua bab, yaitu :

Bab I Tentang Pengertian dasar yang berkaitan dengan Pajak dan Perhitungan pajak.
Bab II Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan dan Tata Cara Pembayaran Pajak.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.


Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Sedangkan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.

Besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak) dan PKP = Penghasilan persih pertahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 36 tahun 2008, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, yaitu:

Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah  dan  keluarga  semenda  dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.

Tarif PTKP terbaru mulai tahun 2016 ( PTKP 2016 ) untuk PPh Pasal 21 berdasarkan PMK No. 101/PMK.010/2016 adalah:

Rp 54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi
Rp 4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
Rp 54.000.000,- untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
Rp 4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga
5 % untuk penerima penghasilan sampai dengan Rp 50 juta per tahun .

Berdasarkan tabel di atas, maka tarif PTKP 2016 (dan PTKP 2017) yang berlaku adalah

PENTING!
Tarif  PTKP yang berlaku untuk wanita kawin adalah TK/0. Hal ini dikarenakan beban atas tanggungan sudah dibebankan ke suami.

Menurut UU Nomor 36 tahun 2008 Pasal 17, Tarif Pajak yang ditetapkan atas penghasilan sebagai berikut :

wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp50.000.000,00 (limapuluhjuta rupiah) 5% (lima persen)

di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)

di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai denganRp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen)

di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)


Tarif PPH 21 bagi yang memiliki NPWP
Tarif PPh 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 berikut ini berlaku pada Wajib Pajak (WP) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):

WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta – Rp 250 juta adalah 15%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta adalah 25%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%
Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

TARIF PPH 21 BAGI WAJIB PAJAK YANG TIDAK MEMILIKI NPWP

Berikut ini adalah tarif PPh 21 bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP:
Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.


Contoh 1 :

Penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi, Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00. Maka Pajak Penghasilan yang terutang:

5%   x Rp  50.000.000,00                 = Rp    2.500.000,00

15% x Rp 200.000.000,00               = Rp  30.000.000,00

25% x Rp 250.000.000,00               = Rp  62.500.000,00

30% x Rp 100.000.000,00               = Rp  30.000.000,00 (+)

Rp125.000.000,00

Contoh 2 :

Pak Chandra sebagai karyawan Primagama, penghasilan neto setiap bulannya Rp 20.000.000,00.  Pak Chandra sudah beristeri tidak bekerja dan mempunyai 4 anak.

Berapakah pajak terutang setiap bulannya ?

Jawab:

Penghasilan neto 12 bulan x Rp 10.000.000,00                     = Rp 240.000.000,00

PTKP      –  wajib pajak                     Rp 54.000.000,00

–  isteri                                  Rp   4.500.000,00

–  anak (maks 3)

3 x Rp 4.500.000,00          Rp 13.500.000,00 +

= Rp   72.000.000,00 –

Penghasilan Kena Pajak (PKP)                                    = Rp 168.000.000,00

=================

Jadi, PPh terutang

5%   x Rp 50.000.000,00  = Rp 2.500.000,00

15% x Rp118.000.000,00= Rp17.700.000,00 +

= Rp20.200.000,00 per tahun

===============

Pajak penghasilan perbulan = Rp20.200.000,00 : 12 = Rp 1.683.333,33

Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2009 dan 25% (dua  puluh  lima  persen)  yang  mulai berlaku sejak tahun pajak 2010
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00 pada tahun 2012

Maka Pajak Penghasilan yang terutang: 25% x Rp1.250.000.000,00 = Rp312.500.000,00


Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Tarif PPN dan PPn BM

Menurut Pasal 7 UU nomor 42 tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
ekspor Jasa Kena Pajak.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Sedangkan Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 200% (dua ratus persen).
Ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Pedesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Daerah. Untuk PBB Perkebunan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

Objek pajak PBB adalah bumi dan bangunan menurut nilai jualnya

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah:

objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum (masjid, gereja, wihara, rumah sakit, pesantren/madrasah, panti asuhan, museum, candi)
objek pajak yang digunakan kuburan, peninggalan purbakala, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah desa
objek pajak untuk perwakilan diplomatik, konsulat
objek pajak yang digunakan oleh badan perwakilan organisasi internasional (PBB, ASEAN, dan lain-lain)


Tarif PBB

Tarif PBB yang dikenakan pada obyek pajak adalah 0,5% dari nilai jual obyek kena pajak. Dan besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 6.000.000,00 dan paling tinggi Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sedangkan Dasar pengenaan PBB antara lain :

Dasarnya adalah nilai jual obyek pajak.
Besarnya nilai jual obyek pajak ditetapkan 3 tahun sekali oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak (NJOPKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Besarnya Nilai jual kena pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Objek PBB yang NJOP lebih dari Rp 1 milyar, Dasar perhitungannya 40%
Peraturan pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 Tentang Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai sebagai berikut:

Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00
Dokumen nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 3.000,00
Lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00

Cek dan bilyet giro sebesar Rp 3.000,00


Tantangan pemungutan pajak
Peran vital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang diamanahi tugas penghimpun penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi masyarakat mengenai perpajakan, artinya belum sebanding antara besarnya jumlah penduduk dengan Wajib Pajak yang masih rendah. Padahal penerimaan pajak banyak dialokasikan untuk fasilitas umum yang banyak dinikmati oleh seluruh jumlah penduduk.

Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp. 24,3 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung. Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada juga dengan cara yang koersif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP. Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.

Simulasi fungsi dan manfaat pajak.
Untuk menjadi bangsa yang mandiri,  pajak mengajak peran serta rakyat  Indonesia untuk membiayai negaranya sendiri, untuk itulah pajak memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting dalam pembangunan negara.

Terdapat aspek-aspek yang terkait dengan Perpajakan :

  1. Aspek Ekonomi, artinya penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan dengan melakukan pembangunan.
  2. Aspek Sosial, artinya pemerataan pembangunan dan keadilan dalam membayar pajak.
  3. Aspek Politik, artinya secara politis masyarakat/pembayar pajak mempunyai posisi yang semakin baik dalam melakukan “tawar menawar” dengan pemerintah.
  4. Aspek Hukum, artinya Sebagai negara hukum semua pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan hukum.
  5. Aspek Agama, artinya Tuhan memerintahkan bahwa manusia, selain harus beribadat yaitu taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan juga harus dapat berhubungan baik dengan sesamanya, saling berkomunikasi, bersilaturahmi dan saling membantu.

iklan tengah