Sejarah Indonesia XI BAB 2 Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.

Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di Aceh semakin ramai.

Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan.

Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur Sumatera sebelah utara.

Bahkan Aceh kemudian mampu mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti di Barus, Tiku, dan Pariaman.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar (1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai barat Sumatera.

Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing.

Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan

Aceh harus minta izin kepada Aceh. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh.

Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh.

Kembali Portugis tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.

Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada.

Tindakan Portugis ini tidak dapat dibiarkan.

Aceh yang ingin berdaulat dan tetap dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan.

Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit;
2) mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567; dan
3) mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.

Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka.

Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan.

Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.

Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat melakukan monopoli.

Oleh karena itu, VOC harus bersaing dengan Portugis dan harus mendapat izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap dominasi dan para pedagang asing.

Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601.

Dalam surat dipenuhi dengan kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh.

Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan Portugis, dan juga dicantumkan tawaran bantuan untuk mengusir orangorang Portugis.

Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).

Dengan surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda.

Bahkan pada tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera.

Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi orang asing.

Oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat.

Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak kehadiran VOC.

Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka.

Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang sudah berkuasa di Batavia.

Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.

Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.

Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.

Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan.

Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.

Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.

Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.

Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate.

Tidak lama berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak

Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.

Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku.

Mereka sering memanfaatkan kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di lingkungan istana.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis.

Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.

Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis.

Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan.

Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan.

Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri.

Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol.

Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina.

Dengan demikian setelah ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat.

Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Kedudukan Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.

Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.

Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis.

Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis.

Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis.

Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.

Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendisendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.

Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun).

Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar.

Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis.

Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon.

Pada tahun1605 Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur

Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat.

Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi.

Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said.

Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo.

Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap.

Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.

Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore.

Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pangeran Nuku).

Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat.

Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).

Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera.

Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah.

Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC.

Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur.

Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada Inggris (EIC).

Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda.

Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).
Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan.

Cita-cita Sultan Agung antara lain:
(1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan
(2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara.

Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.

Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.

Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.

Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka; 3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan
4) keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.

Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia.

Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC adalah J.P. Coen.

Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.

Pasukan Mataram berusaha membangun pospos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi.

Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan.

Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa.

Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat.

Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram.

Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.

Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua.

Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia.

Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya.

Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.

Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras.

Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia.

Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.

Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629.

Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan.

Dalam situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram.

Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram.

Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.

Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain.

Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram.

Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan.

Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya.

Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram.

Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan militer Mataram.

Sultan Agung yang cerdas itu kemudian menggunakan kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung.

Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram.

Sementara VOC mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.

Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan Agung.

Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC.

Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.

Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya

Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional.

Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619.

Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.

Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu alFath Abdulfatah.

Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.

la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia.

Beberapa kebijakannya misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis.

Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.

Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade.

Jung-jung Cina dan kapalkapal dagang dari Maluku dilarang oleh VOC meneruskan perjalanan menuju Banten.

Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia.

Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.

Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk.

Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk.

Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut.

Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang.

Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang.

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).

Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan.

Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji.

Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.

Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya.

Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya.

Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.

Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat.
(1) Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC,
(2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina,
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
(4) pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.

Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai.

Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.

Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack.

Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng Tirtayasa juga dikepung tentara VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.

Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor.

Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692.

Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam.

Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing.

Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung.

Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa.

Pada bulan November 1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa.

Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus.

Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan gabungan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus.

Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC.

Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.

Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara.

Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja.

Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu. Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota itu.

Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa.

Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.”

Dengan prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang. Makassar dengan pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.

Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.

Sebagai contoh kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah dulu di Bandar Somba Opu.

Begitu pula barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melakukan bongkar muat di Somba Opu.

Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Gowa.

VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Gowa.

Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau, yang ada.

Bahkan dengan menggunakan perahu-perahu tradisional seperti padewakang, palari, sope dan yang sudah begitu terkenal perahu pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan Nusantara.

VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap perahu-perahu tersebut.

Oleh karena itu, saat kapal-kapal VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.

Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif itu.

Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC.

Benteng pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Gowa mulai dikoordinasikan.

Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenangwenangan VOC. Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Gowa.

Politik devide et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka.

Setelah mendapat dukungan Aru Palaka, pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Gowa.

Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara.

Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa.

Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.

Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari berbagai penjuru.

Beberapa serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin.

Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa.

Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa.
3) Gowa harus membayar biaya perang.

Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa atau Makassar.

Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenangwenangan VOC itu.

Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC. Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC.

Benteng itu kemudian oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam. Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, VOC memang berhasil mengendalikan peran politik Kerajaan Gowa.

Tetapi VOC tidak mampu mengendalikan dan memaksakan monopoli perdagangan di perairan Indonesia Timur.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya itu justru melahirkan diaspora perdagangan bagi orang-orang Bugis-Makassar. Mereka tidak menghiraukan monopoli yang dipaksakan VOC.

Dengan prinsip bebas berdagang mereka menyelundup ke berbagai kota dan pelabuhan untuk berdagang termasuk perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Artinya VOC gagal dalam mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang BugisMakassar.

Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar itu, karena:

(1) ketidakmungkinan membatasi perdagangan yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis yang sulit terpantau sehingga mudah untuk melakukan penyelundupan dagang,

(2) VOC memiliki kelemahan dalam pemasaran, karena mengejar keuntungan yang tinggi dan tidak mampu membangun jaringan dengan pasar lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan

(3) keterlibatan VOC dalam pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produkproduk laut ini.

Akhirnya VOC tidak mampu bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan Makasar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC.

Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau.

Kerajaan-kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi monopoli dan tindakan sewenang-wenang VOC.

Oleh karena itu, beberapa kerajaan mulai melancarkan perlawanan.

Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC.

Setelah berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka.

Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang bernama Raja Indra Pahlawan.

Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.

Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat.

Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka.

Raja Muhammad Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan perangnya. Pada tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan VOC.

Sebagai strategi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak.

VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak.

Kapalkapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan pukulan bagi Siak.

Oleh karena itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC.

Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali.

Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya.

Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar.

Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu.

Namun banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina.

Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.

Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat baru. Mereka sepakat bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya.

Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda.

Oleh karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC setuju dengan ajakan damai ini.

Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada saat perundingan baru mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC.

Sultan segera memberi kode pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda di loji itu.

Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC dari Malaka.

Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan.

Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh”.

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak.

Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya ke Batavia.

Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa.

VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya.

Ternyata kota Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua yang memiliki modal.

Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri.

Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi imigran Cina.

Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”.

Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina.

Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per orang.

Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit.

Akibatnya banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim ditangkap.

Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan VOC di Batavia.

Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan.

Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah.

Orang-orang Cina yang berhasil meloloskan diri kemudian melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah.

Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.

Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan kekacauan yang meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa.

Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut.

Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban.

VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan.

Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC.

Sikap Pakubuwana II yang demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati di lingkungan kraton.

Kondisi ini pula yang telah mendorong VOC kemudian melakukan intervensi politik di lingkungan istana.
Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi.

Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.

Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat dengan kaum penjajah.

Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC.

Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin berkurang.

Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para bangsawan kerajaan.

Terlebih lagi VOC melakukan intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan misalnya perlawanan Raden Mas Said.

Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar.

Pada usia 14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.

Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.

Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung.

Mas Said merasa sakit hati dengan sikap keluarga kepatihan.

Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bekerja sama dengan VOC.

Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC.

Raden Masa Said diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan.

Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan.

Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang.

Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa.

Perlawanan Mas Said cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat sehingga menjadi ancaman yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram.

Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).

Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak kerajaan.

Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II.

Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said.

Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh ingkar).

Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.

Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain.

Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan.

Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.

Dia menganggap pejabat VOC secara langsung telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana.

Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam politik pemerintahan kerajaan.

Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.

Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC.

Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan.

Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati.

Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang).

Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.

Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan meluas di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras.

Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke istana kerajaan.

Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian.

Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van Hohendorft. Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, karena Pakubuwana II telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC.

Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut.

1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC.

2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.

3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.

Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak asing (VOC).

Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.

Perlu diketahui bahwa pada saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani, Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja yang baru.

Mataram dalam keadaan vakum.

Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer.

Karena penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan Kabanaran.

Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said.

Sebagai contoh pasukan Mangkubumi berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu.

Dari Kedu pasukan Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah pesisir lainnya.

Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa.

Oleh karena itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur Jenderal VOC  digantikan oleh Jacob Mosel.

Kedua pejabat VOC yang baru ini berusaha keras untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Cara perundingan mulai dipikirkan secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.

Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir.

Oleh karena itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC.

Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.

Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua.

Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.

Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer.

Namun peperangan dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”.

Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang sampai Indonesia merdeka.

Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

1. Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufk Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)

a) Perang Tondano I (1808) 
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC.

Pada saat datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga menyebarkan agama Kristen.

Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang.

Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC.

Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol.

Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa.

Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina.

VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC.

Hal ini karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara.

Orangorang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.

Untuk melemahkan orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan.

Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.

Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain:

(1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC,

(2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan.

Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak diperhatikan.

Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli.

Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC agar membeli hasilhasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh VOC.

Berakhirlah Perang Tondano I.

Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang mendapat mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.

Mereka yang dipilih adalah dari sukusuku yang memiliki keberanian berperang.

Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa.

Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung

(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim ke Jawa.

Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.

Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto.

Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orangorang Minahasa di Tondano Minawanua.

Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.

Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat.

Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar.

Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.

Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.

Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.

Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya.

Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.

Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif.

Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.

Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda.

Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan.

Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a pejuang itu memilih mati dari pada menyerah kepada penjajah.

2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa.

Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli perdagangan.

Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara.

Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.

Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.

Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat.

Dengan demikian, beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas.

Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, sementara itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku.

Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan sikap arogan dan sikap sewenang-wenang dari Residen Saparua.

Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan. Setelah selesai perahu diserahkan kepada Belanda.

Tetapi Belanda tidak mau membayar perahu itu dengan harga yang pantas.

Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas.

Bahkan perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapalkapal Belanda di Maluku.

Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orangorang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat perahu mengancam akan

iklan tengah