Sejarah Indonesia XII BAB 5 Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Reformasi


1. Krisis Moneter, Politik, Hukum, dan Kepercayaan 
Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Korea, dan Indonesia.

Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp2.500,00/US$ terus mengalami kemerosotan. Situasi ini mendorong Presiden Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).

Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi.

Di antara syarat-syarat tersebut adalah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun usaha ini tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot.

Nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp4.000,00/US$ pada Oktober 1997 terus melemah menjadi sekitar Rp17.000,00/US$ pada bulan Januari 1998.

Kondisi ini berdampak pada jatuhnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.

Kondisi ini membuat Presiden Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius.

Namun, kemudian Presiden Soeharto menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem ekonomi liberal.

Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut.

Situasi tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi semakin memburuk.

Pada saat krisis semakin dalam, muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti–Cina.

Kelompok ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena mereka mendominasi perekonomian di Indonesia.

Krisis ini pun semakin menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non ekonomi lainnya yang membawa pengaruh terhadap proses perubahan selanjutnya.

Sementara itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, Golkar memperoleh suara 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen.

Setelah pelaksanaan pemilu tersebut perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada Maret 1998. Sidang Umum MPR ini akan memilih presiden dan wakil presiden.

Sidang umum tersebut kemudian menetapkan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden.

Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul ke permukaan.

Meningkatnya kecaman terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak awal 1998.

Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI dan lain-lain semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya Soeharto.

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademis maupun pimpinan universitas.

Garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional.

Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus.

Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog.

Dari dialog tersebut diharapkan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat kembali terbuka.

Namun mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah tidak efektif karena tuntutan pokok mereka adalah reformasi politik dan ekonomi pengunduran diri Presiden Soeharto.

Menurut mahasiswa, mitra dialog yang paling efektif adalah lembaga kepresidenan dan MPR.

Di tengah maraknya aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik.

Kebijakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu.

Sehingga naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa, karena kebijakan tersebut berdampak pula pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya.

Dalam kondisi negara yang sedang mengalami krisis, Presiden Soeharto, Pada 9 Mei 1998, berangkat ke Kairo (Mesir) untuk menghadiri Konferensi G 15.

Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan harga BBM.

Selain itu, ia menyerukan kepada lawan–lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul.

Meskipun demikian kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus berlangsung

2. Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratis. “Reformasi atau mati”.

Demikian tuntutan yang ditorehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998.

Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998.

Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.

Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia.

Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar.

Namun mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan respon dari pemerintah.

Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda, yaitu:
1) Suksesi kepemimpinan nasional
2) Amendemen UUD 1945
3) Pemberantasan KKN
4) Penghapusan dwifungsi ABRI
5) Penegakan supremasi hukum
6) Pelaksanaan otonomi daerah Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.

Berikut ini kronologi beberapa peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.

Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional.

Namun ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan.

Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur.

Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.

Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR. Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar.

Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir.

Sementara itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.

Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat.

Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas.

Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini dinyatakan setelah Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998.

Akan tetapi, upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat. Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas.

Akan tetapi, beliau membatalkan rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan tersebut.

Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi.

Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru.

Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.

Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998.

Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun. Beliau mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.

Soeharto kemudian digantikan B.J. Habibie.

Sejak saat itu berakhirlah era Orde Baru selama 32 tahun, Indonesia memasuki sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.

Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, pada hari itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana Negara.

Dasar hukum pengangkatan Habibie adalah berdasarkan TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.

Ketika Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi terburuk dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis mata uang yang didorong oleh hutang luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997.

Krisis yang telah menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri dan manufaktur serta sektor finansial yang hampir ambruk, diperparah oleh musim kemarau panjang yang disebabkan oleh badai El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras.

Ditambah kerusuhan Mei 1998 telah menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya di kalangan investor keturunan Cina yang memainkan peran dominan dalam ekonomi Indonesia.

Larinya modal, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang menjadikan upaya pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi.

Pengunduran diri Soeharto telah membebaskan energi sosial dan politik serta frustasi akibat tertekan selama 32 tahun terakhir, menciptakan perasaan senang secara umum akan kemungkinan politik yang sekarang tampak seperti terjangkau.

Kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok pro demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik segera terjadi, meminta pemilihan umum segera dilakukan untuk memilih anggota parlemen dan MPR, yang dapat memilih presiden baru dan wakil presiden.

Di samping tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin, pemerintah juga berada di bawah tekanan kuat untuk menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menandai Orde Baru.

Tugas yang diemban oleh Presiden B.J. Habibie adalah memimpin pemerintahan transisi untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi yang menyeluruh dan mendasar, serta sesegera mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi.

Naiknya B.J. Habibie ke singgasana kepemimpinan nasional diibaratkan menduduki puncak Gunung Merapi yang siap meletus kapan saja.

Gunung itu akan meletus jika berbagai persoalan politik, sosial dan psikologis, yang merupakan warisan pemerintahan lama tidak diatasi dengan segera.

Menjawab kritik-kritik atas dirinya yang dinilai sebagai orang tidak tepat menangani keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan tentang komitmennya untuk melakukan reformasi di bidang politik, hukum dan ekonomi.

Secara tegas Habibie menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden adalah sebuah amanat konstitusi.

Dalam menjalankan tugasnya ini ia berjanji akan menyusun pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan perubahan yang digulirkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.

Pemerintahnya akan menjalankan reformasi secara bertahap dan konstitusional serta komitmen terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan politik yang demokratis dan meningkatkan kepastian hukum.

Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya setelah dilantik sebagai Presiden, pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI, B.J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi.

Pidato tersebut bisa dikatakan merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan Reformasi secara cepat dan tepat.

Beberapa point penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi dalam ketiga bidang yaitu:

1) Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundangundangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

2) Di bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi.

3) Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan pihak luar negeri, khususnya dengan melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan kesepakatan dengan IMF.

Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama regional dan internasional, seperti yang telah dilaksanakan selama ini dan akan berusaha dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika pembangunan bangsa Indonesia yang dilandasi atas kepercayaan nasional dan internasional yang tinggi.

Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya, bahwa pemerintahannya akan komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomisosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi dan menegakkan kepastian hukum.

Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie diarahkan pada tiga bidang tersebut

a) Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan 
Sehari setelah dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri atas 36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu.

Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang merupakan Menteri pada Kabinet Pembangunan era Soeharto.

Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri atas berbagai elemen kekuatan politik dalam masyarakat, seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.

Untuk pertama kalinya sejak pemerintahan Orde Baru, Habibie mengikutsertakan kekuatan sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi, profesional dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga diharapkan terjadi sinergi dari semua unsur kekuatan bangsa tersebut.

Langkah ini semacam rainbow coalition yang terakhir kali diterapkan dalam Kabinet Ampera.

Pada sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J. Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dengan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat.

Pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi peran perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena terbukti memiliki ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.

Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibie memerintahkan bahwa departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum.

Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbarui antara lain Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah.

Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat terhadap reformasi politik, banyak kalangan menuntut adanya amendemen UUD 1945.

Tuntutan amendemen tersebut berdasarkan pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini ada pada UUD 1945.

UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu fleksibel, sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang disalahgunakan, pengaturan hak asasi manusia yang minim dan kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.

b) Sidang Istimewa MPR 1998 
Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10–13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk menetapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang.

Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain:

  • Terbukanya kesempatan untuk mengamendemen UUD 1945 tanpa melalui referendum. 
  • Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR No. XVIII/MPR/1998). 
  • Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas, masing masing lima tahun (Tap MPR No. XIII/MPR/1998). 
  • Agenda reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik dan berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI. 
  • Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, serta pembebasan tahanan politik dan narapidana politik. 

c) Reformasi Bidang Politik 
Sesuai dengan Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan telah berupaya melaksanakan sejumlah agenda politik, yaitu merubah budaya politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, seperti pemusatan kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi, terbatasnya partisipasi politik rakyat, menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta terabaikannya nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan prinsip supremasi hukum.

Beberapa hal yang telah dilakukan B.J. Habibie adalah:

• Diberlakukannya Otonomi Daerah yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998.

• Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya, dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang berhak mengikuti Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.

• Pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir diberedel melalui mekanisme pencabutan Surat Izin Terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah.

• Dalam hal menghindarkan munculnya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.

d) Pelaksanaan Pemilu 1999 
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai salah satu hasil terpenting lainnya yang dicapai Habibie pada masa kepresidenannya.

Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan pemilu multipartai (yang diikuti oleh 48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik, tentang pemilu, dan tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil partai politik dan wakil pemerintah.

Hal yang membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali Pemilu 1955) adalah diikuti oleh banyak partai politik.

Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.

Dengan masa persiapan yang tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.

Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak pihak, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai tanpa ada kekacauan yang berarti meski diikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga mencatat masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye, baik karena kekerasan maupun kecelakaan dibanding dengan 327 orang pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat kebanyakan lebih rileks melihat perbedaan.

Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.

Berdasarkan keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1 September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu.

Hasil pembagian kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau 90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan.

PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kursi, dan PAN 34 kursi.

e) Pelaksanaan Referendum Timor-Timur 
Satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menyelesaikan permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.

Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur (Tim-Tim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah mendapat pengakuan internasional.

Meskipun sebenarnya Indonesia tidak pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim.

Banyak pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang sering bergejolak antara yang pro integrasi dengan yang kontra.

Subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada provinsi-provinsi lain untuk mengejar ketertinggalan.

Namun sungguh disesalkan bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat Timor-Timur sendiri.

Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8 Resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan.

Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional.

Dalam perundingan Tripartit Indonesia menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur.

Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia.

Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat Timor-Timur memilih otonomi atau kemerdekaan.

Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-Timur secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum.

Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain.

Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baikbaik dan terhormat.

Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York.

Hasil jajak pendapat yang diumumkan PBB pada 4 September 1999 adalah 78,5% menolak dan 21,5% menerima.

Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur.

Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur.

Sesuai dengan Perjanjian New York, ketetapan tersebut mengesahkan pemisahan Timor-Timur dari RI secara baik, terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

f) Reformasi Bidang Ekonomi 
Sesuai dengan Tap MPR tentang pokok-pokok reformasi yang menetapkan dua arah kebijakan pokok di bidang ekonomi, yaitu penanggulangan krisis ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai rupiah dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga terjangkau, serta berputarnya roda perekonomian nasional, dan pelaksanaan reformasi ekonomi.

Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional yang dimodifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin memburuk.

Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
1) Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2) Memperkuat basis sektor riil ekonomi.
3) Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis.

Secara perlahan Presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie.

Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembali berjalan dengan baik.

Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp 6.700,00/dolar AS pada bulan Juni 1999.

Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya masih sekitar Rp15.000,00/dolar AS.

Meski saat naiknya eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp 8.000,00/dolar AS.

Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi, Pemerintah telah melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Program Jaring Pengaman Sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis

Pada masa Presiden B.J. Habibie pembangunan kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar.

Pembangunan kelautan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia.

g) Reformasi Bidang Hukum 
Sesuai Tap MPR No. X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Keberhasilan menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya dalam waktu 16 bulan.

Setiap bulan rata-rata dapat dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).

Untuk meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari organisasi Tentara Nasional Indonesia.

Dengan demikian, fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan hukum.

Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J. Habibie bahwa UndangUndang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini seakan-akan disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang penting untuk menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang akan datang semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan ke arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan.

Untuk itu pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No. 11/1978 mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum diberlakukannya amendemen terhadap Undang-Undang Dasar dicabut.

Pada tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR periode 1999–2004 dilantik.

Lewat mekanisme voting, Amin Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR.

Pada 14 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR.

Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie tanggal 15–16 Oktober 1999, dari 12 fraksi yang menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan putusannya.

Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban Habibie itu.

Pada umumnya masalah yang dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak Asasi Manusia.

Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksi-fraksi, MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses voting.

Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amien Rais menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya.

Presiden Habibie memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia ikhlas menerima keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawabannya.

Pada kesempatan itu, Habibie juga menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya. Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan presiden dilaksanakan.

Beberapa calon di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra.

Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden.

Lewat dukungan Poros Tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara.

Ia mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene adalah pemenang pemilu 1999.

Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.

Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999.

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie.

Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam Rapat Paripurna ke-13 MPR.

Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi Wakil Presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.

Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional.

Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur pemerintahan.

Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat sendiri.

Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang sosial dan politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999.

Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan organisasi dan tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10 November 1999.

Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini memiliki nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan

Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya.

Selain eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan budi daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.

a) Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan 
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amendemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000.

Amendemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota.

Amendemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut.

Selain amendemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI dan Polri.

Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan terutama dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut.

TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.

Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri.

Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.

Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel.

Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya.

Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap. MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.

Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.

Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.

Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam.

Membuka hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.

Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB.

Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya.

Selain gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap. MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis.

Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR.

Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS.

DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220). Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus.

Keputusan tersebut diikuti dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN (Gonggong &Asy’asri ed, 2005:221). Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional.

DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000.

Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.

Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR.

Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah.

Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput.

Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Aksi ini berujung pada perusakan dan pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR.

Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paripurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti.

Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.

Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR.

Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR. Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais.

Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal.

Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001.

Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekret Presiden.

Secara umum Dekret tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Namun isi Dekret tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/ MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.

Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI.

Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.

TULISANN

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.

Terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden diikuti dengan berbagai aksi protes mahasiswa, di antaranya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta agar presiden terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye presiden.

Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Sejak awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta pemberantasan KKN yang ia canangkan dalam program 100 hari pertama pemerintahannya.

Program pengentasan kemiskinan berkaitan langsung dengan upaya pemerataan dan pengurangan kesenjangan serta peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.

Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bantuan langsung tunai (BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp18,8 triliun untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, dan 348 kecamatan.

Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata bantuan per rumah tangga sebesar Rp 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33).

Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dan lain-lain.

Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional, dan meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan nasional (Gonggong & Asy’arie, 2005: 243)

a) Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat 
Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih.

Upaya pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden sebelumnya masih belum terlaksana sepenuhnya.

Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh yang merenggut banyak korban dengan kerugian material yang sangat besar.

Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan pasca bencana.

Salah satunya adalah dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.

Selain itu dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013). Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian termasuk upaya untuk swasembada pangan.

Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah.

Untuk mendukung perbaikan di sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah bagi petani.

Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007.

Seiring dengan itu, program bantuan operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus sekolah dari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5% pada tahun 2006.

Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik, pemerintah juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik.

Di bidang kesehatan, pemerintah memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali menurunkan harga obat generik (Suasta, 2013: 33-36).

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian besar pada permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan, pengembangan usaha kecil, peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan buruh. Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatkan.

Di bidang hukum, upaya pemerintah untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi hukum juga mendapat perhatian pemerintah.

b) Reformasi di Bidang Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan 
Pemerintahan yang solid berpengaruh terhadap kelancaran jalannya program-program pemerintah sehingga upaya untuk menjaga kesolidan pemerintahan menjadi salah satu faktor penting keberhasilan program pemerintah.

Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi sebelumnya, pembentukan kabinet pemerintah merupakan hasil dari koalisi partai-partai yang mendukung salah satu pasangan calon presiden saat pemilu presiden.

Dengan demikian keberadaan koalisi dan hubungan partai-partai yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus dijaga.

Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat dengan partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY.

Pembentukan Setgab juga bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pembangunan agar arah koalisi berjalan seiring dengan kesepakatan bersama.

Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan dibentuk sebagai sarana komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).

Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melanjutkan reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya pada era reformasi.

Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara proporsional dan seimbang (Suasta, 2013: 259).

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang mengedepankan aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi menciptakan good governance.

Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.

Untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan penggunaan media sosial seperti SMS online dan twitter.

Melalui media tersebut, partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat.

Di sisi lain pemerintah dapat dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.

c) Upaya untuk Menyelesaikan Konflik Dalam Negeri 
Selain berupaya untuk menjaga kedaulatan wilayah dari ancaman luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya disintegrasi di wilayah konflik.

Konflik berkepanjangan di wilayah Aceh dan Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kendati telah dilakukan pendekatan baru melalui dialog pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung selesai.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum dialog mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional.

Di tingkat internasional, upaya tersebut menghasilkan Geneva Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities Agreement (CoHA).

Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus menjadi kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai di antara semua pihak yang berseteru di Aceh.

Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan bersama belum mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya.

Belum dapat dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak GAM/Gerakan Aceh Merdeka (Yudhoyono, 2013).

Selain berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukan pendekatan langsung dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh pada tanggal 26 November 2004.

Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas.

Presiden juga berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara permanen. Selain konflik di Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas adalah konflik bernuansa agama di Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu kebijakan presiden untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:

1) Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui langkahlangkah komprehensif, terpadu dan terkoordinasi.

2) Menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi, dan teror serta mengungkap jaringannya.

3) Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001.

Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat perhatian serius pemerintah adalah konflik di Papua.

Seperti halnya konflik di Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga mengedepankan aspek dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.

Perhatian pemerintah sudah sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan sumber daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian dan pemahaman birokrasi, terlebih provinsi Papua memiliki sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan.

Terkait dengan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua.

Otonomi khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua.

Kebijakan tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat Papua dapat menikmati rasa aman dan tenteram di tengah derap pembangunan (Suasta, 2013: 294).

d) Pelaksanaan Pemilu 2009
Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya.

Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang efektif di lapangan.

Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan perguruan tinggi.

Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin kondusif termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi.

Keberhasilan beberapa program pembangunan juga tidak terlepas dari adanya stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.

Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2009.

Berpasangan dengan seorang ahli ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendapatkan kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan berikutnya.

Pada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.

e) Euforia Berdemokrasi: Demokrasi Masa Reformasi
Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya bagi perubahan sistem dan penerapan demokrasi di Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-wilayah yang dianggap kurang mendapat perhatian.

Selain itu, pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di daerah-daerah terutama para kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap pemerintah.

Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk mendapatkan ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur wilayah sendiri menjadi keinginan masyarakat di daerah-daerah yang pada akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi daerah.

Pembagian hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Penerapan Otonomi Daerah tersebut diiringi dengan perubahan sistem pemilu dan diselenggarakannya pemilu langsung untuk mengangkat kepala daerah mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota.

Di bidang pers, euforia demokrasi juga melahirkan sejumlah media massa baru yang lebih bebas menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat.

Namun, kebebasan di bidang pers harus tetap memerhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam menyebarkan berita.

Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap mengedepankan fakta sehingga euforia kebebasan pers yang telah sekian lama terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

TULISANN

iklan tengah