Bagaimana sejarah kerajaan Mataram Kuno?
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan dinasti Sayilendra yang beragama Buddha.
Kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama.
Sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno diperoleh dari prasasti peninggalannya. Prasasti tersebut diantaranya adalah prasasti Canggal, prasasti Kalasan, prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Klurak, dan prasasti Mantyasih.
Kehidupan politik kerajaan Mataram Kuno diwarnai dengan pemerintahan dua dinasti yang silih berganti.
Berdasarkan prasasti Canggal, diketahui Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Sanjaya.
Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup aman da tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas.
Setelah Raja Sanjaya, Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Panangkaran. Dalam prasasti Kalasan disebutkan bahwa Rakai Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.
Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.
Sepeninggal Rakai Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Satu pemerintahan dipimpin oleh keluarga Sanjaya yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian selatan.
Satu pemerintah lagi dipimpin oleh keluarga Syailendra yang menganut agama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian utara.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.
Adapun raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasi Ligor, prasasti Nalanda dan prasasti Klurak.
Perpecahan tersebut tidak berlangsung lama. Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya mengadakan perkawinan dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram Kuno dapat dipersatukan kembali.
Pada masa pemerintahan Pikatan-Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur.
Sepeninggal Rakai Pikatan, Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung. Ia memerintah pada tahun 898-911 M. Pada masa pemerintahannya, Mataram kuno mencapai puncak kejayaanya.
Raja-raja yang memerintah Matara Kuno selanjutnya, yaitu Raja Daksa memerintah tahun 910-919 M, raja Tulodong memerintah tahun 919-924 M, dan Sri Maharaja Rakai Wawa memerintah tahun 924-929 M.
Pada masa Sri Maharaja Rakai Wawa terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang memporak-porandakan daerah Jawa Tengah.
Melihat situasi kerajaan yang tidak aman, Mpu Sindok sebagai pejabat dalam pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur.
Selain terjadinya bencana alam, perpindahan ini disebabkan oleh serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram Kuno bersumber dari usaha pertanian karena letana di pedalaman.
Selain pertanian, masyarakat Mataram Kuno juga mengembangkan kehidupan maritim dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.
Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya berupa candi dan stupa. Keluarga Sanjaya yang beragama Hindu meninggalkan candi-candi seperti kompleks Candi Dieng, kompleks candi Gedongsongo dan Prambanan.
Adapun keluarga Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan stupa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama.
Sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno diperoleh dari prasasti peninggalannya. Prasasti tersebut diantaranya adalah prasasti Canggal, prasasti Kalasan, prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Klurak, dan prasasti Mantyasih.
Kehidupan politik kerajaan Mataram Kuno diwarnai dengan pemerintahan dua dinasti yang silih berganti.
Berdasarkan prasasti Canggal, diketahui Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Sanjaya.
Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup aman da tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas.
Setelah Raja Sanjaya, Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Panangkaran. Dalam prasasti Kalasan disebutkan bahwa Rakai Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.
Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.
Sepeninggal Rakai Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Satu pemerintahan dipimpin oleh keluarga Sanjaya yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian selatan.
Satu pemerintah lagi dipimpin oleh keluarga Syailendra yang menganut agama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian utara.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.
Adapun raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasi Ligor, prasasti Nalanda dan prasasti Klurak.
Perpecahan tersebut tidak berlangsung lama. Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya mengadakan perkawinan dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram Kuno dapat dipersatukan kembali.
Pada masa pemerintahan Pikatan-Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur.
Sepeninggal Rakai Pikatan, Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung. Ia memerintah pada tahun 898-911 M. Pada masa pemerintahannya, Mataram kuno mencapai puncak kejayaanya.
Raja-raja yang memerintah Matara Kuno selanjutnya, yaitu Raja Daksa memerintah tahun 910-919 M, raja Tulodong memerintah tahun 919-924 M, dan Sri Maharaja Rakai Wawa memerintah tahun 924-929 M.
Pada masa Sri Maharaja Rakai Wawa terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang memporak-porandakan daerah Jawa Tengah.
Melihat situasi kerajaan yang tidak aman, Mpu Sindok sebagai pejabat dalam pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur.
Selain terjadinya bencana alam, perpindahan ini disebabkan oleh serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram Kuno bersumber dari usaha pertanian karena letana di pedalaman.
Selain pertanian, masyarakat Mataram Kuno juga mengembangkan kehidupan maritim dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.
Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya berupa candi dan stupa. Keluarga Sanjaya yang beragama Hindu meninggalkan candi-candi seperti kompleks Candi Dieng, kompleks candi Gedongsongo dan Prambanan.
Adapun keluarga Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan stupa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Posting Komentar