Materi IPS Kelas 9 Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer belum pernah mencapai kestabilan secara nasional.
Persaingan partai-partai politik yang menyebabkan pergantian kabinet terus terjadi.
Selain itu, Dewan Konstituante hasil pemilu tahun 1955 ternyata tidak berhasil melaksanakan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia.
Dewan Konstituante tidak berhasil melaksanakan tugasnya disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang dasar negara.
Aggota Dewan Konstituante dari PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan partai lain sehaluan mengajukan Pancasila sebagai dasar negara.
Sedangkan Masyumi, NU, PSII dan partai lain yang sehaluan mengajukan dasar negara Islam.
Dalam upaya menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan dimasukannya nilai-ilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar yang baru.
Namun usulan itu ditolak oleh pendukung Pancasila dan membuat kondisi negara semakin tidak stabil.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, muncul gagasan untuk melaksanakan model pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan kembali kepada UUD 1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Isinya adalah sebagai berikut:
- Menetapkan pembubaran Konstituante
- Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS)
- Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin bertujuan untuk menata kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang tidak stabil pada masa Demokrasi Parlementer dengan kembali melaksanakan UUD 1945.
Namun pada perkembangannya, pada masa Demokrasi Terpimpin justru terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Presiden menunjuk dan mengangkat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Seharusnya anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dipilih melalui pemilu bukan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden
2. Presiden membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPT) hasil pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong 9DPR-GR).
Seharusnya kedudukan presiden dan DPR adalah setara. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat memberhentikan Presiden.
3. Pengangkatan presiden seumur hidup.
Seharusnya Presiden dipilih setiap lima tahun sekali melaui pemilu sebagaimana amanat UUD 1945, bukan diangkat seumur hidup.
Pada masa Demokrasi Terpimpin kekuatan politik terpusat antara tiga kekuatan politik, yaitu: Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan TNI Angkatan Darat.
Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional.
Partai politik yang pergerakannya dianggap bertolak belakang dengan pemerintah dibubarkan dengan paksa.
Dengan demikian partai-partai politik itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya.
Sampai tahun 1961, hanya ada 10 partai politik yang diakui oleh pemerintah, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
1. Oldefo dan Nefo
Oldefo (The Old Established Forces) adalah sebutan untuk negara-negara barat yang sudah mapan ekonominya.
Khusunya negara-negara kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces) adalah sebutan untuk negara-negara baru, khususnya negara-negara sosialis.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia lebih banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara Nefo.
Hal ini terlihat dengan dibentuknya Poros Jakarta-Peking (Indonesia dan China) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara).
Terbentuknya poros ini mengakibatkan ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit. Indonesia terkesan memihak kepada blok sosial/komunis.
2. Politik Mercusuar
Politik Mercusuar merupakan politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan anggapan bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo.
Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar, diantaranya adalah penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), pembangungan kompleks olahraga Senayan, dan pembangunan Monumen Nasional (Monas).
3. Indonesia dalam Gerakan Non-Blok
Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, muncul gagasan untuk membentuk organisasi yang disebut dengan Gerakan Non-Blok.
Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) didirikan untuk menyikapi persaingan antara Blok Barat yang dipiminan Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet pada awal tahun 1960-an.
Persaingan kedua blok memicu terjadinya Perang Dingin (Cold War) yang dapat mengancam perdamaian dunia.
Berdirinya Gerakan Non-Blok diprakarsai oleh PM India Jawaharlal Nehru, PM Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Jossep Broz Tito.
Gerakan Non- Blok (GNB) secara resmi berdiri melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia.
Adapun tujuan pendirian Gerakan Non- Blok antara lain adalah sebagai berikut.
- Menentang imperialisme dan kolonialisme
- Menyelesaikan sengketa secara damai.
- Mengusahakan pengembangan sosial ekonomi agar tidak dikuasai negara maju.
- Membantu perdamaian dunia dan berusaha meredakan ketegangan Amerika Serikat dengan Uni Soviet.
Indonesia pun terlibat aktif dalam persiapan KTT I Gerakan Non-Blok di Beograd, Yugoslavia.
4. Konfrontasi dengan Malaysia
Konfrontasi dengan Malaysia berawal dari keinginan Federasi Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia.
Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia.
Filipina menentang karena menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Kesultanan Sulu.
Indonesia menetang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaaanya di Asia Tenggara.
Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.
Pada tanggal 16 September 1963 pendirian Federasi Malaysia diproklamirkan.
Menghadapi tindakan ini, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus.
Selanjtunya pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Isi Dwikora adalah sebagai berikut.
a) Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
b) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.
Pada saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Pencalonan ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno.
Pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB
5. Pembebasan Irian Barat
Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
Namun, pada kenyataanya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia.
Dalam penyelesaian masalah Irian Barat, pemerintah Indonesia melakukan upaya diplomasi bilateral dengan Belanda.
Upaya ini tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya sejak tahun 1954 setiap tahun persoalan Irian Barat berulang-ulang dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak pernah memperoleh tanggapan positif.
Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi total terhadap Belanda, antara lain sebagai berikut:
a) Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia- Belanda.
Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada.
b) Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia.
Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda.
c) Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore) untuk menandingi pembentukan negara Papua oleh Belanda.
Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
2) Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/ Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Antara bulan Maret sampai bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat.
Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat.
Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.
Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut.
Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian.
Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita berhasil, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat.
Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York.
Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
1) Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.
2). Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963 melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang dibentuk PBB.
3) Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
4) Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.
Berdasarkan hasil Pepera tahun 1969, Dewan Musyawarah Pepera secara aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia.
Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat
Peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi pada malam tanggal 30 September 1965.
Dalam peristiwa tersebut, sekelompok militer di bawah pimpinan Letkol Untung melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat serta memasukkan jenazah mereka ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta.
Setelah melakukan pembunuhan itu, kelompok tersebut menguasai dua sarana komunikasi penting, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) di jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pemimpin Gerakan 30 September Letnan Kolonel Untung mengumumkan melalui RRI Jakarta tentang gerakan yang telah dilakukannya.
Dalam pengumuman tersebut disebutkan bahwa Gerakan 30 September merupakan gerakan internal Angkatan Darat untuk menertibkan anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintah Presiden Soekarno.
Selain itu, diumumkan juga tentang tentang pembentukan Dewan Revolusi, pendemisioneran Kabinet Dwikora, dan pemberlakuan pangkat letnan kolonel sebagai pangkat tertinggi dalam TNI.
Pengumuman ini segera menyebar pada 1 Oktober 1965 dan menimbulkan kebinungungan di masyarakat.
Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) memutuskan segera mengambil alih pimpinan TNI Angkatan Darat karena Jenderal Ahmad Yani selalu Pangad saat itu belum diketahui keberadaanya.
Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasil, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan.
Dewan Perancang Nasional (Depernas) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1958.
Tugas dewan ini adalah menyiapkan rangcangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana serta menilai pelaksanaan pembangunan tersebut.
Dewan ini diketuai oleh Mohammad Yamin dngan 50 orang anggota. Pelantikannya secara resmi dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1959.
Pada 26 Juli 1960, Depernas berhasil menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana untuk tahun 1961-1969.
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui oleh MPRS dan ditetapkan dalam Tap MPRS No. 2 Tahun 1960.
Pada 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas). Ketuanya dijabat secara langsung oleh Presiden Soekarno.
Tugas badan ini menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek secara nasional dan daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan serta menilai hasil kerja manfataris untuk MPRS
Pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi (menurunkan nilai mata uang) Rp 1.000 dan Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50.
Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000.
Tujuan kebijakan devaluasi dan pembekuan simpanan ini adalah untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar demi kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta.
Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin.
Tujuan utama Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai kemajuan ekonomi.
Mengingat tidak mudah untuk mendapatkan bantuan luar negeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri).
Pada bulan September 1963 Presiden Soekarno menunda pelaksanaan Dekon dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.
Upaya-upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Kondisi ekonomi memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai.
Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis. Akibatnya, ekonomi semakin terpuruk.
Harga barang-barang naik mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp 1000 (uang lama) diganti dengan Rp 1 (uang baru).
Penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar.
Hal ini menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin berupa persaingan antarkekuatan politik yang ada berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia waktu itu.
Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama- Komunis) yang diciptakan Presiden Soekarno sangat menguntungkan PKI dan membuat kedudukannya di Indonesia semakin kuat.
Melalui Nasakom PKI berupaya agar seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk bidang sosial, pendidikan dan seni budaya berada di bawah dominasi politiknya.
Kampus dijadikan sebagai sarana politik, mahasiswa yang tidak ikut dalam rapat umum atau demonstrasi-demonstrasi dianggap sebagai lawan.
Media komunikasi massa seperti surat kabar yang menentang dominasi PKI dicabut Surat Ijin Terbitnya.
Dengan demikian surat kabar dikuasai oleh surat kabar PKI seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
Pada tahun 1950-an, murid-murid sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas jumlahnya banyak sekali dan sebagian besar mengharapkan menjadi mahasiswa.
Supaya mereka dapat melanjutkan pendidikan, pemerintah menetapkan kebijakan untuk mendirikan universitas baru di setiap ibu kota provinsi dan menambah jumlah fakultas di universitas- universitas yang sudah ada.
Untuk memenuhi keinginan umat Islam didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Adapun untuk murid-murid yang beragama Kristen Protestan dan Katholik didirikan Sekolah Tinggi Theologia dan seminari-seminari.
Selanjutnya, didirikan pula perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam, Kristen dan Katholik, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Kristen Indonesia serta Universitas Katholik Atmajaya.
Tercatat pada tahun 1961 telah berdiri sebanyak 181 buah perguruan tinggi. Pada tahun 1962 sistem pendidikan SMP dan SMA mengalami perubahan.
Dalam kurikulum SMP ditambahkan mata pelajaran Ilmu Administrasi dan Kesejahteraan Masyarakat, dan di SMA dilakukan penjurusan mulai kelas II, jurusan dibagi menjadi kelas budaya, sosial, dan ilmu alam.
Penjurusan ini bertujuan untuk mempersiapkan murid-murid SMA untuk memasuki perguruan tinggi.
Gerakan menabung bagi setiap murid dilakukan pada Bank Tabungan Pos, kantor pos, kantor pos pembantu.
Para penabung diatur oleh Departemen P dan K bersama dengan Direksi Bank Tabungan Pos.
Usaha ini bertujuan untuk mendidik anak berhemat dan mengumpulkan dana masyarakat. Gerakan koperasi sekolah juga digiatkan.
Murid aktif dalam penyelenggaraan koperasi. Kepala sekolah dan guru sebagai pengawas dan penasehat koperasi.
Pemerintah masa Demokrasi Terpimpin juga membentuk kelas khusus untuk menampung lulusan sekolah rakyat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan.
Mereka didik dalam kelas khusus ini agar mendapat keterampilan. Waktu pendidikan kelas khusus ini selama 2 tahun.
Pada tahun 1960-an muncul masalah di kalangan pendidik yaitu usaha PKI untuk menguasai Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Hal ini menyebabkan perpecahan di kalangan guru dan PGRI.
Dalam bidang seni muncul berbagai lembaga seni yang dibangun oleh partai politik, seperti Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) milik PKI, Lembaga Kesenian Nasional milik Partai Nasional Indonesia,
Lembaga seni-Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik Nahdhatul Ulama, dan Himpunan Budayawan Islam milik Masyumi.
Lembaga-lembaga tersebut saling bersaing dan memperebutkan dominasi sesuai dengan haluan politik partai yang menaunginya.
Pada masa Demokrasi Terpimpin bidang kesenian tidak luput dari upaya dominasi PKI.
Para seniman dan budayawan yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Manifesto Kebudayaan mendapat kecaman keras dari Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang pro PKI.
Presiden Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu, akibatnya tidak sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.
Setiawan, Iwan, dkk. 2017. Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Kelas IX. Jakarta: Kemendikbud
Posting Komentar