Apa Saja Bentuk Pergaulan Bebas?

Contoh bentuk pergaulan bebas yang terjadi di sekitar kita, yaitu praktik seks bebas/perbuatan zina. Seks bebas adalah perilaku keji yang dilarang agama Islam. 

Perbuatan seks bebas akan menjauhkan pelakunya dari jalan yang benar karena perbuatan ini akan berakibat merendahkan harkat dan martabat pelakunya di hadapan Allah Swt. dan di hadapan manusia. Itulah sebabnya mengapa Allah melarang umat Islam untuk mendekati perbuatan zina, mengingat perbuatan ini dapat mendatangkan mudarat yang besar dalam kehidupan manusia. 

Dalam pandangan Islam, Q.S. an-Nur/24: 2 mengandung penjelasan yang bersifat pasti. Karenanya, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikategorikan hukuman hudud, yakni suatu jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah Swt. 

Tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan zina tersebut, baik oleh penguasa atau pihak yang berkaitan dengannya. 

Berdasarkan Q.S. anNur/24: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum dera (dicambuk) sebanyak 100 kali. 

Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muḥșan (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadis Rasulullah Saw. maka diterapkan hukuman rajam, apabila kesalahan perbuatan zinanya terbukti sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama. 

Dalam eksekusinya pun, pihak yang berwenang diperintahkan untuk dapat berlaku tegas, dan dilarang berbelas kasihan yang dapat menjadikan gagal dalam pelaksanaan hukuman terhadap mereka. Hal ini dimaksudkan agar ketegasan pelaksanaan hukuman tersebut menjadi pelajaran dan ibrah bagi orang lain untuk tidak menirunya, karena ancaman hukumannya demikian nyata. 

 Terhadap ancaman hukuman yang begitu berat yang disebutkan dalam Q.S. an-Nur/24: 2, yaitu ancaman hukuman dera sebanyak 100 (seratus kali) tersebut, maka proses penetapan hukuman dan vonis bersalah atas perbuatan zina pun sangat sulit, bahkan hampir-hampir mustahil terpenuhi, kecuali atas pengakuan yang bersangkutan, dan itu pun dengan syarat-syarat yang cukup ketat sebagaimana yang dibahas sebelumnya. 

Dalam konteks ini yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanyalah khalifah (kepala negara) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Ketentuan ini berlaku bagi wilayah yang menerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam suatu negara. 

 Sebelum memutuskan hukuman bagi pelaku zina, maka ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yaitu (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. 

Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi (yang berjumlah empat orang) dan pengakuan pelaku. Ancaman dan penjatuhan hukuman syari’at Islam tersebut bukan hanya terhadap pelaku zina saja. 

Menuduh orang lain telah melakukan zina pun, mendapatkan ancaman yang sama besarnya apabila tuduhan tersebut tidak terbukti. Dalam kitab-kitab fikih, menuduh orang lain berbuat zina disebut qadf, yang definisinya sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam Kitab Fathul Qarib, yaitu: 

 Artinya: “Pasal tentang penjelasan hukum qadf. Secara bahasa qadf berarti menuduh. Secara syari’at bermakna menuduh berzina dengan tujuan untuk mempermalukan, agar keluar (terucap) pengakuan telah berzina”. 

Dengan demikian, ketika seeorang telah menuduh orang lain berzina, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan tersebut dengan wajib menghadirkan 4 (empat) orang saksi (satu di antaranya adalah dirinya sendiri) yang semuanya memberikan kesaksian bahwa tertuduh telah berzina dan melihat secara langsung tanpa terhalang oleh apa pun. 

Kesaksian keempat orang ini pun harus sama. Apabila penuduh tidak mampu menghadirkan saksi dengan ketentuan seperti tersebut di atas, maka keadaan justru terbalik, si penuduh akan diancam dengan hukuman had qadf, yakni dicambuk sebanyak 80 kali. 

Namun hukuman ini tidak berlaku apabila si penuduh adalah suami dari pihak tertuduh yang telah bersumpah li’an (sumpah suami bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain).

iklan tengah