Sejarah Indonesia XI BAB 4 Sumpah Pemuda dan Jati Diri Keindonesiaan

Dalam catatan sejarah dapat diingat bagaimana peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. 

Dibukanya program edukasi telah membuka jalan lahirnya kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional di Indonesia. 

Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda yang telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. 

Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen perubahan dan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran pemuda. 

Sebut saja peristiwa Proklamasi Indonesia, penumpasan G30S/PKI dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998, kaum muda tampil sebagai penggerak dan pelopor. 

Peranan mereka dapat menentukan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Tetapi sayang dalam kehidupan dewasa ini nilai-nilai kepeloporan kaum muda terpelajar itu tidak sepenuhnya dapat dipahami dan diteladani oleh para remaja, pemuda dan juga kaum terpelajar, kecuali sebagian kecil. 

Marilah kita perhatikan gejala dan kehidupan yang nampak pada remaja dan masyarakat kita di berbagai daerah dewasa ini. 

Munculnya perilaku anarkis di kalangan remaja, perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan narkoba dan rapuhnya rasa nasionalisme. 

Tidak sedikit di antara remaja kita yang lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai budaya dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme hampir dapat kita jumpai di berbagai daerah. 

Penggunaan Bahasa Indonesia yang mulai rusak-rusakan. 

Penolakan terhadap seorang pemimpin karena tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan, masih merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. 

Hal ini sebagai indikator rendahnya semangat nasionalisme dan jati diri keindonesiaan di lingkungan masyarakat kita. 

Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri bangsa ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir bermain sepak bola yang bernama Tristan Alif Naufal. 

Kini ia tengah mendapat undangan untuk berlatih sepak bola di klub Ajax Amsterdam, Belanda. 

Ia bersama kedua orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara Belanda dan mendapat kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang memang sangat menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. 

Aku tidak mau jadi warga negara Belanda, “aku mau tetap jadi orang Indonesia”, ujar Alif”. (Tribun Kaltim, 3 November 2013). 

Sungguh luar biasa pendirian anak berusia 8 tahun itu. 

Sudah barang tentu ilustrasi itu menginspirasi dan menggerakkan hati serta kesadaran kita untuk meneguhkan kembali semangat nasionalisme kita. 

Sehubungan dengan problem kehidupan remaja dan masyarakat yang mulai melemah semangat keindonesiaannya dan inspirasi dari anak berusia 8 tahun itu, penting untuk merevitalisasi nilai-nilai kepeloporan para pemuda yang telah menggelorakan nasionalisme serta prinsip persatuan dan kesatuan bangsa. 

Melalui kegiatan belajar kemudian memahami dan menghayati materi bab tentang Sumpah Pemuda dan Jati diri Keindonesiaan ini diharapkan dan dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. 

Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. 

Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. 

Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian- perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. 

Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. 

Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. 

Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial. 

Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. 

Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. 

Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. 

Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. 

Bahkan dari masingmasing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. 

Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri. 

Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. 

Pengalaman ini menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan. 

Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. 

Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. 

Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. 

Ia membuat tulisan yang berjudul “ Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). 

Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. 

Oleh karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. 

Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. 

Beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. 

Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. 

Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. 

Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Kebijakan baru itu adalah Politik Etis. Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). 

Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. 

Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. 

Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. 

Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. 

Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. 

Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera. 

Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. 

Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. 

Pendidikan itu hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/ Indonesia. 

Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. 

Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. 

Pendidikan dan pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. 

Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. 

Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. 

Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. 

Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. 

Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. 

Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana perubahan di lembaga tersebut.


Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. 

Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. 

Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. 

Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. 

Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. 

Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. 

Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. 

Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. 

Dalam perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. 

Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. 

Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. 

Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning. 

Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. 

Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. 

Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. 

Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926). 

Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. 

Kebudayaan cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. 

Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja ( Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. 

Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. 

Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. 

Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. 

Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. 

Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. 

Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. 

Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat tentang berita Asia dan Eropa. Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. 

Dalam tulisantulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. 

Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. 

Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. 

Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia. 

Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. 

Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. 

Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). 

Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). 

Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. 

Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). 

Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. 

Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). 

Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. 

Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang. 

Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. 

Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. 

Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. 

Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain. 

Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan. 

Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. 

Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. 

Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). 

Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. 

Di balik itu tujuan Komite Bumiputra adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat. 

Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”). 

Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. 

Pemerintah Kolonial Belanda menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. 

Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. 

Juga Widnjadisastra sebagai edito r Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. 

Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. 

Cipto pada awalnya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda. Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers adalah Semaun. 

Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. 

Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. 

Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. 

Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.


Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan. 

Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme, sosialisme. 

Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. 

Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. 

Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia. 

Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, Bangsa Indonesia. 

Kesadaran ini kemudian mendorong untuk merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang selama ini telah dilakukan. 

Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka munculnya kaum terpelajar, peran pers/media cetak, dan paham-paham baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh beberapa peristiwa dunia. 

Misalnya adanya Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan Nasional di India dan Filipina. 

Sekalipun didorong oleh banyak faktor, kesadaran berbangsa dan kebangkitan nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Belanda. 

Kesadaran bersama muncul bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan strateginya harus sudah berubah. 

Bentuk diplomasi dan melalui berbagai organisasi pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori oleh kaum terpelajar kemudian lahirlah berbagai organisasi pergerakan nasional. 

Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada kelompok perempuan. 

Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga non-kooperatif. 

Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. 

Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908. 

Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan. 

Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). 

Pada mulanya SI ini lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. 

Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. 

Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). 

Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. 

Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. 

Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran AlQuran dan Al-Hadis. 

Tindakannya adalah amar makruf nahi munkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul organisasi Nahdlatul Ulama (NU). 

Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya. 

Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. 

Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan ulama. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. 

Kedua oraganisasi Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di Indonesia 

Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain didirikannya Perkumpulan Politik Katolik Jawi (PPKJ). 

Organisasi ini didirikan I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. 

Organisasi ini juga bergerak di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia. 

Organisasi lain yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan yang bersifat nasional misalnya Taman Siswa. Organisasi ini didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal nama Ki Hajar Dewantoro. 

Tujuannya lebih diarahkan pada upaya memajukan pendidikan bagi bumiputera. Pendidikan yang ditawarkan adalah sistem pendidikan nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. 

Asas perjuangan Taman Siswa adalah “ Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani ”. 

Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. 

Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan Indonesia (PI). 

Pada mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang belajar di negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. 

Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari Indonesia seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi ini semakin bernuansa politik kebangsaan. 

Bahkan nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. 

Organisasi ini cukup revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. 

Majalahnya sebagai corong perjuangan yang semula bernama “Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan nasional. 

PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. 

Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. 

Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. 

Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya. 

Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa tokoh pemuda seperti Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi semacam PI. 

Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya, dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, diresmikanlah berdirinya partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). 

Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno. 

Pada Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia. 

Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan). 

Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Organisasi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet. 

Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. 

Dengan memperhatikan perkembangan politik, setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Hindia. 

Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua PKI yang pertama adalah Semaun. 

Pada tahun 1921 diterapkan disiplin partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus memilih salah satu. 

PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang. 

Masa pergerakan kebangsaan ini juga berkembang organisasi pemuda dan tidak ketinggalan organisasi para perempuan. 

Organisasi pemuda yang pertama berdiri di Indonesia adalah Trikoro Darmo. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 7 Mei 1915. 

Organisasi ini diharapkan menjadi wadah pembinaan generasi muda di Indonesia. Tokohnya antara lain: Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman. 

Nama Trikoro Darmo ini bermakna memiliki tiga tujuan utama yakni: sakti, budi dan bakti. 

Tujuan dan arah gerakan Trikoro Darmo untuk menciptakan wadah pelatihan dan pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional yang cinta tanah air. 

Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang umumnya dimiliki oleh organisasi induknya. 

Misalnya Muhammadiyah mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). 

Sementara itu itu di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi yang pertama adalah Puteri Mardika. 

Organisasi ini dibentuk pada tahun 1912 atas prakarsa BU. Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan kebangsaan, jelas orientasinya adalah untuk kemajuan bangsa. 

Bahkan ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk pembebasan Indonesia dari penjajahan. 

Namun organisasi-organisasi itu masih berkembang sendiri-sendiri. 

Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju cita-cita mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. 

Hal inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat mempersatukan berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.


Pada uraian di depan sudah disebutkan bahwa kaum muda terpelajar belum puas dengan perkembangan organisasi pergerakan yang belum bersatu. 

Kesadaran kebangsaan sudah tumbuh, tetapi masih terbatas pada anggota masing-masing organisasi. 

Dengan belajar dari perjuangan PI pemuda semakin bersemangat untuk mewujudkan persatuan di antara organisasiorganisasi pergerakan yang ada. 

Asas perjuangan PI tidak hanya menginspirasi para muda terpelajar, tetapi juga tokoh-tokoh organisasi pada umumnya. 

Sebagai contoh Ir. Sukarno. Ia belum juga puas dengan keadaan dan perkembangan organisasi-organisasi yang ada, termasuk PNI sebagai organisasi yang ia pimpin. 

Perkembangan PNI memang sangat pesat tetapi belum mampu membangun jaringan dan kerja sama dengan organisasi-organisasi yang lain. 

Oleh karena itu, Ir.Sukarno ingin membentuk wadah yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi. 

Sukarno pernah membentuk Konsentrasi Radikal pada tahun 1922. Konsentrasi Radikal dimaksudkan merupakan wadah penyatuan para nasionalis dan partai-partai yang diwakilinya. 

Gagasan tentang persatuan dan kerja sama antarorganisasi itu sudah lama didengungkan oleh PI. Bahkan “persatuan” menjadi salah satu asas perjuangan PI. 

Tahun 1926 Moh. Hatta dengan tegas menyatakan perlunya diciptakan “blok nasional” yang terdiri atas partai-partai politik (organisasiorganisasi pergerakan), baik yang berbasis komunis maupun yang nasionalis, (baik yang agamis maupun yang sekuler), guna menghadapi penjajahan pemerintah Hindia Belanda. 

Namun sayangnya pada tahun 1926 dan awal tahun 1927 PKI dengan ambisinya melakukan gerakan sendiri melawan kekuasaan Belanda dan akhirnya dapat dihancurkan oleh Belanda. 

Dengan peristiwa itu, maka tokoh-tokoh pergerakan nasionalis semakin bersemangat untuk membentuk kekuatan bersama. 

Apalagi kondisi politik saat itu yang diwarnai dengan sikap keras dan kejam pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi pergerakan. 

Oleh karena itu, sangat diperlukan kerja sama antara berbagai organisasi pergerakan yang ada. 

Kebetulan juga pada tahun 1927 telah terbit beberapa surat kabar yang memuat tulisan tentang perlunya mengatasi berbagai perbedaan untuk membangun kerja sama yang lebih kokoh. 

Dalam rangka merealisasikan gagasan tentang persatuan itu, Ir. Sukarno ingin membentuk wadah persatuan dengan memadukan aliran nasionalisme, Islam dan marxisme, sehingga merupakan kekuatan moral dan nasionalisme yang kokoh. 

Ir. Sukarno mendesak para pemimpin organisasi untuk membentuk sebuah federasi antarpartai dan organisasi yang sekaligus merupakan “front sawo matang” untuk menghadapi praktik diskriminasi kelompok kulit putih yang merasa superior. 

Federasi dalam hal ini harus mencerminkan situasi sosial dan politik di Indonesia dengan berbagai orientasi dan aliran yang beragam. 

Mengingat realitas ini maka federasi dibuat longgar dan tidak lebur. Ir. Sukarno segera menemui beberapa pimpinan organisasi untuk membahas ide persatuan melalui sebuah federasi. 

Sukarno juga bertemu dengan Dr. Sukiman sebagai pimpinan Partai Sarikat Islam (PSI) sebagai organisasi atau partai yang cukup besar di Indonesia. 

Serangkaian pertemuan dan diskusi dilakukan untuk membahas tentang pembentukan federasi antarpartai dan organisasi di Indonesia. 

Ada pemikiran bahwa organisasi baru hasil federasi itu akan diberi nama “Persatuan Rakyat Indonesia” (Sardiman AM, 1996). 

Untuk membahas secara resmi tentang ide federasi tersebut maka pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan rapat di Bandung. 

Hadir dalam rapat itu antara lain perwakilan dari BU, PNI, PSI, PPKI, beberapa organisasi pemuda seperti Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Pasundan, Kelompok Studi Indonesia. 

Mereka sepakat mendirikan sebuah federasi yang diberi nama “Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI). 

Kemudian sebelum terbentuk kepengurusan federasi yang tetap, terlebih dulu dibentuk semacam panitia yang diketuai oleh Sabirin. Akhirnya terbentuk kepengurusan tetap PPPKI, sebagai berikut. 

Dewan Penasihat : Ir. Sukarno dan Dr. Sukiman 

Ketua : Iskaq Cokroadisuryo 

Sekretaris merangkap Bendahara : Dr. Samsi 


Adapun tujuan dari PPPKI adalah sebagai berikut: 

1) Mencegah perselisihan antarpartai dan organisasi 

2) Menyatukan arah dan cara beraksi dalam perjuangan ke kemerdekaan Indonesia. 

3) Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia dengan berbagai lambangnya, seperti Sang Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan Bahasa Indonesia.


Munculnya elite baru di kalangan kaum muda terpelajar, telah melahirkan pemahaman baru, yakni tentang kebangsaan. 

Kalangan elite baru itu lebih cenderung memilih pekerjaan sebagai guru, penerjemah, dokter, pengacara, dan wartawan agar dapat memberikan perlindungan dan advokasi kepada rakyat. 

Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun dalam loyalitas kedaerahan. 

Seperti telah disinggung di depan bahwa pada tahun 1915 telah lahir organisasi pemuda yang pertama, Trikoro Darmo. 

Trikoro Darmo ini diharapkan menjadi wadah pembinaan generasi muda untuk penjadi pemimpin nasional yang memiliki rasa cinta tanah air. 

Organisasi Trikoro Darmo dirasakan para anggotanya cenderung Jawa sentris, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Oleh karena itu, dalam kongresnya di Solo pada 12 Juli 1918, nama Trikoro Darmo diganti menjadi Jong Java, yang berarti Jawa Muda. 

Harapannya masyarakat dan komunitas Sunda di Jawa Barat dan juga Kaum Betawi bisa bergabung dengan Jong Java. 

Pada dasarnya Jong Java ini bukan organisasi politik dan anggotanya tidak berpolitik. 

Organisasi ini lebih menaruh perhatian pada pendidikan dan pelatihan. 

Namun dalam perkembangannya atas usul Samsurijal pada kongers Jong Java tahun 1924, bahwa anggota Jong Java itu dibagi dalam dua kelompok. 

Kelompok pertama anggota yang berusia di bawah 18 tahun tidak boleh berpolitik dan kelompok kedua anggota yang berusia 18 tahun ke atas diizinkan untuk ikut dalam gerakan politik. 

Berkembangnya organisasi Jong Java ini telah mendorong munculnya organisasi pemuda di berbagai daerah. 

Misalnya pada tanggal 9 Desember 1917 berdiri organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. 

Organisasi ini didirikan oleh para pelajar dan pemuda Sumatera yang ada di Jakarta. Tokohnya antara lain Moh. Hatta, Muh. Yamin. 

Tujuannya untuk mempererat tali persaudaraan dan persatuan antarpelajar dari Sumatera. Pada tahun 1918 berdiri organisasi pemuda yang bernama Jong Minahasa. 

Menyusul berikutnya berdiri Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon, Jong Borneo (Kalimantan). Kemudian Sekar Rukun, organisasi pemuda dari tanah Sunda yang didirikan oleh para pelajar Sekolah Guru. 

Organisasi-organisasi ini berorientasi pada kedaerahan atas dasar prinsip persatuan. 

Tujuan dikembangkannya organisasi-oraganisasi itu untuk mempersatukan para pemuda dan pelajar yang merupakan keturunan dari orang tua yang berasal dari daerah-daerah yang bersangkutan (misalnya anggota Jong Celebes para pemuda/pelajar keturunan orang tua dari Sulawesi, Jong Ambon, para pemuda keturunan orang tua dari Ambon, dan begitu seterusnya). 

Selain berkembang organisasi pemuda dari berbagai daerah juga muncul organisasi pemuda dari kelompok agama. 

Sebagai contoh dari penganut agama Islam muncul organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). 

Organisasi ini atas ide Agus Salim setelah usulnya untuk memasukkan unsur Islam di dalam Jong Java, tidak diterima. 

Oleh karena dibentuk Jong Islamieten Bond untuk mewadahi para pemuda yang berasal dari kalangan Islam. 

Sebagai ketua JIB dipercayakan kepada Samsurijal dan Agus Salim sebagai penasihat. 

Sekalipun berbasis Islam, JIB memperjuangkan persatuan nasional Perkembangan organisasi-organisasi pemuda tersebut semakin meramaikan suasana pergerakan kebangsaan di Indonesia, apalagi setelah beberapa organisasi pemuda mulai bersentuhan dengan gerakan politik. 

Sebagai contoh pada lustrum pertama Jong Sumatranen Bond pada tahun 1923. 

Dalam lustrum itu Muh. Yamin menyampaikan pidato yang bertajuk; De Maleische Taal in het verleden, heden en ini de toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang dan Masa Datang). 

Muh. Yamin melontarkan gagasan pentingnya sebuah majalah kebudayaan yang diberi nama Malaya (nama ini dalam rangka mengambil hati penduduk Malaya yang masih berada di bawah penjajahan Inggris). 

Gagasan ini dapat dimaknai bahwa perlunya bangsa Indonesia memiliki bahasa pengantar yang bersumber dari budaya sendiri (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Begitu juga Jong Java setelah tahun 1924 nuansa politik semakin jelas. 

Sementara itu JIB sudah sangat kental dengan gerakan politik. 

Dengan demikian, telah terjadi perubahan pesat dan radikal di lingkungan organisasi pemuda. Organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai citacita persatuan Indonesia. 

Pada tanggal 15 November 1925 dilaksanakan pertemuan organisasiorganisasi pemuda. 

Hadir dalam pertemuan itu antara lain perwakilan dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pelajarpelajar Minahasa, Sekar Rukun. 

Dalam pertemuan ini antara lain dibahas tentang rencana kongres pemuda. Kemudian setelah pertemuan ini juga dibentuk sebuah komite dipimpin oleh Tabrani. 

Komite ini diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan kongres pemuda. 

Setelah dilakukan berbagai persiapan maka pada 30 April – 2 Mei 1926, diadakannya rapat besar pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan Kongres Pemuda Pertama. Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani. 

Tujuan kongres itu adalah untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk suatu badan sentral. 

Keberadaan badan sentral ini dimaksudkan untuk memantapkan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan. 

Gagasan-gagasan persatuan dibicarakan dan juga dipaparkan oleh para tokoh dalam kongres itu. Sumarto misalnya, tampil sebagai pembicara dengan topik “Gagasan Persatuan Indonesia”. 

Bahder Djohan tampil dengan topik “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Nona Adam yang menyampaikan gagasannya tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. 

Djaksodipoero berbicara tentang “Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”. 

Muhammad Yamin berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”. 

Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong Sumatranen Bond. 

Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof. Dr. Hooykes, bahwa kelak Muh. Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia. 

Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dapat semakin terdesak. 

Dalam Kongres Pemuda I telah muncul kesadaran dan kesepahaman tentang perlunya bahasa kesatuan. 

Pada saat kongres ini telah diusulkan untuk memutuskan bahasa kesatuan yang pilihannya antara bahasa Jawa atau Bahasa Melayu. 

Setelah dipilih satu di antara dua bahasa itu akhirnya dipilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang disebut dengan Bahasa Indonesia. 

Jadi pada akhir Kongres Pemuda I itu sudah disepakati dan diputuskan bahwa bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia. 

Hanya pada waktu M. Tabrani mengusulkan dan kemudian memutuskan agar Ikrar Pemuda yang mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dibicarakan lagi pada Kongres Pemuda berikutnya. 

Inilah hasil penting dari Kongres Pemuda I. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kongres Pemuda I telah melahirkan keputusan yang mendasar yakni mengakui dan menerima tentang cita-cita persatuan Indonesia dan bahasa Indonesia disepakati sebagai perekatnya. 

Perlu diketahui bahwa usul mengenai bahasa Indonesia itu sebenanrnya datang dari M. Tabrani. 

Semula Muh. Yamin agak keberatan, namun setelah berdiskusi dengan Sanusi Pane dan dan Adinegoro, disepakati yang diusulkan sebagai bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia yang intinya berasal dari bahasa Melayu yang akan diperkaya oleh bahasa-bahasa lainnya


Perangkat lunak untuk membangun dan memperkokoh persatuan sudah disepakati, yakni bahasa. Namun, dalam rangka melawan penjajahan harus juga diwujudkan secara kongkret. 

Organisasi atau partai yang berjalan sendirisendiri tentu tidak efektif. Begitu juga organisasi pemuda yang terpisah-pisah tidak akan bisa melawan penjajahan. 

Oleh karena itu, setelah Kongres Pemuda I berakhir, berkembang usulan agar dilakukan penggabungan berbagai organisasi pemuda yang ada. 

Sebagai realisasinya maka pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan pertemuan organisasi-organisasi pemuda di Jakarta. 

Hadir dalam pertemuan itu perwakilan antara lain dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Jong Bataks Bond , Jong Celebes, Perhimpunan Pelajar Ambon, juga dihadiri Komite Kongres Pemuda I. 

Dalam pertemuan ini diusulkan agar dibentuk badan tetap untuk keperluan persatuan Indonesia. Berkaitan dengan usulan ini maka tanggal 31 Agustus 1926 telah disahkan Anggaran Dasar untuk suatu perkumpulan atau organisasi pemuda yang baru yang diberi nama Jong Indonesia . 

Namun realisasinya belum memuaskan seperti yang diharapkan para pemuda. 

Baru pada tanggal 20 Februari 1927 ada pertemuan yang digagas oleh Algemene Studie Club di Bandung. 

Pertemuan tersebut berhasil mendirikan organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesia. Organisasi ini berdasarkan pada asas kebangsaan atau nasionalisme. 

Tokoh-tokoh yang ada di dalam Jong Indonesia itu antara lain: Sutan Syahrir, Suwiryo, Halim, Moh. Tamzil, Yusupadi, dan Notokusumo. 

Di samping organisasi itu, pada bulan September 1926 juga diadakan pertemuan para pelajar atau mahasiswa. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk perkumpulan yang diberi nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar di Indonesia (PPPI). 

Anggota umumnya dari para mahasiswa STOVIA dan Sekolah Tinggi Hukum. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. 

Cita-cita hanya dapat tercapai bila paham kedaerahan dihilangkan dan perselisihan pendapat di antara kaum nasionalis harus dihapuskan. Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. 

Ketua perkumpulan itu Soegondo Djojopoespito, tokoh-tokoh lainnya adalah Muh. Yamin, Abdullah Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Sunarko, Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden. Mereka mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak formal. 

PPPI memiliki peran penting dalam pertemuan-pertemuan berikutnya dalam rangka mewujudkan persatuan Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda. Dua oragisasi PPPI dan Jong Indonesia ini memiliki peran strategis dalam perjuangan pemuda untuk mewujudkan persatuan Indonesia. 

Memasuki tahun 1927 perjuangan pemuda mengalami percepatan yang luar biasa. 

Setiap ide persatuan untuk membebaskan Indonesia ditangkap dengan segera, baik oleh kelompok pemuda bahkan juga kelompok tua. 

Dinamika silaturahmi antarorganisasi terus dilakukan untuk mencapai kesepatan dan mewujudkan. 

Gerakan semangat dan gelora perjuangan para pemuda ini semakin meningkat untuk merapatkan barisan perjuangan di tanah Hindia, karena didukung oleh bergabungnya tokoh-tokoh dan para pelajar dari Perhimpunan Indonesia yang baru saja kembali ke tanah air. 

Di antara mereka adalah Sartono, Moh. Nazif, dan Mononutu. Selama dua tahun itulah para pemuda mengadakan pertemuan secara intensif di Indonesische Clubgebouw. 

Pada tanggal 28 Desember 1927, Jong Indonesia menyelenggarakan kongres di Bandung. 

Dalam kongres ini Ir. Sukarno memberikan ceramah yang dapat menambah semangat para pemuda. Dalam kongres ini juga menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia. 

Beberapa keputusan penting dalam kongres ini antara lain: 

1. Menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia 

2. Bahasa Indonesia (akhirnya dipilih bahasa Melayu) dijadikan bahasa pengantar organisasi Pemuda Indonesia. 

3. Pemuda Indonesia menyetujui usul PPPI tentang dibentuknya fusi semua organisasi–organisasi lainnya yang berasaskan kebangsaan. 

Selanjutnya untuk merealisasikan gagasan fusi semua organisasi itu, PPPI segerta mengambil langkah-langkah. 

Diadakanlah pertemuan untuk membentuk panitia yang dikenal sebagai Panitia Kongres Pemuda II. Panitia ini akan bertanggung jawab terhadap serangkaian acara seperti rapatrapat terbuka dan ceramah-ceramah yang menganjurkan dan menguatkan semangat persatuan. 

Pada bulan Juni 1928, panitia kongres dibentuk. Terpilih sebagai Ketua Kongres Pemuda II adalah Soegoendo Djojopoespito dari PPPI. 

Selengkapnya susunan panitia itu sebagai berikut.

Ketua : Soegoendo Djojopoespito dari PPPI 

Wakil Ketua : Djoko Marsaid dari Jong Java, 

Sekretaris : Muh. Yamin dari Sumatranen Bond Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataks Bond 

Pembantu I : Djohan Muh. Tjai dari Jong Islamieten Bond 

Pembantu II : Kontjosungkono dari Pemuda Indonesia 

Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes 

Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon 

Pemantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi Banyak tokoh-tokoh dari Perhimpunan Indonesia yang memberi saran dan masukan dalam penyelenggaraan kongres, misalnya Sartono, S.H., Sunario, SH., Moh. Nazif, A.J.Z Mononutu. 

Kongres Pemuda II ini dialaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Yang diundang dalam kongres ini adalah semua organisasi pemuda dan mahasiswa, serta berbagai organisasi dan partai yang sudah ada. 

Tampak hadir beberapa tokoh pemuda ataupun tokoh senior, seperti: Soegoendo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Muh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sartono, Kartokusumo, Abdulrahman, Sunario, Kartosuwiryo, S. Mangunsarkoro, Nonan Purnomowulan, Siti Sundari, Muh. Roem, Wongsonegoro, Kasmansingodimedjo, dan A.K. Gani. Kongres itu juga dihadiri perwakilan dari Volksraad dan juga dari pemerintah Hindia Belanda. 

Diperkirakan hadir lebih dari 750 orang. Kongres itu dilaksanakan dalam tiga tahapan sidang. 

Rapat pertama Dilaksanakan hari Sabtu, 27 Oktober 1928 malam bertempat di gedung Katholik Jongelingen Bond, Waterloopen. Rapat dibuka oleh Ketua Panitia Kongres Pemuda II. 

Di dalam pembukaan ini juga dibacakan amanat tertulis dari Ir. Sukarno, amanat tertulis dari pengurus Perhimpunan Indonesia yang ada di Belanda. 

Sementara itu, dalam pidato pembukaan Soegoendo Djojopoespito menyerukan tentang pentingnya Indonesia Bersatu. 

Dalam sidang pertama, Muh. Yamin memberikan ceramah tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia. 

Dalam ceramahnya itu Yamin menegaskan ada lima faktor yang dapat memperkuat persatuan bangsa, yakni faktor: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua Rapat kedua dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, berlangsung pukul 08.00-12.00 Sidang dilaksanakan di Oost Java Bioscoop Koningsplein. 

Rapat membahas hal-hal yang berkait dengan pendidikan. Beberapa tokoh tampil berbicara misalnya Nona Purnomowulan, S. Mangunsarkoro. Ki Hajar Dewantoro diharapkan dapat tampil sebagai pembicara tetapi berhalangan hadir. 

Rapat ketiga Rapat ketiga dialksanakan pada hari Minggu 28 Oktober 1928 17.30-20.00 Rapat ini dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw., Jl. Kramat Raya 106. 

Pada rapat ketiga ini rencananya akan diramaikan dengan acara pawai atau arak-arakan organisasi kepanduan. 

Namun, pawai gagal dilakukan karena dihalang-halangi oleh pihak polisi Belanda. Hal ini mengecewakan para peserta. 

Walaupun demikian, kekecewaan ini tidak menyurutkan semangat para peserta. Bahkan sebaliknya semakin membakar semangat para peserta kongres. 

Pada rapat yang ketiga ini juga diisi ceramah-ceramah. Misalnya Ramelan menyampaikan tentang gerakan kepanduan. 

Berikutnya Sunario menyampaikan materi tentang “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Bangsa” dalam ceramah ini ditekankan pentingnya persatuan dan kehidupan yang demokratis dan patriotis. 

Rapat kemudian diistirahatkan. Pada saat istirahat ini tampillah W.R. Supratman untuk memainkan lagu yang diberi judul “Indonesia Raya”. 

Namun untuk menyiasati agar tidak dilarang oleh orang Belanda yang hadir, W.R. Supratman menampilkan lagu tersebut secara instrumental dengan biola. 

Lagu inilah yang kemudian kita kenal dengan Lagu Kebangsaan Indonesia dan bendera Merah Putih diakui sebagai bendera kebangsaan. 

Setelah istirahat kemudian rapat dilanjutkan. 

Pada puncak Kongres Pemuda II ini diikrarkan sebuah sumpah yang kemudian kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda senantiasa menjadi keputusan penting yang historismonumental dalam Kongres Pemuda II. 

Naskah rumusan ikrar Sumpah Pemuda ini selengkapnya dirumuskan oleh Muh. Yamin. Setelah Kongres Pemuda II berakhir, perkumpulan-perkumpulan pemuda segera menyiapkan untuk melakukan proses fusi. 

Bahkan Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar dan tertua mengadakan kongres tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta memutuskan menyetujui untuk ikut fusi di dalam perkumpulan pemuda baru yang akan segera dibentuk. 

Sebagai pematangan persiapan fusi, pada tanggal 24 April dan 25 Mei 1929 diadakan pertemuan di gedung Indonesia Clubgebouw yang dihadiri perwakilan perkumpulan pemuda seperti perwakilan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Pemuda Indonesia. 

Dalam pertemuan ini disepakati hasil fusi akan melahirkan organisasi pemuda yang baru yang berdasarkan pada kebangsaan Indonesia. 

Untuk itu dibentuklah suatu komisi besar yang anggotanya diambil dari berbagai organisasi pemuda. Berdasarkan perwakilan dari masing-masing organisasi itu disusunlah struktur Komisi Besar Indonesia Muda, sebagai berikut. 

Ketua : Kuntjoropurbopranoto 

Wakil Ketua : Muh. Yamin 

Penulis I : Joesoepandi 

Penulis II : Sjahrial Bendahara I : 

Assaat Bendahara II : Soewadji Prawirohardjo 

Administratie I : A.K. Gani Administratie II : Mohammad Tamzil Pembantu : G.R. Pantouw 

Pembantu : Surjadi 

Selanjutnya Komisi Besar Indonesia Muda ini menyelenggarakan kongres pada tanggal 28 Desember 1930 - 2 Januari 1931 di gedung Habiprojo Surakarta. 

Dalam kongres ini diputuskan organisasi baru sebagai hasil fusi berbagai organisasi pemuda yang diberi nama Indonesia Muda. Tepat pukul 12.00 WIB semua hadirin diminta untuk berdiri dan piagam pendirian Indonesia Muda dibacakan. 

Pada saat itu Panji-panji Indonesia Muda berkibar untuk selama-lamanya diiringi bunyi gamelan, setelah gamelan berhenti semua pemuda yang hadir menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. 

Pada saat diresmikan Indonesia Muda sudah memiliki 25 cabang di seluruh Indonesia dengan 2.393 anggota (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). 

Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis perkumpulan atau berbagai organisasi pemuda yang ada menyatakan membubarkan diri. 

Tujuan organisasi Indonesia Muda ini adalah membangun dan mempertahankan keinsyafan antara anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. 

Karena Indonesia Muda berusaha memajukan rasa saling menghargai dan memelihara persatuan semua anak bangsa, menjalin kerja sama dengan semua komponen bangsa, mengadakan kursus-kursus untuk memberantas buta huruf, memajukan kegiatan olah raga, dan lainlain.


Menurut Taufik Abdullah, kisah Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda memperlihatkan pada kita tentang satu hal yang menarik dalam pengetahuan masa lalu kita. 

Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu produk dari berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan “Kongres Pemuda”. 

Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan fundamental dari sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan. Ia terbentuk melalui kurun yang waktu panjang. 

Tujuh tahun setelah terbentuknya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun masih dalam tahapan loyalitas kepulauan. 

Perubahan pesat dan radikal dari organisasi-organisasi pemuda itu mendorong mereka untuk menciptakan persatuan yang lebih luas. 

Dengan demikian, jelas nilai yang utama dari peristiwa Sumpah Pemuda adalah nilai persatuan. 

Persatuan yang diilhami oleh asas perjuangan Perhimpunan Indonesia ini sudah lama diperjuangkan oleh para pemuda. 

Para pemuda dengan memahami sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, telah melahirkan kesadaran yang mendalam tentang pentingnya persatuan. 

Kiranya dapat cermati bagaimana ratusan tahun bangsa kita berjuang untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajahan. 

Aceh berjuang, Banten, Mataram, Makassar, Maluku, tetapi gagal karena mereka berjuang di daerahnya sendiri-sendiri. Selanjutnya Patimura, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien juga kandas tidak mampu mengusir penjajah karena tidak ada saling membantu di antara mereka. Mereka belum mampu menjalin persatuan di antara mereka. 

Begitu juga di era modern BU, SI, Indische Partij, PSI, PKI, PNI belum berhasil membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. 

Setiap organisasi masih cenderung berjuang dengan organisasinya sendiri. 

Oleh karena itu, berbagai organisasi pemuda berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan persatuan di antara anak bangsa, minimal di kalangan pemuda. 

Lahirnya Indonesia Muda diharapkan dapat menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk menciptakan Indonesia Raya, membebaskan diri dari penjajahan, dan akhirnya tercapai kemerdekaan. Nilai berikutnya, adalah kemandirian, jati diri, kedaulatan atau penguatan nasionalisme. 

Secara tidak langsung dengan peristiwa Sumpah Pemuda, para pemuda telah meneguhkan pentingnya jati diri Indonesia, penguatan semangat kebangsaan atau nasionalisme. 

Hal ini tercermin dalam ikrar satu tanah air, satu bangsa dan keikhlasan menjunjung satu bahasa: INDONESIA 

Pernyataan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia ini menunjukkan adanya kesadaran yang amat tinggi tentang jati diri dan semangat kebangsaan kita semua sebagai orang Indonesia. 

Di dalam jati diri dan ruh kebangsaan itu tentu mengandung kemandirian, kalau bangsa ini mandiri berarti berdaulat, berdaulat berarti tidak dijajah orang lain, itulah kemerdekaan. 

Di balik peristiwa Sumpah Pemuda, juga terkandung nilai demokrasi. Setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, persatuan diwujudkan maka langkah-langkah perjuangan pun dilaksanakan. 

Dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Raya, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa perlu ada program-program kebersamaan, saling menghargai, dan rembug bareng di antara komponen bangsa untuk memajukan bangsa. 

Setelah maju dapat mandiri dan bedaulat. Bahkan dalam strategi politik para pemuda juga mengembangkan sikap saling menghargai baik yang mengambil langkah kooperasi maupun nonkooperasi. 

Mereka dalam berjuang tidak lagi dengan fisik dan kekerasan tetapi dengan bermusyawarah, berdemokrasi misalnya melalui Volksraad.


iklan tengah