Sejarah Indonesia XII BAB 3 Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Kehidupan sosial politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950
hingga 1959) belum pernah mencapai kestabilan secara nasional.
Kabinet yang silih berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Partai-partai politik saling bersaing dan saling menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok masingmasing.
Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia.
Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik.
Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi raba-raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden Soekarno semata.
Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya menyederhanakan partaipartai politik yang ada dan membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang menang dalam Pemilihan Umum 1955.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh politik dan tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet.
Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat (koalisi) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat.
Lebih jauh Presiden Soekarno juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia.
Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957.
Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi.
Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957.
Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut,
Pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang.
Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.
Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Langkah pertama adalah pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957.
Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba mengganti sistem Demokrasi Parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan Demokrasi Terpimpin.
Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali ke UUD 1945. Usulan ini berawal dari KSAD Letnan Jenderal Nasution yang mengajukan usul secara tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Usulan Nasution ini kurang didukung oleh wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankan UUD Sementara 1950.
Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno ragu untuk mengambil keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 1945.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah mengeluarkan suatu keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945
Keputusan ini pun kemudian disampaikan Presiden Soekarno di hadapan anggota DPR pada tanggal 2 Maret 1959.
Karena yang berwenang menetapkan UUD adalah Dewan Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat terkait kembali ke UUD 1945 di hadapan anggota Dewan Konstituante pada tanggal 22 April 1959.
Dalam amanatnya Presiden Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi dan mendengarkan amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.
Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian meminta anggota Dewan Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa adanya tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai UUD RI yang tetap.
Dewan Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk mengambil keputusan terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan pemungutan sebanyak tiga kali tidak mencapai kuorum untuk menetapkan kembali UUD 1945.
Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya untuk selamanya.
Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante.
Kondisi ini membuat situasi politik menjadi sangat genting, konflik politik antarpartai semakin panas dan melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah munculnya beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H. Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 Pagi.
KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden.
Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan Konstituante untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945.
Pertemuan tersebut juga menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekret Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan Dekret yang memuat tiga hal pokok, yaitu:
Dekret juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik.
Mereka berharap dengan Dekret akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekret pun dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Dekret juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung.
Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekret, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret Presiden.
Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekret Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan melalui Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang.
Langkah politik ini terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Sehari sesudah Dekret Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.
Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet Kerja.
Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio.
Keanggotaan kabinet terdiri atas sembilan menteri dan dua puluh empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai.
Namun kabinet ini mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri negara ex officio.
Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Pembentukan kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya.
DPAS bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959.
Anggota DPAS dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.
Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya.
Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
DPAS dalam sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.
Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua.
Anggota MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Mereka yang diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto Politik.
MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2/1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sementara itu, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang diajukan pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1959.
Pada awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR secara aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Akan tetapi benih konflik sebenarnya sudah mulai muncul antara ketua DPR dan Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet.
Bahkan Sartono meyakinkan Presiden bahwa mandat itu pasti akan diberikan, namun Presiden Soekarno menolak, ia hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan lain-lain, bukan untuk meminta mandat.
Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR. Konflik terbuka antara DPR dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah.
Penolakan tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960.
Ia kemudian mendirikan DPR Gotong Royong (DPR-GR).
Para anggota DPR-GR ditunjuk Presiden tidak berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Kristen-Katolik dan golongan fungsional.
Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua kelompok besar yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya) dengan perbandingan 130 wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional.
Pelantikan anggota DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Kedudukan DPR-GR adalah Pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh MPRS.
Pembubaran DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI.
Tokoh NU yang pada awalnya keberatan atas pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan anggotanya untuk DPR-GR.
Akan tetapi sikap ini berubah setelah jatah kursi kursi NU dalam DPR-GR ditambah. Namun, K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.
Tokoh dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno datang dari dua orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo.
Sartono merasa prihatin terhadap perkembangan yang ada dan Iskaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk dalam DPR-GR bukanlah wakil PNI.
Hubungan mereka dengan PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka yang duduk dalam DPR-GR adalah hasil penunjukkan.
Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang menolak pembubaran DPR-GR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan dirinya Liga Demokrasi.
Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan. Kelompok ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPR-GR.
Namun Liga Demokrasi ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno.
Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front Nasional.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.
Dalam penetapan ini disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD 1945.
Front Nasional langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.
Langkah Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan regrouping kabinet berdasarkan Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif.
MPRS, DPRGR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancang Nasional dipimpin langsung oleh Presiden.
Pengintegrasian lembaga-lembaga tersebut dengan eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintah pada lembaganya masing-masing.
Selain itu, Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi.
Keanggotaan MPPR meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom.
Penilaian terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya dalam Majalah Islam “Panji Masyarakat” pada tahun 1960 yang berjudul “Demokrasi Kita”.
Hatta mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan Presiden, tugas-tugas DPR sampai pada pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’, yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaan, lupa syaratsyarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator.
Kabinet yang silih berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Partai-partai politik saling bersaing dan saling menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok masingmasing.
Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia.
Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik.
Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi raba-raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden Soekarno semata.
Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya menyederhanakan partaipartai politik yang ada dan membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang menang dalam Pemilihan Umum 1955.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh politik dan tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet.
Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat (koalisi) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat.
Lebih jauh Presiden Soekarno juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia.
Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957.
Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi.
Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957.
Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut,
Pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang.
Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.
Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Langkah pertama adalah pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957.
Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba mengganti sistem Demokrasi Parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan Demokrasi Terpimpin.
Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali ke UUD 1945. Usulan ini berawal dari KSAD Letnan Jenderal Nasution yang mengajukan usul secara tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Usulan Nasution ini kurang didukung oleh wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankan UUD Sementara 1950.
Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno ragu untuk mengambil keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 1945.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah mengeluarkan suatu keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945
Keputusan ini pun kemudian disampaikan Presiden Soekarno di hadapan anggota DPR pada tanggal 2 Maret 1959.
Karena yang berwenang menetapkan UUD adalah Dewan Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat terkait kembali ke UUD 1945 di hadapan anggota Dewan Konstituante pada tanggal 22 April 1959.
Dalam amanatnya Presiden Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi dan mendengarkan amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.
Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian meminta anggota Dewan Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa adanya tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai UUD RI yang tetap.
Dewan Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk mengambil keputusan terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan pemungutan sebanyak tiga kali tidak mencapai kuorum untuk menetapkan kembali UUD 1945.
Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya untuk selamanya.
Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante.
Kondisi ini membuat situasi politik menjadi sangat genting, konflik politik antarpartai semakin panas dan melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah munculnya beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H. Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 Pagi.
KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden.
Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan Konstituante untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante.
Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945.
Pertemuan tersebut juga menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekret Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan Dekret yang memuat tiga hal pokok, yaitu:
- Menetapkan pembubaran Konstituante.
- Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekret dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
- Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekret juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik.
Mereka berharap dengan Dekret akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekret pun dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Dekret juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung.
Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekret, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret Presiden.
Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekret Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan melalui Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang.
Langkah politik ini terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI.
Sehari sesudah Dekret Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.
Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet Kerja.
Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio.
Keanggotaan kabinet terdiri atas sembilan menteri dan dua puluh empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai.
Namun kabinet ini mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri negara ex officio.
Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Pembentukan kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya.
DPAS bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959.
Anggota DPAS dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.
Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya.
Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
DPAS dalam sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.
Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua.
Anggota MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Mereka yang diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto Politik.
MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2/1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sementara itu, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang diajukan pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1959.
Pada awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR secara aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Akan tetapi benih konflik sebenarnya sudah mulai muncul antara ketua DPR dan Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet.
Bahkan Sartono meyakinkan Presiden bahwa mandat itu pasti akan diberikan, namun Presiden Soekarno menolak, ia hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan lain-lain, bukan untuk meminta mandat.
Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR. Konflik terbuka antara DPR dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah.
Penolakan tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960.
Ia kemudian mendirikan DPR Gotong Royong (DPR-GR).
Para anggota DPR-GR ditunjuk Presiden tidak berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Kristen-Katolik dan golongan fungsional.
Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua kelompok besar yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya) dengan perbandingan 130 wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional.
Pelantikan anggota DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Kedudukan DPR-GR adalah Pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh MPRS.
Pembubaran DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI.
Tokoh NU yang pada awalnya keberatan atas pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan anggotanya untuk DPR-GR.
Akan tetapi sikap ini berubah setelah jatah kursi kursi NU dalam DPR-GR ditambah. Namun, K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.
Tokoh dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno datang dari dua orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo.
Sartono merasa prihatin terhadap perkembangan yang ada dan Iskaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk dalam DPR-GR bukanlah wakil PNI.
Hubungan mereka dengan PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka yang duduk dalam DPR-GR adalah hasil penunjukkan.
Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang menolak pembubaran DPR-GR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan dirinya Liga Demokrasi.
Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan. Kelompok ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPR-GR.
Namun Liga Demokrasi ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno.
Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front Nasional.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.
Dalam penetapan ini disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD 1945.
Front Nasional langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.
Langkah Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan regrouping kabinet berdasarkan Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif.
MPRS, DPRGR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancang Nasional dipimpin langsung oleh Presiden.
Pengintegrasian lembaga-lembaga tersebut dengan eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintah pada lembaganya masing-masing.
Selain itu, Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi.
Keanggotaan MPPR meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom.
Penilaian terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya dalam Majalah Islam “Panji Masyarakat” pada tahun 1960 yang berjudul “Demokrasi Kita”.
Hatta mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan Presiden, tugas-tugas DPR sampai pada pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’, yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaan, lupa syaratsyarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator.
Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di
tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan
negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya.
TNI, yang sejak Kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik.
Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya.
Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara. Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI.
PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada Pemilihan Umum 1955.
Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7/1959, partai ini mendapat tempat dalam konstelasi politik baru.
Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya.
Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.
PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno.
PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan melaksakan program PKI.
Hanya kaum Manipolis munafik dan kaum reaksionerlah yang berusaha menghambat dan menyabot Manipol.
Ungkapan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.
PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik Indonesia.
Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan presiden, konsep awal disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai yang memberontak.
Namun dalam keputusan final, Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata “memberontak”, sehingga rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena para pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”.
Sesuai dengan rumusan itu maka calon partai yang kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI.
Sebaliknya, PKI yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar Gonggong, 2005).
PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju Nasakom harus setuju Pancasila.
Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI.
PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling setia.
Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong (Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA dan Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR).
Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan mengajukan calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI dalam komposisinya.
Upaya ini tidak mencapai hasil yang optimal karena Presiden Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada anggota PKI.
Ketika TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan pengacauan di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, pimpinan TNI AD mengambil tindakan berdasarkan UU Keadaan Bahaya Pimpinan TNI AD melarang terbitnya Harian Rakyat dan dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan kawan-kawan, namun mereka berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah juga dibekukan.
Namun tindakan TNI AD ini tidak disetujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan segala keputusan dicabut kembali.
Presiden Soekarno melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI.
Pada akhir tahun 1964, PKI disudutkan dengan berita ditemukannya dokumen rahasia milik PKI tentang Resume Program Kegiatan PKI Dewasa ini.
Dokumen tersebut menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan.
Namun pimpinan PKI, Aidit, menyangkal dengan berbagai cara dan menyebutnya sebagai dokumen palsu. Peristiwa ini menjadi isu politik besar pada tahun 1964.
Namun hal ini diselesaikan Presiden Soekarno dengan mengumpulkan para pemimpin partai dan membuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan di antara unsur-unsur di dalam negeri diselesaikan secara musyawarah karena sedang menjalankan, konfrontasi dengan Malaysia. Kesepakatan tokoh-tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor.
Namun PKI melakukan tindakan sebaliknya dengan melakukan sikap ofensif dengan melakukan serangan politik terhadap Partai Murba dengan tuduhan telah memecah belah persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Soekarno.
Upaya-upaya PKI ini membawa hasil dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Murba, diantaranya Soekarni dan Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno.
Merasa kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh kedudukan dalam kabinet.
Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi coratcoret, pidato-pidato dan petisi-petisi yang menyerukan pembentukan Kabinet Nasakom.
Mereka juga menuntut penggantian pembantu-pembantu Presiden yang tidak mampu merealisasikan Tri Program Pemerintah, serta mendesak supaya segera dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom.
Terhadap TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka mematahkan pembinaan teritorial yang sudah dilakukan oleh TNI AD.
Seperti peristiwa Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Peristiwa Jengkol.
Upaya merongrong ini dilakukan melalui radio, pers, dan poster yang menggambarkan setan desa yang harus dibunuh dan dibasmi. Tujuan politik PKI di sini adalah menguasai desa untuk mengepung kota
TNI, yang sejak Kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik.
Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya.
Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara. Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI.
PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada Pemilihan Umum 1955.
Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7/1959, partai ini mendapat tempat dalam konstelasi politik baru.
Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya.
Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.
PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno.
PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan melaksakan program PKI.
Hanya kaum Manipolis munafik dan kaum reaksionerlah yang berusaha menghambat dan menyabot Manipol.
Ungkapan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.
PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik Indonesia.
Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan presiden, konsep awal disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai yang memberontak.
Namun dalam keputusan final, Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata “memberontak”, sehingga rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena para pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”.
Sesuai dengan rumusan itu maka calon partai yang kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI.
Sebaliknya, PKI yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar Gonggong, 2005).
PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju Nasakom harus setuju Pancasila.
Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI.
PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling setia.
Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong (Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA dan Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR).
Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan mengajukan calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI dalam komposisinya.
Upaya ini tidak mencapai hasil yang optimal karena Presiden Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada anggota PKI.
Ketika TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan pengacauan di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, pimpinan TNI AD mengambil tindakan berdasarkan UU Keadaan Bahaya Pimpinan TNI AD melarang terbitnya Harian Rakyat dan dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan kawan-kawan, namun mereka berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah juga dibekukan.
Namun tindakan TNI AD ini tidak disetujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan segala keputusan dicabut kembali.
Presiden Soekarno melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI.
Pada akhir tahun 1964, PKI disudutkan dengan berita ditemukannya dokumen rahasia milik PKI tentang Resume Program Kegiatan PKI Dewasa ini.
Dokumen tersebut menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan.
Namun pimpinan PKI, Aidit, menyangkal dengan berbagai cara dan menyebutnya sebagai dokumen palsu. Peristiwa ini menjadi isu politik besar pada tahun 1964.
Namun hal ini diselesaikan Presiden Soekarno dengan mengumpulkan para pemimpin partai dan membuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan di antara unsur-unsur di dalam negeri diselesaikan secara musyawarah karena sedang menjalankan, konfrontasi dengan Malaysia. Kesepakatan tokoh-tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor.
Namun PKI melakukan tindakan sebaliknya dengan melakukan sikap ofensif dengan melakukan serangan politik terhadap Partai Murba dengan tuduhan telah memecah belah persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Soekarno.
Upaya-upaya PKI ini membawa hasil dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Murba, diantaranya Soekarni dan Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno.
Merasa kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh kedudukan dalam kabinet.
Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi coratcoret, pidato-pidato dan petisi-petisi yang menyerukan pembentukan Kabinet Nasakom.
Mereka juga menuntut penggantian pembantu-pembantu Presiden yang tidak mampu merealisasikan Tri Program Pemerintah, serta mendesak supaya segera dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom.
Terhadap TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka mematahkan pembinaan teritorial yang sudah dilakukan oleh TNI AD.
Seperti peristiwa Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Peristiwa Jengkol.
Upaya merongrong ini dilakukan melalui radio, pers, dan poster yang menggambarkan setan desa yang harus dibunuh dan dibasmi. Tujuan politik PKI di sini adalah menguasai desa untuk mengepung kota
Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah
kabinet RI adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI
yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945.
Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang berbunyi:
“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”. (Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956)
Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda.
Namun upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB.
Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan.
Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya Konferensi Asia Afrika.
Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan untuk menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian.
Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain.
Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957, jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh.
Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Hubungan Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI.
Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa:
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005)
Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat di PBB.
Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker.
Usulan itu secara prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan waktu yang lebih singkat.
Sedangkan pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan uluran tangan.
Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.
Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi militer.
Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri.
Pada awalnya usaha ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun tidak membawa hasil yang memuaskan.
Kemudian upaya ini dialihkan ke negaranegara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.
Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer.
Melihat perkembangan persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan melakukan agresi.
Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.
Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun militer.
Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah:
Dengan dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya, unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat.
Namun upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di Laut Aru antara kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda.
Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil ditembak Belanda sehingga kapal terbakar dan tenggelam.
Peristiwa ini memakan korban Komodor Yos Sudarso, Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan tenggelamnya MTB Macan Tutul.
Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer di bawah Komando Mandala.
Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian.
Namun ketika operasi infiltrasi Indonesia berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian.
Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa tuntutan pimpinan Indonesia bukan suatu yang main-main.
Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya.
Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini.
Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York. Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Belanda ke PBB.
Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Berdasarkan Perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.
Tindak lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den Haag.
Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura.
Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat.
Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksankan Act Free Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap.
Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB.
Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi Perjanjian New York.
Sejak saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.
Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang berbunyi:
“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”. (Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956)
Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda.
Namun upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB.
Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan.
Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya Konferensi Asia Afrika.
Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan untuk menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian.
Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain.
Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957, jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh.
Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Hubungan Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI.
Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa:
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005)
Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat di PBB.
Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker.
Usulan itu secara prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan waktu yang lebih singkat.
Sedangkan pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan uluran tangan.
Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.
Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi militer.
Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri.
Pada awalnya usaha ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun tidak membawa hasil yang memuaskan.
Kemudian upaya ini dialihkan ke negaranegara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.
Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer.
Melihat perkembangan persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan melakukan agresi.
Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.
Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun militer.
Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah:
- Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda
- Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa
Dengan dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya, unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat.
Namun upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di Laut Aru antara kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda.
Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil ditembak Belanda sehingga kapal terbakar dan tenggelam.
Peristiwa ini memakan korban Komodor Yos Sudarso, Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan tenggelamnya MTB Macan Tutul.
Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer di bawah Komando Mandala.
Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian.
Namun ketika operasi infiltrasi Indonesia berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian.
Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa tuntutan pimpinan Indonesia bukan suatu yang main-main.
Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya.
Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini.
Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York. Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Belanda ke PBB.
Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Berdasarkan Perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.
Tindak lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den Haag.
Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura.
Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat.
Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksankan Act Free Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap.
Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB.
Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi Perjanjian New York.
Sejak saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.
Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk
mendapatkan tempat dalam kalangan pimpinan negara.
Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia.
Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia.
Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan Sulu.
Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara.
Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.
Oleh karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963.
Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa.
Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama.
Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia.
Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik.
Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore.
Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963.
Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran
Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.
Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya.
Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman.
Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan.
Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah.
Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris.
Konflik di Asia Tenggara ini menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki penyelesaian pertikaian secara damai.
Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini.
Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara.
Upaya lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok.
Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga diplomasi mengalami kemacetan.
Di tengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan apel besar sukarelawan.
“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.
Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan.
Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.
Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Sikap Indonesia ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden Seokarno menegaskan bahwa:
“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.
Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB tetap tidak tercapai.
Karena dengan keluarnya Indonesia dari PBB, Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan dengan Malaysia secara damai.
Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia.
Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia.
Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan Sulu.
Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara.
Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.
Oleh karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963.
Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa.
Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama.
Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia.
Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik.
Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore.
Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963.
Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran
Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.
Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya.
Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman.
Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan.
Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah.
Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris.
Konflik di Asia Tenggara ini menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki penyelesaian pertikaian secara damai.
Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini.
Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara.
Upaya lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok.
Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga diplomasi mengalami kemacetan.
Di tengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan apel besar sukarelawan.
“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.
Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan.
Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.
Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Sikap Indonesia ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden Seokarno menegaskan bahwa:
“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.
Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB tetap tidak tercapai.
Karena dengan keluarnya Indonesia dari PBB, Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan dengan Malaysia secara damai.
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan
ekonomi terpimpin, sebagai awal berlakunya herordering ekonomi.
Dimana alat-alat produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara.
Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando.
Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi.
Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis nasional.
Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno.
Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10% saja.
Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang.
Tugas dewan ini menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin.
Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur.
Pola Pembangunan Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan pembangunan.
Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede.
Penasbede ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/ MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.
Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri.
Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi.
Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp500,00 dan Rp1.000,00 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50,00 dan Rp100,00.
Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000,00 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1.000,00 dan Rp500,00 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100,00 dan Rp50,00 sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI/TII Jawa Barat dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi.
Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda.
Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.
Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13.
Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA.
Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri atas beberapa tahap; Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme.
Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.
Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi.
Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon.
PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI.
Empat belas peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah kepada kaum imperialis.
Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai.
Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas), pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo).
Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua tahun.
Menteri Bank Sentral Yusuf Muda Dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar.
Perusahaan atau perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan.
Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.
Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000,00 (uang lama) diganti dengan Rp1,00 (uang baru).
Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Dimana alat-alat produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara.
Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando.
Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi.
Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis nasional.
Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno.
Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10% saja.
Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang.
Tugas dewan ini menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin.
Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur.
Pola Pembangunan Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan pembangunan.
Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede.
Penasbede ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/ MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.
Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri.
Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi.
Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp500,00 dan Rp1.000,00 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50,00 dan Rp100,00.
Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000,00 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1.000,00 dan Rp500,00 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100,00 dan Rp50,00 sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI/TII Jawa Barat dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi.
Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda.
Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.
Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13.
Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA.
Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri atas beberapa tahap; Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme.
Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.
Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi.
Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon.
PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI.
Empat belas peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah kepada kaum imperialis.
Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai.
Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas), pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo).
Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua tahun.
Menteri Bank Sentral Yusuf Muda Dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar.
Perusahaan atau perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan.
Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.
Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000,00 (uang lama) diganti dengan Rp1,00 (uang baru).
Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Posting Komentar