Sejarah Indonesia XII BAB 6 Indonesia Dalam Panggung Dunia

Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat.

Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya.

Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya.

Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.

Landasan ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia.

Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia.

Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia.

Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia.

Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.

Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”…. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”.

Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial….”

Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.

Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno.

Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah;

politik damai dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;

politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain;

serta selalu mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.

Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara.

Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu:

Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengahtengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner. 

(Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971. Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)

Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan.

Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya.

Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.

Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri.

Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.

Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat, Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga.

Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces/Nefos dan Old Established Forces/Oldefos. Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit.

Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan.

Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan negara-negara Barat.

Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, di antaranya adalah Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia.

TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:

1) Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

2) Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:

1) Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;

2) Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negaranegara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerja sama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;

3) Mengembangkan kerja sama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional. Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum Pelita dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera.

Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966.

Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengungdengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas.

Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerja sama dengan dunia internasional.

Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang.

Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi.

Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci.

Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.

Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004.

GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di antaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan.

Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:

  1. menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional; 
  2. ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia; 
  3. memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang; 
  4. meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan internasional;
  5. mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas; 
  6. memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga; 
  7. mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara. 

Ketetapan MPR di atas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya.

Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu;

1). Memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI,
2). Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia,
3). Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk good offices ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebut di atas, maka Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain

Dalam Perang Dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada.

Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947.

Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antarbangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia.

Dengan demikian di dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak meredakan Perang Dingin tersebut.

Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam Perang Dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya.

Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya.

Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat.

Di lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB.

Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut.

Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa:

“………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)

Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu.

Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan Perang Dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dapat dicapai.

Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru.

Karena itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.

Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.

Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negaranegara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar.

Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahkan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa.

Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya.

Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu.

Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya.

Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.

Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan cara diplomasi.

Keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya.

Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain.

Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.

Sejak pertengahan tahun 1950-an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.

Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia.

Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/NAM).

Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat ) dan Blok Timur (Uni Soviet).

Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme yang tegas dan cenderung bersifat konfrontatif.

Pada era itu kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa (national character building).

Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan international terhadap eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menunjukan karakter atau identitas bangsa Indonesia pada bangsa-bangsa lain di dunia internasional

“Onward no retreat” adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam beberapa pidato Presiden Soekarno yang menunjukkan tekad revolusionernya dalam membangun Kekuatan Dunia Baru (new emerging forces).

Dalam mempromosikan Indonesia ke dunia internasional Presiden Soekarno juga menunjukkan bahwa dia mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang tercermin dari Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia, yang diperhitungkan dapat menjadi satu kekuatan (Nasakom Jiwaku). untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).

Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke blok komunis, baik secara domestik maupun internasional.

Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno memberi peluang politik kepada PKI sehingga partai yang pernah menikam perjuangan bangsa Indonesia pada tahun 1948, berkembang menjadi partai terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia sekitar tahun 1964-1965.

Kebijakan Soekarno itu didasari oleh keinginannya agar kaum komunis yang merupakan salah satu kekuatan politik mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar.

Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia.

Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat.

Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini.

Sebagai dampaknya Soekarno banyak meninggalkan masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi.

Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting.

Ia beranggapan bahwa pemusnahan pengaruhpengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik.

Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat-marit akibat inflasi yang terjadi secara terus-menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak.

Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme.

Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces).

Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).

Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat.

Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politik Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia.

Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara sosialis dan komunis seperti China.

Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China.

Kedua, Indonesia perlu mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet.

Namun sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan-kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik.

Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme karena dalam kenyataannya, sebagian dari bangsa dan negara Indonesia masih dikuasai Belanda, yakni Irian Barat (sekarang Papua).

Setelah jalan diplomasi selalu mengalami kegagalan, maka Soekarno memutuskan akan merebut kembali Irian Barat dengan kekuatan bersenjata.

Melihat kesungguhan Indonesia, sikap Amerika Serikat yang kemudian berubah membantu Indonesia, terutama setelah Indonesia memperoleh bantuan persenjataan dari Uni Soviet guna mendapatkan kembali Irian Barat.

Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap oleh Indonesia sebagai produk Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme).

Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia.

Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat.

Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan internasional.

Pada masa awal Orde Baru terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia dalam segala bidang.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi.

Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional.

Pemikiran inilah yang mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihakpihak Barat dan “good neighbourhood policy” melalui Association South East Asian Nation (ASEAN).

Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa abad yang akan datang.

Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order (tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya.

Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis.” (Kumpulan Pidato Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme.

Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia.

Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman.

Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia.

Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing.

Tindakan ini juga dilakukan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif.

Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia sebagai suatu negara.

Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Indonesia memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN.

ASEAN merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia.

Ada kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan sikap nonkomunis.

Dengan demikian, stabilitas negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting.

ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia.

Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini.

Pemerintahan Soeharto mencoba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru di kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru.

Di samping itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak bagi investasi industri.

Presiden Soeharto memakai Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC.

Kekhawatiran itu didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerja sama antara negara-negara ASEAN.

Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC.

Faktor pendorongnya antara lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya.

Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.

Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC.

OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia

Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pendahulunya. Di paruh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan low profile.

Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile.

Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri).

Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi dan transisi pemerintahan.

Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional.

Politik luar negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.

Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J. Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur.

Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.

Presiden Habibie juga menunjukkan cara berdemokrasi yang baik dengan memilih tidak mau dicalonkan lagi menjadi presiden setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR-RI.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI.

Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri.

Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya.

Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua dan isu perbaikan ekonomi

Diplomasi di era pemerintahan Abdurahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional.

Ancaman terhadap disintegrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan menjadi prioritas.

Akan tetapi kebijakan politiknya itu ternyata dinilai oleh beberapa kekuatan politik dalam negeri sebagai kelemahan, terutama dalam menghadapi masalah disintegrasi dan konflik-konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah Indonesia.

Faktorfaktor semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab pada awal tahun 2001, munculnya desakan dari DPR/MPR-RI agar Presiden Abdurrakhman Wahid meletakkan jabatan selaku Presiden RI.

Setelah Presiden Abdurahman Wahid turun dari jabatannya, Megawati dilantik menjadi Presiden perempuan pertama di Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.

Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan dalam negeri menjadi agak lebih kondusif. Situasi ekonomi Indonesia mulai membaik ditandai dengan nilai tukar rupiah yang stabil.

Belajar dari pemerintahan sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945.

Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan kunjungannya mendatangi wilayah-wilayah konflik di tanah air seperti, Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.

Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial.

Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.

Pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung oleh masyarakat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden mengalahkan Megawati. Ia dilantik menjadi presiden Republik Indonesia ke-6 pada 20 Oktober 2004.

Selama era kepemimpinnya, SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik banyak investasi asing dengan menjalin berbagai kerja sama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya.

Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’.

Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.

Indonesia berhubungan baik dengan negara manapun sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.

Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:

1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).

2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahanperubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri (internasional).

3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja (baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.

4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya

TULISANN

iklan tengah