Materi PAI XI BAB 6 Perilaku Taat, Kompetisi dalam Kebaikan dan Etos Kerja

Hidup adalah kompetisi un tuk menjadi yang terbaik, dan juga untuk meraih cita-cita yang diinginkan. 

Namun sayang, banyak orang terjebak pada kompetisi yang hanya memperturutkan hawa nafsu duniawi dan jauh dari suasana robbani. 

Kompetisi yang hanya memperturutkan hawa nafsu, contohnya kompetensi mengumpulkan harta kekayaan atau memperebutkan jabatan dan kedudukan. 

Semuanya bak fatamorgana, indah menggoda, tetapi sesungguhnya tiada. Bahkan, tak jarang dalam kompetisi diiringi “suuan” buruk sangka, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah Swt. Lebih merugi lagi jika rasa iri dan riya ikut bermain dalam kompetisi tersebut.

Lalu, bagaimanakah selayaknya kompetisi bagi orang-orang yang beriman? Allah Swt. telah memberikan pengarahan bahkan penekanan kepada orang-orang beriman untuk berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana firman-Nya: 

Artinya: 
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah Swt. dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. ntuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah Swt. menghendaki, nisaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah Swt. hendak
menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah Swt. kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (Q.S. al-Maidah/5: 48)

Pada Q.S. al-Maidah/5:48 Allah Swt. menjelaskan bahwa setiap kaum diberikan aturan atau syariat.

Syariat setiap kaum berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan hidupnya. Meskipun mereka berbeda-beda, yang terpenting adalah semuanya beribadah dalam rangka mencari ri«a Allah Swt., atau berlomba-lomba dalam kebaikan.

Allah Swt. mengutus para nabi dan menurunkan syariat kepadanya untuk memberi petunjuk kepada manusia agar berjalan pada jalan atau arah yang benar dan lurus. 

Akan tetapi, sebagian dari ajaran-ajaran mereka disembunyikan atau diselewengkan. Sebagai ganti ajaran para nabi, manusia membuat ajaran sendiri yang bersifat khurafat dan takhayul. 

Surat al-Maidah/5: 48  ini  membicarakan bahwa al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. 

Al-Qur’an merupakan pembenar kitab-kitab sebelumnya, juga sebagai penjaga kitab-kitab tersebut. Dengan menekankan terhadap dasar-dasar ajaran para nabi terdahulu, al-Qur’an sepenuhnya memelihara keaslian ajaran itu dan menyempurnakannya.

Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia dalam penciptaannya, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. 

Semua perbedaan itu adalah rahmat dan untuk saling mengenal. Ayat ini mendorong pengembangan berbagai macam kemampuan yang dimiliki oleh manusia, dan bukan menjadi ajang perdebatan. 

Semua orang dengan potensi dan kadar kemampuan masing-masing, harus berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan. 

Allah  Swt. senantiasa melihat dan memantau perbuatan manusia dan bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tersembunyi.

Mengapa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan? 

Ada beberapa alasan mengapa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, antara lain sebagai berikut.

Pertama, bahwa melakukan kebaikan tidak bisa ditunda-tunda, dan harus segera dikerjakan. Kesempatan hidup sangat terbatas, begitu juga kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. 

Kematian bisa datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk berbuat baik, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan  

Kedua, untuk berbuat baik hendaknya saling memotivasi dan saling tolong-menolong, Oleh karena itu, kita perlunya berkolaborasi atau kerja sama.  

Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang membuat kita terdorong untuk berbuat baik. Tidak sedikit seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena lingkungan. 

Lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah (konsisten).

Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan. Allah Swt. bersabda:  

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...” (Q.S. al-Maidah/5: 2)
Sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya. 

Seorang muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. 

Tidak semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan juga harus memikirkan kepentingan kehidupannya di dunia. 

Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, wajiblah seorang muslim untuk bekerja.

Bekerja dalam berbagai bidang. Seseorang yang bekerja layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji, seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, karena prestasi kerjanya. 

Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, ia memerlukan ruh (spirit). Oleh karena itulah, al-Qur’an diturunkan sebagai spirit hidup, sekaligus sebagai nur (cahaya) yang tak kunjung padam agar
aktivitas hidup manusia tidak tersesat.

Dalam al-Qur’an maupun hadis, ditemukan banyak literatur yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan melengkapi kebutuhan duniawinya. 

Salah satu perintah Allah Swt. kepada umat- Nya untuk bekerja termaktub dalam Q.S. at-Taubah/9:15 berikut ini. 
Artinya: 
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. at-Taubah/9: 105)   
Q.S. at-Taubah/9: 15 menjelaskan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya. 

Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut. Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan membawa amal perbuatannya masing-masing.

Mereka yang berbuat baik akan diberi pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan atas perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. 

Sebutan lain dari ganjaran adalah imbalan atau upah atau ompensation. Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.

Q.S. at-Taubah/9: 15  juga menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah Swt. pasti membalas semua yang telah kita kerjakan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penegasan Allah  Swt. bahwa motivasi atau niat bekerja itu harus benar. 

Umat Islam dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan “tobat” saja, tetapi harus dibarengi dengan usaha-usaha untuk melakukan perbuatan terpuji yang lainnya. 

Perbuatan-perbuatan terpuji itu seperti menunaikan zakat, membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, menyegerakan untuk mengerjakan alat, saling menasihati teman dalam hal kebenaran dan kesabaran, dan masih banyak lagi. 

Semua itu dilakukan atas dasar taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. dan yakin bahwa Allah Swt. pasti menyaksikan itu. 

Ayat ini pun berisi peringatan bahwa perbuatan mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan kelak di hari kiamat. 

Dengan demikian, akan terlihatlah kebajikan dan kejahatan yang mereka lakukan sesuai amal perbuatannya. 

Bahkan, di dunia ini pun sudah sering kita saksikan, bagaimana gambaran orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, penipu, koruptor, dan lain sebagainya. 

Banyaknya berita tentang korupsi, dan bagaimana seorang koruptor dipertontonkan di ruang publik. 
Ini menandakan bahwa di dunia pun perbuatan kita sudah bisa dipertontonkan. Apalagi kelak di akhirat yang pasti sangat nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Bekerjalah dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Bekerjalah sesuai dengan aturan Allah Swt. dan rasul-Nya. Kalau pekerjaan itu tidak baik dan tidak benar, jauhilah!

Jangan sampai di kemudian hari baru menyesal. Sungguh tidak ada artinya. 

Artinya: “Dari Miqdam ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Daud as. makan hasil usahanya.” (H.R. Bukhari)

Perilaku mulia (ketaatan) yang perlu dilestarikan adalah seperti berikut.
1. Selalu menaati perintah Allah Swt. dan rasul-Nya, serta meninggalkan larangan-Nya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.

2. Merasa menyesal dan takut apabila melakukan perilaku yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.

3. Menaati dan menjunjung tinggi aturan-aturan yang telah disepakati, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

4. Menaati pemimpin selagi perintahnya sesuai dengan tuntunan dan syariat agama.

5. Menolak dengan cara yang baik apabila pemimpin mengajak kepada kemaksiatan.

Perilaku mulia (kompetisi dalam kebaikan) yang perlu dilestarikan adalah seperti berikut.
1. Meyakini bahwa hidup itu perjuangan dan di dalam perjuangan ada kompetisi.

2. Berkolaborasi dalam melakukan kompetisi agar pekerjaan menjadi ringan, mudah, dan hasilnya maksimal.

3. Dalam berkolaborasi, semuanya diniatkan ibadah, dan semata-mata mengharap rida Allah Swt.

4. Selalu melihat sesatu dari sisi positif, tidak memperbesar masalah perbedaan, tetapi mencari titik persamaan.

5. Ketika mendapatkan keberhasilan, tidak tinggi hati; ketika mendapatkan kekalahan, ia selalu sportif dan berserah diri kepada Allah Swt. (tawakkal).

Perilaku mulia (etos kerja) yang perlu dilestarikan adalah seperti berikut.
1. Meyakini bahwa dengan kerja keras, pasti ia akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan (“man jada wa jada” - Siapa yang giat, pasti dapat).

2. Melakukan sesuatu dengan prinsip: “Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.”

3. Pantang menyerah dalam melakukan suatu pekerjaan. 

Mustahdi dan Mustakim. 2017. Pendidikan Agama Islam. Pusat Perbukuan Kemendikbud.

iklan tengah