Materi PAI XII BAB 8 Meraih Berkah dengan Mawaris

Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt..

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang didalamnya termasuk masalah kewarisan.

Nabi Muhammad saw.. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil.

Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup.

Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:

1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan,
2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan
3) satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris.

Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al-muqaddarah).

Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif ) dari kata warisa-yarisu-irsan- mīrāsan yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda.

Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya:

“Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”

Adapun menurut istilah,  warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan.

Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.

Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur'an, kemudian As-Sunnah/hadis dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.

1. AlQur'an
Dalam Islam saling mewarisi diantara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Hadis Rasulullah.

Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di
antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta  peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.

2. As-Sunnah
a. Hadis dari Ibnu Ma'ud berikut:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..:

“Pelajarilah al-Qur'an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (H.R. Ahmad).

b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:

“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abµ Daµd dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.

Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris.

Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.

Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam.

Di bawah ini secara ringkas dapat dikemukakan tabel hukum waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.

Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak
perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan)

Syarat-syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.

2. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.

3. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.

Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut

1. Nasab (keturunan),
Nasab yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”

2. Pernikahan,
Pernikahan yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”

Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.

3. Wala’,
Wala yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.

Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’itu milik orang yang memerdekakannya.” (¦R.al-Bukhari dan Muslim).”

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.

a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir
tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan muslim).

b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:  “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdil Bar)

c. Perbudakan. 
Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi.

Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan.

Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”

d. Perzinaan. 
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.:

“Anak itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (¦R. al-Bukhari dan Muslim).

e. Li’an.
Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak  yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini  diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.

Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan.

Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa'/4:11.
 Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan,  dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”.(Q.S. an-Nisa'/4:11).

Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.

1. Mendapat  bagian ½
  • Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
  • Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
  • Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
  • Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
  • Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

2. Mendapat ¼
  • Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
  • Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

3. Mendapat 1/8
Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak lakilaki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka
1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.

4. Mendapat 2/3
  • Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
  • Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
  • Dua saudar a perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
  • Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.

5. Mendapat 1/3
  • Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
  • Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
  • Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.

6) Mendapat 1/6
  • Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari  dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
  • Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
  • Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
  • Kakek, jika tidak ada bapak.
  • Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki,cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
  • Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
  • Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
Ahli waris asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya.

Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

“Berikanlah warisan itu kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris) laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).”(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furµd, ia menerima sisa bagian dari mereka.

Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut.

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus.

Ahli waris ‘asabah mengambil seluruh harta warisan, jika ia sendiri atau tidak ada ahli waris lain.

Ahli waris ‘asabah mengambil sisa warisan setelah ahli waris furud

Jika harta warisan tidak tersisa, ahli waris ‘a£abah tidak mendapatkan apa-apa

Ahli waris ‘a£abah terbagi menjadi dua, yaitu:

1. ASABAH BINNASAB
Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:

a. Asabah bi an-nafsi, 
Asabah bi an-nafsi yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:
1) Anak laki-laki
2) Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah

Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris ‘aSabah bi an-nafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu: 

1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak-laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.

2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.

3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk a£habul furud.

4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.

Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris a£abah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. 

Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya.

Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris a£abah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. 

Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian
apapun dari warisan tersebut.

Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa' /4:11, yaitu:

“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”

b. Asabah bil Ghair
Ahli waris asabah bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ashabah bil ghair adalah karena hak asabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan
mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘asabah lain (asabah bin nafsih). 

Adapun ahli waris  a£abah bil ghair  yaitu:
1) Anak perempuan bisa menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.

2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.

3) Saudara kandung perempuan akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.

4) Saudar a perempuan seayah akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-laki. Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. 

Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.

c. Asabah Ma'al Gair
Orang yang termasuk ‘a£abah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.

1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.

2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.

Adapun landasan hukum adanya  asabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki,
dan saudara peremuan sekandung atau seayah.

Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.”(H.R. Al-Bukhari).

2. ASABAH BISSABAB (KARENA SEBAB)
Yang termasuk 'asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan.

Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.

a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang  yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya
adalah anak laki-laki (‘‘asabah).

b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai ‘asabah.

c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan
pembagian sebagai berikut:

1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat
anak perempuan.

2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.

Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.

1. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.

Maka hasilnya adalah:

Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24.

Maka pembagiannya adalah:
Istri :   1/6  x  24   x  Rp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,
Ibu  :  1/8  x  24    x  Rp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,
Dua anak laki-laki :  24 – (4+3 ) x  Rp. 180.000.000 =  Rp.127.500.000,
Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,-  :  2  =  Rp.63.750.000,-

2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.

Maka hasilnya adalah:
Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6.

Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan ‘aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi:

Suami:3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,
Dua saudara perempuan sekandung : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-

3. Penghitungan dengan menggunakan rad.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.

Maka hasilnya adalah:
Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2  (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6.

Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6.

Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya.

Jika dilihat bagian  ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6  =  4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:

Ibu:  1/4   x    Rp. 120.000.000,- =  30.000.000,
Satu anak perempuan:  3/4  x    Rp120.000.000,- =  90.000.000,-

Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:

1. Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. 
Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah.

Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.

2. Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. 
Keadilan yang telah diterapkan,  mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran. 

iklan tengah